Sambutan dari bapak ketua panitia menghentikan segala bisik-bisik, suara baritonnya membelah pagi yang cerah.
“Baiklah, sebelum kita mulai, mari kita berdoa dulu, menurut agama dan kepercayaan masing-masing, semoga hajatan kita ini dapat berjalan sukses dan lancar. Berdoa mulai!”
Selesai disumpah, para panitia yang menempati posnya masing-masing menunjukkan sejumlah perlengkapan yang ada kepada para hadirin. Amplop coklat berisi berita acara, surat suara, kotak suara yang tegas-tegas dipertunjukkan kenihilan isinya, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Lama betul tho? Kapan nyoblosnya?”
Ada decak kesal dari Pak Priyo, mantan wiraswastawan.
“Sabar, Pak Priyo. 5 tahun sekali Pak,”
Anak-anak juga mulai tak bisa disuruh tenang.
“Jangan lupa bu, moncong putih yo, he… he… he…”
“We, moncong apa mencong kowe(17)?”
“Oo ndak boleh, ingat tanggal 5 coblos nomor 5 ya pak?”
“Puyer aja, puyer 16, dari pada pusing-pusing.”
Anak-anak makin ramai, terkikik-kikik mereka di luar arena TPS 179 itu. Mungkin jauh di lubuk hatinya, mereka ingin menggoda hati orang-orang dewasa yang masih kebingungan menentukan pilihannya pada PEMILU kali ini, atau mungkin juga sebenarnya mereka kepingin ikutan nyoblos…
Lik Darmo buru-buru meredam kegembiraan dan keiisengan anak-anak itu.
“Heisya, anak-anak! Ojo berisik tho. Kampanye wis lewat. Main sana!”
Kejahilan anak-anak tadi tanpa disengaja menurunkan ketegangan dan keseriusan di wajah para pemilih.
“Nah, bapak-bapak, ibu-ibu. Jangan berlama-lama di bilik suara ya, waktu kita dibatasi. Jam 1 harus selesai lho. Sambil menunggu giliran, pikir-pikir lagi parpol yang mau dicoblos. Itung-itung ya seperti kita dulu mau menikah tho? Biar banyak yang naksir dan kita juga banyak suka, kan ndak bisa semuanya kita kawini tho? Emang kita bangsa kucing opo?”
Tawa membahana mendengar banyolan Ketua KPPS.
“Sekarang waktunya kita milih. Kemarin-kemarin kampanye sudah, kita sudah lihat mana yang menarik hati. Ojo pilih sing bohongi rakyat lho ibu-ibu, bapak-bapak. Sopo sing entuk(18) serangan fajar yo ben(19), uangnya disimpen tapi ojo coblos partainya. Setuju??”
“Setuju!!”
Satu persatu pemilih dipanggil, masuk ke dalam bilik. Ada yang keluar dari bilik suara dengan wajah cerah dan langkah mantap, tapi banyak juga yang lama sekali mendekam di sana hingga harus diingatkan petugas KPPS.
“Ayo mbah Suro, ojo kesuwen(20). Yang lain nunggu giliran.”
Dengan lantang, Mbah Suro malah balas menjawab dari balik bilik,”habis bingung, ra kewaca(21) nama caleg DPDnya. Yo wis (22) lah, ben cepet(23), pilih sing jenenge apik, rupane bagus wae(24).”
“Kalau aku tadi ngitung kancing Pakne…,” istri mbah Suro nyeletuk.
Panitia KPPS mesem-mesem saja mendengarnya. Ah, sosialisasi calegnya ndak sampe rupanya… Lha, panitianya saja bingung mau pilih siapa, ndak ada yang kenal satu pun, apalagi rakyat kecil!
Begitulah. Keramaian masih terus berlangsung, tak terusik oleh matahari yang kian mencorong mencurahkan panasnya. Justru makin sore tatkala masa pencoblosan telah digantikan masa penghitungan suara, suasana tambah semarak.
“Hore, hidup PKS. Aku bilang opo, tuh menang dari moncong putih. We!”
“Belum tentu ye. Partainya SBY tuh juga jago…”
“Kuning, kuning.”
“Ijo, ijo, P3 hidup! Ijo, ijo, hidup PKB, membela yang benar!”
“Plok, plok, plok…”
“Eh, ada juga yang milih partai ora ngetop (25)tho?”
Riuh rendah suara anak-anak yang dominan ditambah bunyi tetabuhan kaleng bertutup kertas semen membuat TPS itu penuh gelak tawa. Saksi-saksi partai yang tadinya kecut dan tegang menyaksikan partainya ketinggalan jauh dari partai ‘kuda hitam’ maupun partai lama, menjadi cair hatinya. Ini beneran hajatan, tenan!!
*****
Jam sepuluh malam…
Mata-mata mulai memberat, bantal dan kasur yang empuk menghimbau-himbau, memanggil pulang. Namun pekerjaan masih menumpuk.
“Ngopi lagi Pak Marto, ojo turu(26) lho. Berita Acarane durung mbok gawe(27).”
“Wuah, uenake justru turu Pak Joko, ora nulis 11 rangkap Berita Acara kuwi. Hoaah…”
Setelah dikilik-kilik sesama panitia lainnya, dan menyeruput kopi sumbangan ibu-ibu dus kripik singkong, mata Pak Marto sedikit bisa diganjal. Mulai kerja lagi, ayo… ayo… Demi pemerintah, kita kan rakyat yang patuh tho?? Demi uang 80 ribu, hoahh…
Tiba-tiba… DUARR!!
“Hujan, hujan!! Pak Marto, bangun pak! Sampeyan keturon(28) yo?”
“Astaghfirullah! Hh, di mana?”
“Cepetan, selamatkan kertas-kertas, surat suara. Demi negara, demi pemerintah.”
“Hoahh, hidup rakyat!”
Cimanggis, 8 April 2004
terj.:
Kowe: kamu (kasar)
Yo ben: ya biar
Sopo sing entuk: siapa yang dapat
Ojo kesuwen: jangan kelamaan
Ra keawaca: tidak terbaca
Yo wis, ben cepet; ya sudah, biar cepat
Sing jenenge apik, rupane bagus wae: yang namanya bagus, wajahnya ganteng saja
Ora ngetop: tidak terkenal
Ojo turu: jangan tidur
Durung mbok gawe: belum dibuat
Keturon: ketiduran
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment