Aku pernah berbincang sersan (serius tapi santai) dengan sobat kentalku. Bincang-bincang biasa sebenarnya, tapi lama-kelamaan kok menukik makin dalam ke topik SSS (sangat sangat serius). Yaitu pernak-pernik kehidupan berumah tangga, seputaran masalah anak, suami, bapak-ibu, mertua, dan sebagainya.
Dia bilang, beberapa kali ketika dia merasa teramat sangat sayang terhadap suaminya, kok ya ada saja sekeping kejadian yang akhirnya membuahkan kekecewaan. Entah saat dia sudah rapi jali semerbak mewangi menanti sang pujaan hati melangkahkan kaki (naah, puitis ngga?) pulang ke rumah, ujug-ujug sang suami lapor kalau pulang larut malam karena keasyikan ngobrol atau harus lembur, atau dia sedang ingin ngobrol santai eh kok ya suaminya asyik mendengkur kelelahan, atau juga ketika sudah lintang-pukang memasak sajian istimewa favorit suami ternyata beliau sudah dinner di luar atau kalaupun makan di rumah, ya makannya sambil lalu ngga pake memuji ngga pake basa-basi... Gimana ngga sevvot (liat kan, udah ngga pake w lagi, ganti v dobel pula :)) bin kesel?
Tahu ngga, sesaat aku terpesona dengan tutur ceritanya. Bukan apa-apa, ternyata aku juga pernah mengalaminya dengan Abang tersayang (piss man, plis read until the end ya :)). Mungkin tidak persis sama, tapi overall mirip (kurang lebihnya mohon maaf, lho?). Tapi alhamdulillah, dari perbincangan ini pula kudapat pencerahan untuk langkah selanjutnya, so tidak ngegosip, menyalahkan suami yang kurang toleran atau ngerti perasaan istri, de el el. Apakah itu? Yuk simak!
Pertama dan utama, kami ini, para istri, sepatutnya membenahi niat. Dasar apakah yang melatarbelakangi semua tindakan di atas hingga berujung kekecewaan? Ternyata setelah dikaji-kaji, niatnya adalah ingin beroleh pujian dari suami, bukan disandarkan semata karena Allah SWT. Makanya ngga heran waktu suami cuek bebek aja, langsung sakit atiii deh... Padahal kalau saja niat itu diluruskan, insya Allah tidak akan kecewa atau marah, karena Allah tidak akan pernah mengecewakan kita bukan??
Aku jadi ingat Aa Gym pernah mengingatkan kita untuk tidak menggantungkan harapan kepada manusia/makhluk, karena bisa bermuara pada timbulnya rasa kecewa, sedih, dan marah tatkala manusia tersebut tidak mampu memenuhi harapan kita. Namanya manusia kan tempatnya salah dan ketidaksempurnaan, so pasti ada masanya berbuat keliru?
Kedua dan ngga kalah penting adalah paradigma alias pola pikir yang tertanam bahwa suami adalah tempat utama atau bahkan satu-satunya kita mencurahkan cinta, the only one dedication of every wife, dan ternyata, mohon maaf, keliru besar! Hanya Allah jua cinta sejati kita, paling hakiki, yang paling paling lah pokoknya... Karena apa? Cinta yang terlampau berlimpah kepada seseorang, entah dalam hal ini pasangan hidup, anak-anak, atau siapapun, pada suatu masa akan menyakitkan ketika takdir-Nya memisahkan kita, entah melalui kecelakaan, salah satu berpulang, perceraian, atau apapun. Kalaupun ditakdirkan terus bersama, salah satu merasa terkekang, tersiksa, terancam, tidak nyaman dengan dirinya, sementara pihak lainnya merasa was-was, takut ditinggalkan. Kalau sudah demikian, hati-hati lho, ini sudah masuk fase berbahaya, artinya kita sudah mulai "cinta dunia", takut sendirian, karena terlalu bergantung pada makhluk, padahal seharusnya cuma Dia, sang Maha Penggenggam tiap jiwa kita, menjadi satu-satunya sandaran kita, tempat curhat atau berkeluh-kesah.
Aku teringat -- kalau ngga salah ya -- ada kata bijak, "Sederhanalah kamu dalam mencinta dan membenci". Mengapa sih harus sederhana aja, biasa aja? Ya itu tadi, kalau berlebihan, kan ngga baek, meresap terlalu dalam di lubuk hati, entah jadi cemburu akut, dendam, atau penyakit hati lainnya, juga karena bisa saja benci berubah jadi cinta ataupun sebaliknya, kan berabe nantinya saat perasaan kita itu jadi bertolak belakang dengan yang selama ini digembor-gemborkan? Cinta dalam porsi wajar, biasa saja, karena yang 'spesial pake telor' cuma dan cuma untuk Dia, Sang Pencipta.
Naah, cara sobatku mungkin bisa jadi contoh. Ketika di lain hari kejadian seperti di atas berulang kembali, santai aja dia menyikapinya, entah segera beralih ke anak-anaknya, aktivitas lain, menikmati masakan sendiri di teras, atau kalau suaminya sudah keburu lelap, ya dia baca buku deh bablas sampai tengah malam! Intinya, isi kepala dan hatinya dienyahkan dari syak wasangka atau perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap suami. Rebes kan?
Jadi sejak saat itu, kami mulai menata niat, semua yang dilakukan semata lillahi ta'ala... Tidak mudah memang, perlu waktu dan proses, tapi bismillah, kita bisa...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
Subhanalloh ....
TErima kasih kunjungannya yaa mbak Diana, sering2 mampir. BTW, pingin lihat foto 2 juniornya deh..he.he..
"tidak menggantungkan harapan kepada manusia/makhluk..."lurusin niat dulu deh, semuanya jadinya kudu lillahi ta'ala ya mbak? *ini mbak diana bundanya kuni kan ya? alhamdulillah nanda, nunik, danu (halah) sehat semua. salam buat yang suka komen nomor satu ya mbak :d*
Mbak Lili: makasih kembali, sdh sering mampir sih,cm rada gaptek sm instruksinya, hehe...
Mas Danu: Iya betul mas... Insya Allah salam disampaikan :)
Amin
Terima kasih, sudah diingatkan kembali melalui tulisannya mbak Diana. Masih sering 'takut' sih dengan pendapat orang lain, padahal yang harus ditakuti hanya pendapat Dia Yang Maha Sempurna ya, mbak? Matur nuwun taushiyahnya. :)
Post a Comment