(tulisanku, alhamdulillah sudah dimuat di Intisari 2005)
Selama ini, seolah sudah jadi mitos bahwa jika kita berangkat ke Tanah Suci untuk berhaji sama artinya dengan kesulitan mencari makan yang kemudian berujung pada datangnya penyakit. Padahal saat saya dan suami melaksanakannya pada tahun 1998, kendala semacam itu hampir-hampir tidak pernah kami alami.
Sejauh ini, mitos itu masih sangat kuat menancap di benak para calon jamaah haji asal Indonesia. Buktinya, ketika asykar alias polisi yang bertugas di bandara King Abdul Aziz, Jeddah, tampak tak lagi keheranan dengan isi koper jamaah Indonesia yang 'fully-booked' dengan makanan kering (abon, rendang, kering tempe atau kentang) ataupun bahan makanan basah (sayuran atau bahkan terasi!). Jerigen yang sedianya nanti akan diisi dengan air zam-zam untuk oleh-oleh saat pulang ke kampung halaman pun tak luput didayagunakan semaksimal mungkin. Mau tau apa isinya? Beras 5 liter!
Sebenarnya, penempatan para jamaah haji Indonesia oleh pemerintah Arab Saudi sudah diatur sedemikian rupa agar dekat dengan sarana belanja seperti pasar atau minimarket. Saat kami di Mekkah, kami menginap di Misfalah, yang di bagian depan pemondokan kami itu merupakan pasar tradisional. Percaya atau tidak, segala jenis sayuran dan buah ada di sana, dengan kisaran harga buah antara 5 – 6 real sekilonya (meski di tanah Arab sana jarang ada pohon buah kan?). Bayam, kangkung atau sayuran ikat sejenis dijual satu real (cat.: waktu itu sekitar Rp 3000,00), di samping wortel, cabe, tomat segar-bugar. Yang menakjubkan, ada teman seregu kami -- bapak-bapak lagi -- yang berhasil membeli 'sambelan' alias bahan-bahan untuk membuat sambal, yaitu cabe, tomat, dan bawang merah! Kegembiraan itu kemudian langsung diwujudkan dengan membuat sambal terasi (ada teman yang membawa cobek mini soalnya...)!
Selain itu, di seputar pondokan juga bertebaran minimarket, toko/warung kelontong yang menjual segala macam barang, termasuk jus buah botolan 6 liter yang rutin kami beli, juga krupuk mentah asli Sidoarjo. Warung makan juga menyediakan banyak pilihan dan variasi. Ada roti Arab selebar piring, roti Perancis, roti kebab isi daging sapi/unta plus tomat dan seladanya. Tak ketinggalan rumah makan India atau Bangladesh yang selalu penuh antrian (nasi merah 3 real, kari ayam 5 real), juga restoran Turki. Bagi penggemar nasi uduk, dijamin hidangan Turki bisa mengobati rasa rindu Anda, malah nasinya terasa lebih gurih, apalagi ditambah dengan salad dan ayam bakar yang lezzaat! Mata ngantuk seberat apapun bisa terbangun lho....
Di tengah pasar tradisional Madinah, ada satu restoran Bangladesh yang hingga kini selalu jadi tempat makan dambaan. Ayam panggangnya uenaak tenan, karena selain bumbunya sangat meresap hingga ke tulangnya, juga disajikan dalam keadaan baru dipanggang. Diselingi suapan nasi kebuli yang pas bumbunya, harga 13 real (all-in) tidaklah mahal bukan?
Jadi, siapa yang masih ngeyel bilang kalau pergi haji identik dengan kurus kering tidak bisa makan enak? Nah, para calon haji, tersenyumlah :D
Monday, November 3, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
4 comments:
Wah... seru ya cerita berhajinya... Yang nggak nahan mah kurs rupiah ke real sekarang ini ya? ;) Tapi jadi panduan berhaji kelak. Insya Allah. Doakan ya, mbak Diana.
Alhamdulillah pengalaman sy juga menyenangkan, mbak! Perkara makan...wah kebetulan suami dan sy pemuja wiskul...jadi malah sengaja ndak masak...icip sana icip sini dari bakso si doel sampe sahik laban semua diasup! Sedep. Jadi pingin ke sana lagi, hiks!!
Insya Allah didoakan kok, mbak Diah :)
Iya mbak Ernut, aku jg memendam dendam ke sana lagi, jk diizinkan-Nya...
wahh bu haji... btw sy musti mikir lagi nih kalau ke haji tetep gemuk..g
Post a Comment