KOMENTAR BUKU
”SEPOTONG CINTA DI DALAM HATI: RENUNGAN SEORANG AYAH MENDAMPINGI ANAK AUTIS”,
PENGARANG: DWINU PANDUPRAKASA
PENERBIT: GEMA INSANI PRESS, 2007
Buku ini menyuarakan segenap perasaan paripurna seorang ayah. Ketika penyesalan merebak tatkala terlambat menangani demam tinggi Tita, sang putri penyandang sindrom autis, nyaris ke titik nadir, sedih bercampur putus asa (h. 16-17), hingga bangkit lagi dan saling menulari semangat bersama sang istri (h. 29).
Di dalamnya juga tergambarkan secara detil, bahwa mengasuh anak, entah itu anak normal maupun anak luar biasa seperti Tita, teramat sangat membutuhkan kerjasama dan kekompakan hati dan sikap dari kedua orang tua. Tidaklah dapat kita hanya menyandarkan dan mengandalkan satu pihak (biasanya istri, berlandaskan alasan sang suami sibuk mencari nafkah), sementara pihak lain bersikap tak peduli atau malah masa bodoh, karena cepat atau lambat pola pikir demikian akan merongrong perkembangan kemajuan sang buah hati.
Sebagaimana anak biasa, anak luar biasa seperti Tita, ternyata unik, sehingga butuh komunikasi aktif-intensif dengan banyak ahli (dokter, terapis, ahli gizi, dan lainnya) sebelum akhirnya Dwinu dan istri memilih jenis terapi terbaik yang sesuai dengan kondisi Tita.
Di tengah keterbatasan Tita, Dwinu masih bisa bersyukur, masih meluangkan waktu untuk Tita, dibandingkan dengan Dinda, sesama penyandang autis yang hanya diantar pengasuh dan sopir saat terapi, juga Dion yang secara materi berlimpah (bab “Dinda Mencari Cinta”, dan bab “Anugerah Terbaik untuk Sang Ayah”). Bagi saya, petikan kata “…kami punya selaksa cinta di dalam hati untuknya…” sangatlah dalam dan menyentuh, tepat menyuarakan isi hatinya. Demikian juga kutipan ayat Qur’an dalam surah Ar Rahman, tentang nikmat Allah mana lagi yang akan kita dustakan. Jujur saja, untuk saya pribadi, kisah Tita ini makin membuat saya untuk senantiasa introspeksi diri, sudahkah kita menabung syukur dari hari ke hari atas karunia-Nya selama ini, mungkin bahkan seharusnya dalam setiap helaan nafas kita?
Dari tuturan Dwinu, kita ‘diajarkan’ sebagai orang tua untuk belajar menerima apapun takdir yang sudah digariskan Allah, karena menyangkut sikap/penerimaan terhadap anak, sekaligus jangan pernah berhenti berdoa dan berupaya. Janganlah pernah kita berputus asa dari rahmat Allah, cukilan kalimat yang mengandung harapan plus semangat.
Kisah nyata ini ditutup yang bagus, yaitu kisah tentang perkembangan Tita yang sudah bisa berkomunikasi dengan kakek-neneknya dengan baik, serta keterlibatan aktif Dwinu pada tempat terapi autis untuk kaum dhuafa.
Sayangnya, pemilihan/diksi bahasa yang kurang variatif, semisal tentang memuji kebersahajaan istri (h. 36 bandingkan dengan h. 6-7) agak sedikit mengganggu. Seperti juga pemilihan judul yang – meski bagaimanapun menjadi hak ‘prerogatif’ penulis plus penerbit—menurut opini saya, justru lebih menyentuh dengan “Selaksa Cinta untuk Tita”.
Juga alur kisah agak kurang sistematis atau runtun, sehingga agak membingungkan penikmatnya. Contoh, saat Dwinu menuliskan kemajuan Tita (h. 74), lalu ‘diseling’ paragraf atau bab tentang hal lain. Model kilas-balik ini dengan pengaturan alur yang sedikit kacau terus-terang agak memecah konsentrasi saya sebagai pembaca.
Di sisi lain, menurut saya, surat untuk presiden SBY agak kurang klop ditempatkan dalam buku ini. Mungkin akan lebih tepat bila dibahasakan dalam gaya tutur dan harapan orang tua anak autis mengenai penyediaan fasilitas, juga akses pendidikan (dalam hal ini terapi) yang terjangkau dari pemerintah.
Namun terlepas dari kekurang-kekurangan kecil di atas, buku ini kian memperkaya khasanah buku tentang anak autis. Berbeda dengan buku Karin Seroussi maupun DR. Dr. Y. Handoyo, MPH yang lebih menyoroti sisi medis dan gizi, bagi saya, buku Dwinu lebih kaya dengan sisi manusiawi orang tua, sekaligus sisi religiusitasnya sebagai seorang muslim. Intinya, dengan membaca buku ini, banyak hikmah yang bisa kita ambil, yaitu hidup adalah penuh perjuangan, hidup identik dengan senantiasa belajar mencintai, hidup harus selalu diisi dengan harapan, doa, dan juga usaha tak kenal menyerah, karena rahmat Allah akan selalu melingkupi tiap langkah yang kita ayunkan.
Terima kasih untuk Dwinu dan istri, juga Tita…
(catatan: Maaf kalau tulisan kali super-serius, naskah ini pernah diikutsertakan dalam lomba komentar buku GIP... Semoga bisa diambil hikmahnya ya...)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
7 comments:
duh ... serius banget tulisannya ... jadi rekomendasi apa nih ... pantas dibeli bukunya? :)
Ada iklan dari pak Zuki di Blog ana, agar mampir ke sini. Dan ternyata gak sia2. Assalaamualaikum ukhti. Dulu ana satu kantor sama pak Zuki di Premier Oil.
BTW, ttg postingan kali ini, Subhanallaah kena banget. Memang "special Child is for special parents"
"It's a gift from heaven". Tulis seorang teman di bawah photo anaknya yang juga autis.
Thanks for sharing. I'll tell her to take a look.
+Wah!!!!! Hebat boooo! Mama memang Super Error yang bisa memberantas keseriusan, tapi kadank2 serius juga ya, Yus?
-Iya kak!
"jangan dibuang yaaaaaaaaaaaaaaa....."
Here is my friend antusiasm:
"...Thanks sharing nya, summary nya aja bagus yha, nanti aku cari deh di toko buku, terutama referensi bagaimana bekerja sama dengan suami di dalam menangani anak2 dengan "kebutuhan khusus" ini…
Wassalam .."
Keep enlighten us with your "berkas-cahaya"
Mbak Diana,
terima kasih atas review en resensinya.
Izin utk saya kutip ya....
Wassalam
Dwinu
ayahtitarasya. multiply.com
Post a Comment