(disarikan dari Buku MQ Segera: Aa Gym)
Di awal kutipan buku ini, disebutkan tentang waktu yang mustahil diputar mundur. Tentang penyesalan kita yang tiada berujung saat ragu atau bahkan batal melakukan suatu amal? Membantu tetangga yang sakit, menyingkirkan batu/duri di jalan, atau amalan lainnya?
Aku jadi teringat kenangan yang begitu membekas. Tetangga depan rumah, kebetulan pula seorang dokter. Meski kami berbeda keyakinan, sejauh ini, hubungan silaturahmi kami cukup baik, adalah sesekali bertukar kue atau hantaran. Dia juga ringan hati menerima pasien dadakan, entah kami sendiri atau anak-anak yang terserang penyakit ringan. Uluran tangannya teramat sangat membantu, karena aku cukup mengangkat telepon, menanyakan waktunya yang senggang untuk bisa menerima pasien, dan wuzz... tinggal nyeberang, tidak butuh 5 menit, sudah tibalah kami dengan selamat di ruang prakteknya. Tarifnya pun tidak mahal, obat insya Allah hampir selalu tersedia di lemari obatnya. Orangnya memang pendiam, tidak banyak bergaul, tapi so far, it's ok for me :) Kupikir, tiap orang kan punya kepribadian masing-masing, juga kesibukan, juga kelebihan dan kekurangan, seperti juga aku?
Suatu hari, tersiar kabar dia masuk RS, katanya gejala DB (memang sedang giat-giatnya merajalela di perumahan kami). Tidak ada satupun dari kami yang berfikir jauh, aah, paling si ibu dokter cepat sembuh, apalagi dia kan dokter, istilah kata punya ilmu untuk melawan penyakit itu. Kami lupa sama sekali bahwa bagaimana pun, dia manusia juga, didera kesibukan tak kenal putus, mungkin juga lupa makan dan istirahat, wallahu 'alam... Singkat kata, setelah dia opname selama 1 pekan, barulah terdeteksi bahwa dia terserang leukemia (kanker darah).
Mendengar berita itu, aku seperti tersambar petir. Astaghfirullah, itu bukan penyakit ringan, malah tergolong penyakit super-serius (Oomku, adik kembar Bapak, berpulang ke rahmatullah setelah 3 bulan divonis leukemia).Setengah kalut, pada jam 9 Senin pagi itu, aku SMS suami, minta izinnya untuk menjenguk ibu ini, alhamdulillah dibolehkan, bahkan dia sempat mewanti-wanti, kalaupun aku tak punya teman ke sana (dirawat cukup jauh dari rumah, di RS UKI Cawang), dimintanya aku berangkat sendiri. Dan memang kenyataannya, aku harus menempuh perjalanan sendirian, karena jadual tetangga lain tidak ada yang cocok.
Bismillah, duh Gusti, perkenankan aku untuk bisa bersua dia dalam sakitnya, dan izinkan aku untuk sempat mendoakan yang terbaik baginya... Sesampainya di RS, ternyata dia sudah dipindahkan ke ruangan lain, dan aku harus mengenakan masker untuk meminimalkan virus luar masuk ke tubuhnya. Campur-aduk perasaanku, melihat tubuhnya tergolek lemah, matanya yang cekung dan tampak menyandang banyak beban. Tak banyak bercakap, aku minta dia bersabar dengan penyakitnya. Dan ternyata itulah percakapan terakhir dengan penjenguknya, tetangga yang datang keesokan harinya mengatakan bahwa dia sudah begitu drop kondisinya, dan hari Kamis, ketika dalam perjalanan ke RSCM untuk masuk ruang isolasi, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'un...
Satu hal yang patut kusyukuri hingga hari ini, Allah menggerakkan hatiku untuk bersegera menjenguknya, memudahkan niatku dan alhamdulillah izin suami kian membuka jalan. Kalaulah kuturutkan bujukan tetangga yang memintaku membesuk esok hari, mungkin penyesalan takkan padam dari benakku...
Jadi, jangan pernah tunda niat baik kita, segera kerjakan selagi memungkinkan, jangan sampai rasa sesal itu datang belakangan. Yuk saling mengingatkan!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
ya kadang kita lupa juga, apa 5 menit ke depan kita masih punya nafas dan diizinkan untuk beraktivitas? Ayo ... ayo ... :)
kadang kita lupa bahwa waktu itu tidak bisa di beli.
Post a Comment