(cerpenku untuk mengenang peristiwa penting di tahun 2004, monggo dibaca utk liburan, harpitnas, or apalah namanya, hehe... Sebelumnya mohon maaf bagi yang bukan orang Jawa ya, karena bertaburan basa jawa, sama sekali tak bermaksud SARA lho...)
Pagi buta…
Suara-suara gaduh mulai membahana sementara adzan Subuh belum lagi berkumandang.
“Pak, bangun tho Pak! Nanti terlambat kita. Orang-orang keburu pada datang lho!”
Suara Bu Marto nyaring dan garing membangunkan suaminya dengan semangat 45. Pak Marto, yang baru bisa tertidur jam 12 malam tadi, tergeragap dan langsung melompat dari tempat tidurnya.
“Jam berapa tho Bune?”
“Jam empat! Panjenengan durung dahar(1), mana mesti pake kain dan beskap tho Pak? Lama lho…”
“Hhh…,”Pak Marto menguap lebar seraya menyandarkan tubuhnya yang rada-rada remuk redam didera kantuk yang sangat.
Melihat gelagat suaminya yang akan melanjutkan upacara tidurnya, Bu Marto buru-buru bertindak, “Ealah, Pakne! Ojo ngono tho(2). Apa kata orang nanti? Bisa-bisa panjenengan dimarahi Pak Camat! Ayo tho, aku kan ikut malu kalo panjenengan telat.”
Capek diusik-usik sang istri tercinta, sekaligus menyadari kebenaran omongannya, setengah berat hati Pak Marto beranjak ke kamar mandi. Mandi dengan sabun wangi, sekalian ambil wudhu. Ah, segarrr!
Usai shalat, dengan dibantu istri, Pak Marto bergegas mengenakan kain batik, beskap, dan blangkon yang sudah disiapkan istrinya sedari malam. Baru disadari ternyata…
“Waduh Bune, susah tenan iki(3), kainnya ora pas terus tibane(4). Walah, aku wis kemeringet(5). “
Setengah putus asa bercampur geli, Pak Marto memandang hasil pekerjaannya yang kacau-balau. Kain batiknya kusut, naik-turun di sana-sini. Wajah istrinya tak kalah kusut dan memelas, warna-warni bak pelangi. Tapi dasar ibu-ibu, idenya ada saja.
“Gini saja, tak panggil Lik Darmo yo, haqqul yakin dia bisa bantu. Kan dulu dia bekas abdi dalem kraton tho Pakne? Ndak papa sekalian ajak sarapan di sini?”
Diberi solusi jitu, Pak Marto mengangguk-angguk kegirangan. “Sip, sana berangkat!”
Tak berapa lama, Lik Darmo pun datang. Kerja sama yang brilian, meski sempat diseling debat sana-sini dari Pak Marto (karena kurang sreg dengan kain yang seumur-umur baru dipakainya), akhirnya membuahkan hasil sempurna. Untung saja ndak pake keris segala, bisa-bisa aku kecucuk(6) kerisku sendiri, gerutu Pak Marto separo geli. Setengah jam kemudian, mereka berdua sudah duduk manis menekuri pisang goreng dan teh nasgitel (panas, legi, kenthel)(7).
“Alhamdulillah, selesai juga ya Lik. Matur nuwun(8) lho atas bantuannya…”
“Ah, sama-sama dik Marto. Sampeyan(9) belum biasa saja pake kain, jadi repot begitu… Ojo dilihat repotnya dik, kapan lagi kita jadi panitia hajatan istimewa koyo ngene tho? Jarraang, ora kabeh wong iso(10). Nah, ini kehormatan buat kita tho?”
“Betul itu. Lha gimana ndak istimewa, tempatnya saja dihias apik tenan(11) tho, melebihi kondangane(12) nak Larasati, anake Pak Lurah kuwi…,” Bu Marto datang menyeletuk sembari membawa sepiring ubi rebus.
“Oho, lain Bune. Acarane nak Laras ndak ada apa-apanya dibanding hajatan hari ini. Kalah jauh, makanya baru tengah malam tempat hajatannya selesai dihias. Coba mengko deloken(13), apik tenan!,”Pak Marto setengah berpromosi.
“Iyo, percoyo, percoyo.”
*****
Jam tujuh kurang seperempat…
Orang-orang bergerombol menyemuti satu lokasi. Ada janur-janur kuning, kain batik pesisiran membentang, buah-buah kelapa bergelantungan di beberapa titik sentral. Tidak lupa, ada sayup-sayup terdengar suara gending lembut menyeruak dari radio tape yang diletakkan di balik meja panitia. Menggugah, mengundang decak kagum. Wuah, pancen oye eh… pancen oke!
“Syerius tho panitia hajatane?,”mbah Sungkono yang giginya sudah banyak yang ompong, memandangi hasil karya Pak Marto dan kawan-kawan dengan terpesona.
“Lha iyo Mbah. Harus serius! Kesempatan tho, kapan lagi? Ora mben dino, apa meneh ben taon tho(14)?”
Cucunya, yang antri di belakangnya menunggu giliran, menyahut. Dia melihat sekeliling. Agak aneh memang, sepagi ini kampung kecilnya sudah ramai ditingkahi suara-suara penghuninya. Ibu-ibu, yang biasanya masih sibuk menyapu halaman rumah dengan dasternya, sudah berdandan rapi, ayu-ayu dengan bedak dan gincu tebal, konde gedhe dan kebaya ketat memeluk tubuh mereka. Bapak-bapak ndak kalah gaya, kemeja batik lengan panjang plus sepatu yang berusaha disemir kuat-kuat. Hm, lain memang, sangat spesial!
Lokasi hajatan spesial itu sendiri tidaklah spesial. Hanya di jalan kampung, gang kecil tepatnya. Berbentuk persegi panjang, dibatasi bambu-bambu pembatas dan kain terpal sederhana sumbangan warga. Ada tanda MASUK, KELUAR, juga sejumlah panitia yang begitu gagah dengan beskap dan blangkonnya, termasuk dua orang hansip dan saksi-saksi. Semua tersenyum sumringah, ya panitia, ya hadirinnya. Bedanya, tiap peserta kondangan diberi nomor setelah menyodorkan kartu biru kepada panitia yang duduk dekat pintu masuk.
“Monggo(15) Mbah, nomor 15. Ditunggu saja ya?” Pak Marto menyapa dengan ramah. Ada kehangatan menjalar menyaksikan antusiasnya warga mendatangi lokasi hajatannya. Ndak sia-sia aku kerja sampai malam tadi, bisiknya dalam hati. Diliriknya anggota panitia lain, wajahnya sama, sumringah, penuh bunga.
“Ndak lama tho nak Marto?”
“Insya Allah ndak.”
Orang-orang berkerumun, tertib menanti giliran. Meski banyak juga yang tidak mendapat tempat duduk, keringat mulai berleleran, kipas-kipas mungil mulai dikeluarkan dari tas kondangan yang meling-meling (16) ditimpa cahaya surya yang mulai membara, tak ada keluhan berarti. Roman-roman muka masih seantusias semula. Termasuk anak-anak kecil yang kerjanya berseliweran sembari lari-lari kecil mengitari lokasi hajatan.
“Tes, tes! Ehem, ehem… “
“Sst, sst, tenang, tenang semua! Anak-anak, huss, ojo ribut!”
Suara-suara mendesis berusaha membantu kekhusyukan acara hajatan kali ini. Tak lama sesaat setelah jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi…
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi untuk semua warga Rt 001 . Terima kasih atas kehadirannya. Bla… bla…”
---
terj:
Panjenengan durung dahar: Kamu belum makan
Ojo ngono: jangan begitu
Susah tenan iki: susah sekali
Ora pas terus tibane: Tidak pas/tepat betul jatuhnya
Wis kemeringet: sudah berkeringat
Kecucuk: tertusuk
Panas, legi, kenthel: panas, manis, kental
Matur nuwun: terima kasih
Ora kabeh wong iso: tidak semua orang bisa
Apik tenan: bagus sekali
Kondangane: undangannya
Mengko deloken: nanti dilihat
Ora mben dino, apa meneh ben taon tho: Tidak setiap hari, apalagi tiap tahun
Monggo: Silakan
Meling-meling: berkilap-kilap
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
aduh ... banyak bahasa Jawanya ... gubrak! :-P
Ini hajatan opo tho, mbak...? Kok kayaknya rueppot tenan. (jadi penasaran nih nunggu sekuelnya. ;))
Tenang Jeng, menjawab penasaran para penongton, kuteruskan sekuelnya ya. 'Jackie Chan' beraksi, hehe...
Post a Comment