Termangu, kata seolah terkunci mati tak terucapkan, hanya tatap yang tersisa...
Hari itu kusaksikan lagi seorang perempuan perkasa, pengarung hidup penuh cabik dan luka, namun anehnya, dia tersenyum, cantik, teramat cantik, yang aku sendiri tak berani membayangkan masih sanggup tersenyum tulus di sela duka-derita yang menderanya selama sekitar dua puluh tahunan ini. Subhanallah, apa lagi skenario yang Allah hibahkan kepadaku, melalui perjumpaan dengan dia? Sungguh tanda tanya besar, maha besar...
"Menurut logika akal sehat, semestinya aku sudah mati bertahun lampau mbak, atau paling tidak, setengah gila, dihadapkan pada perkawinan semacam ini."
Ya, bagaimana tidak, dia menaruh harapan teramat banyak pada suaminya, tatkala menikah dengannya. Manusia kelas atas, level ustad, malah gurunya ustad kondang, tentu tidak salah dia memiliki angan-angan perkawinan yang sempurna, mendekati sempurna. Tapi ternyata hanya asa semu semata yang terpampang di hadapannya, pahit sepahit empedu, karena perlakuan suami yang tidak amanah. Dan ketika semua itu harus berakhir dengan perceraian, dan dia harus membawa beberapa anak, sesungguhnya dia masih punya keping asa tersisa, bahwa kelak akan ditemuinya kebahagiaan yang didamba dari suami keduanya.
Bahagiakah dia? Bahagiakah dengan perkawinan selanjutnya, dengan suami barunya? Ternyata pahit itu masih harus dicecapnya, untuk sepuluh tahun berikutnya, entah untuk
berapa tahun ke depan... Banyak aib suami yang ditutupinya, hingga perlahan terkuak dan diketahui keluarga besar, dan anjuran bertubi-tubi untuk bercerai berulangkali disuarakan. Tapi mengapa dia memilih untuk bertahan, mengapa??
Ada tanya di hati, jika cinta bisa membuat seorang perempuan bertahan pada satu lelaki, mengapa cinta tidak bisa membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?
"Aku sadar mbak, aku membuat kekeliruan. Kekeliruan terbesar dalam hidupku, yaitu 2 kali aku menggantungkan harapanku pada manusia, dan 2 kali pula aku terjerembab. makanya Allah marah, marah besar kepadaku, sehingga Dia berikan aku cobaan sebegitu besar. Dari kejadian ini aku merenung, jangan pernah kita berharap pada manusia, karena manusia takkan pernah sempurna. Kekeliruanku yang lain adalah perasaan memiliki, padahal itu tidak boleh, karena sepatutnya tiada satupun makhluk-Nya saling memiliki, hanya sebatas menjaga amanah, bertanggung jawab. Melalui perenungan itu aku bersyukur, Dia juga teramat sayang, kurasakan sekali kasih sayang-Nya, masih mau Gusti Allah membuka pintu hatiku. Meski buat mata manusia mungkin perlakuan suamiku sudah melampaui batas untukku menyerah, biarlah aku menyerah pada takdir-Nya. Aku ingin ridha, ikhlas betul menerima apapun, apapun takdir-Nya, apakah nasibku akan terus terkatung-katung seperti ini, atau berakhir seperti pernikahan pertamaku, wallahu'alam..."
Indah nian kata-katanya, bernas berisi. Hanya berharap kepada Allah, benar-benar hanya bergantung asa dan impian kepada-Nya, tanpa kecuali, tanpa pesaing, Dia dan hanya Dia. Dan katanya, hari-harinya berjalan dengan ringan, penuh rasa syukur, meski kalau mau diturutkan nafsi-nafsi manusia, katanya, dendam bisa teramat sangat membara, namun alhamdulillah, bisa pupus sirna oleh ingatan akan janji-janji Allah yang maha pasti, tentang surga, tentang sungai-sungai yang mengalir, sungai susu, sungai madu, dan haqqul yakin ditepati, tanpa syarat... Tanpa terasa, mata ini basah, penuh beranak sungai.
Duh Allah, selayaknya dialah sang terpilih, bukan mantan suami dan suaminya yang digelari ustad oleh segerombolan manusia. Bagaimana bisa seorang ustad, guru yang dielu-elu, mampu melupakan sepotong hadits Rasulullah, bahwa sebaik-baik lelaki adalah yang terbaik dalam memperlakukan istri?
Aku tahu jawabannya, dia terpilih karena dia mulia di hadapan-Mu, karena dia yakin bahwa "aku bukan perempuan biasa..."
Astaghfirullah... Astaghfirullah...
Alhamdulillah, puja-puji hanya layak, teramat layak hanya dialamatkan kepada-Nya, yang telah cermat menyusun potongan hidupku bersua dengannya, seorang perempuan luar biasa...
----
“Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setiap ada satu lelaki, kenapa cinta tidak bisa membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?” ("ISTANA KEDUA", ASMA NADIA)
Ya Allah,
jika aku jatuh cinta,
jagalah cintaku
padanya agar tidak melebihi cintaku pada-Mu
Ya Allah,
jika aku jatuh hati,
izinkanlah aku
menyentuh hati seseorang yang
hatinya tertaut pada-Mu,
agar tidak terjatuh aku
dalam jurang cinta semu.
Ya Rabbana, jika aku jatuh hati, jagalah hatiku
padanya agar tidak berpaling pada hati-Mu.
Ya Rabbul Izzati, jika aku rindu, rindukanlah aku pada
seseorang yang merindui syahid di jalan-Mu.
Ya Allah, jika aku rindu, jagalah rinduku padanya agar
tidak lalai aku merindukan syurga-Mu.
Ya Allah, jika Kau halalkan aku merindui kekasih-Mu,
jangan biarkan aku melampaui batas sehingga melupakan
aku pada cinta hakiki dan rindu abadi hanya kepada-Mu.
(Puisi Erwin Arianto, "Ya Allah, jika aku jatuh cinta..."
Friday, March 28, 2008
Thursday, March 27, 2008
BERLAYARLAH MENUJU PANTAI HARAPAN...
Sumber: Motivasi_net
Anda adalah perahu kokoh yang sanggup menahan beban, terbuat
dari kayu terbaik, dengan layar gagah menentang angin.
Kesejatian anda adalah berlayar mengarungi samudra, menembus
badai dan menemukan pantai harapan. Sehebat apapun perahu
diciptakan, tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga.
Dermaga adalah masa lalu anda. Tali penambat itu adalah
ketakutan dan penyesalan anda. Jangan buang percuma seluruh
daya kekuatan yang dianugerahkan pada anda. Jangan biarkan
masa lalu menambat anda di situ. Lepaskan diri anda dari
ketakutan dan penyesalan. Berlayarlah. Bekerjalah.
Yang memisahkan perahu dengan pantai harapan adalah topan
badai, gelombang dan batu karang. Yang memisahkan anda
dengan keberhasilan adalah masalah yang menantang. Di
situlah tanda kesejatian teruji. Hakikatnya perahu adalah
berlayar menembus segala rintangan. Hakikat diri anda
adalah berkarya menemukan kebahagiaan.
Anda adalah perahu kokoh yang sanggup menahan beban, terbuat
dari kayu terbaik, dengan layar gagah menentang angin.
Kesejatian anda adalah berlayar mengarungi samudra, menembus
badai dan menemukan pantai harapan. Sehebat apapun perahu
diciptakan, tak ada gunanya bila hanya tertambat di dermaga.
Dermaga adalah masa lalu anda. Tali penambat itu adalah
ketakutan dan penyesalan anda. Jangan buang percuma seluruh
daya kekuatan yang dianugerahkan pada anda. Jangan biarkan
masa lalu menambat anda di situ. Lepaskan diri anda dari
ketakutan dan penyesalan. Berlayarlah. Bekerjalah.
Yang memisahkan perahu dengan pantai harapan adalah topan
badai, gelombang dan batu karang. Yang memisahkan anda
dengan keberhasilan adalah masalah yang menantang. Di
situlah tanda kesejatian teruji. Hakikatnya perahu adalah
berlayar menembus segala rintangan. Hakikat diri anda
adalah berkarya menemukan kebahagiaan.
Wednesday, March 26, 2008
DUNIA ITU KECIL TERNYATA...
Sebelum mulai bertutur, perkenankan daku mengucap hamdalah, segala puji hanya untuk-Nya, masih mengizinkanku bernafas hingga hari ini, bersua kembali dengan para sahabatku, dan juga diberi kesempatan menikmati ayat-ayat kauniyahnya di sela libur panjaaaang kemarin... Masya Allah...
Percayakah Anda bahwa dunia kian menciut dan mengecil (bukan perut yah, kalau itu mah horee banget, hehe...)? Kejadian yang kualami membuktikan kata-kata itu, dan kian meyakinkanku bahwa sesuatu yang menurut kita sulit dicerna akal, mustahil, atau apapun jua namanya, mudah bagi Allah, bila Dia berkehendak.
Pandai Sikek, sebuah kota kecil di Sumatera Barat. Dingin, indah dengan gunung-gemunung dan sawah hijau terhampar, masyur dengan sulaman dan tenun songket serta ukiran kayunya yang indah. Ke sanalah kami menuju beberapa waktu lalu, tanpa berpretensi apapun, selain begitu banyak rekomendasi "the must go place/town".
Berlabuhlah kami di sebuah rumah cantik. Coba bayangkan, rumah gadang dipenuhi ukiran kayu khas, warna-warninya ceria menyedot atensi (merah,coklat terang, kuning, de el el), dan di mukanya terbentang kolam yang dihiasi beberapa tangkai bunga teratai 'pinky'. Aaah, seperti di negeri dongeng saja kan?
Adegan belum jeda sampai di situ. Seorang nenek berpakaian sederhana menyambut ramah kedatangan kami, beliau rupanya tengah asyik berkebun. Diajaknya kami ke rumah panggungnya yang indah, dan subhanallah... semua sudut disesaki karya seni tingkat tinggi. Kain-kain songket penuh bersulam benang emas aneka desain, dari yang produk masa kini maupun yang berusia ratusan tahun (warisan nenek buyut sang nenek), juga contoh mini pelaminan minang yang megah-meriah, dan kriya tembaga seperti cangkir, cawan, teko, waah pokoknya seperti museum mini pribadi, melampaui toko suvenir biasa. Dan bisa ditebak ketika aku menanyakan harga segulungan kain songket, ternyata harganya hanya (catet ya hanya, hehe...) 7,5 juta! Wadduh, untung ngga pingsan dah :)) Alih-alih melipur lara dengan mengecek harga sehelai selendang sulam tangan dengan rajut benang perak di ujungnya, malah kian membuat prihatin, 2,5 juta man! Kata sang nenek, itu harga yang pantas dibayar, karena proses pengerjaannya yang sangat memakan waktu, 5 bulan! Wow... Speechless aku, apalagi suami, ngga berani dekat2, takut kenapa-napa katanya, hehe...
Naah, kembali ke laptop, sang nenek ini ternyata adalah ibunda tercinta dari adik kelasku di Psikologi UI, beda 4 angkatan. Gusti Allah... manalah terbetik sedikitpun di benak, Jakarta versus Padang Sikek, kota megapolitan padat penduduk versus desa indah terpencil di Ranah Minang, dipisahkan ribuan kilometer via laut, darat, dan udara, kok ya bisa Kau pertemukan hamba dengan beliau yang punya pertautan darah dengan temanku? Aku yang lalai, alpa, bahwa segalanya mudah bagi-Mu, kun fayakun... Aku seperti digerakkan untuk datang ke rumah itu, meski beberapa showroom dan toko suvenir sudah dilewati. Dan alhamdulilah, beliau tampaknya suka cita menyapa, menutur kenangan, dari memori indah hingga sekejap terlihat air matanya berkaca-kaca... Ah, agaknya beliau merindu dendam dengan ananda tercintanya...
Jadi spesial buat Ocha/Rozamon, ada salam penuh cinta dari ibunda, doa beliau senantiasa mengiringimu, layaknya doa ibunda-ibunda kita semua untuk buah hatinya...
Percayakah Anda bahwa dunia kian menciut dan mengecil (bukan perut yah, kalau itu mah horee banget, hehe...)? Kejadian yang kualami membuktikan kata-kata itu, dan kian meyakinkanku bahwa sesuatu yang menurut kita sulit dicerna akal, mustahil, atau apapun jua namanya, mudah bagi Allah, bila Dia berkehendak.
Pandai Sikek, sebuah kota kecil di Sumatera Barat. Dingin, indah dengan gunung-gemunung dan sawah hijau terhampar, masyur dengan sulaman dan tenun songket serta ukiran kayunya yang indah. Ke sanalah kami menuju beberapa waktu lalu, tanpa berpretensi apapun, selain begitu banyak rekomendasi "the must go place/town".
Berlabuhlah kami di sebuah rumah cantik. Coba bayangkan, rumah gadang dipenuhi ukiran kayu khas, warna-warninya ceria menyedot atensi (merah,coklat terang, kuning, de el el), dan di mukanya terbentang kolam yang dihiasi beberapa tangkai bunga teratai 'pinky'. Aaah, seperti di negeri dongeng saja kan?
Adegan belum jeda sampai di situ. Seorang nenek berpakaian sederhana menyambut ramah kedatangan kami, beliau rupanya tengah asyik berkebun. Diajaknya kami ke rumah panggungnya yang indah, dan subhanallah... semua sudut disesaki karya seni tingkat tinggi. Kain-kain songket penuh bersulam benang emas aneka desain, dari yang produk masa kini maupun yang berusia ratusan tahun (warisan nenek buyut sang nenek), juga contoh mini pelaminan minang yang megah-meriah, dan kriya tembaga seperti cangkir, cawan, teko, waah pokoknya seperti museum mini pribadi, melampaui toko suvenir biasa. Dan bisa ditebak ketika aku menanyakan harga segulungan kain songket, ternyata harganya hanya (catet ya hanya, hehe...) 7,5 juta! Wadduh, untung ngga pingsan dah :)) Alih-alih melipur lara dengan mengecek harga sehelai selendang sulam tangan dengan rajut benang perak di ujungnya, malah kian membuat prihatin, 2,5 juta man! Kata sang nenek, itu harga yang pantas dibayar, karena proses pengerjaannya yang sangat memakan waktu, 5 bulan! Wow... Speechless aku, apalagi suami, ngga berani dekat2, takut kenapa-napa katanya, hehe...
Naah, kembali ke laptop, sang nenek ini ternyata adalah ibunda tercinta dari adik kelasku di Psikologi UI, beda 4 angkatan. Gusti Allah... manalah terbetik sedikitpun di benak, Jakarta versus Padang Sikek, kota megapolitan padat penduduk versus desa indah terpencil di Ranah Minang, dipisahkan ribuan kilometer via laut, darat, dan udara, kok ya bisa Kau pertemukan hamba dengan beliau yang punya pertautan darah dengan temanku? Aku yang lalai, alpa, bahwa segalanya mudah bagi-Mu, kun fayakun... Aku seperti digerakkan untuk datang ke rumah itu, meski beberapa showroom dan toko suvenir sudah dilewati. Dan alhamdulilah, beliau tampaknya suka cita menyapa, menutur kenangan, dari memori indah hingga sekejap terlihat air matanya berkaca-kaca... Ah, agaknya beliau merindu dendam dengan ananda tercintanya...
Jadi spesial buat Ocha/Rozamon, ada salam penuh cinta dari ibunda, doa beliau senantiasa mengiringimu, layaknya doa ibunda-ibunda kita semua untuk buah hatinya...
Wednesday, March 19, 2008
RINDU KAMI PADAMU...
Written by : SAM / TAUFIQ ISMAIL
Vocal by : BIMBO
rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terpera
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja
rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terpera
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja
rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terpera
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
(menyambut Maulid Nabi, junjungan kita, sang suri tauladan, kepada beliau jualah kita becermin paripurna tentang hidup dan menyikapinya dengan cara bijak...)
Mohon pamit sejenak ya, mumpung ada libur, bukan harpitnas lho, insya Allah mau tadabur alam dengan pasukan ceria :)
Vocal by : BIMBO
rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terpera
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja
rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terpera
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
cinta ikhlasmu pada manusia
bagai cahaya suarga
dapatkah kami membalas cintamu
secara bersahaja
rindu kami padamu ya rasul
rindu tiada terpera
berabad jarak darimu ya rasul
serasa dikau di sini
(menyambut Maulid Nabi, junjungan kita, sang suri tauladan, kepada beliau jualah kita becermin paripurna tentang hidup dan menyikapinya dengan cara bijak...)
Mohon pamit sejenak ya, mumpung ada libur, bukan harpitnas lho, insya Allah mau tadabur alam dengan pasukan ceria :)
Monday, March 17, 2008
MEMBACA SEBATAS GENGSI? KOK ADA YA?
Ada artikel menarik di majalah femina terbitan 2 pekan lalu. Di situ dibahas tentang 'keharusan' zaman sekarang untuk hobi membaca supaya ngga ketinggalan topik terkini, selain juga dikutip jumlah pengeluaran para seleb (bukan lho, bukan saya, hehe... Ada ya orang ge-er dituduh??), kisaran minimalnya dari ratusan ribu hingga tak terbatas! Wow! Buku-bukunya pun canggih-canggih, dari Supernova, Laskar Pelangi, sampai buku berbahasa Inggris.
Tapi bukan itu yang menarik minatku, melainkan pernyataan beberapa orang bahwa mereka membeli buku-buku edisi lux maupun ensiklopedi yang muahal-muahal khusus untuk dipajang di lemari buku mereka yang juga off course muahal-muahal juga. Untuk apa? Ternyata untuk memberi kesan 'well-educated' pada para klien mereka, ini lho mereka yang berpengetahuan luas, tahu segalanya, up date buku-buku teranyar yang beredar di pasaran, de el el.
Ada pikiran iseng nih, coba kalo kuis "Who Wants to Be a Millioner" masih ada dan mereka diadu dengan peserta dari kalangan biasa (ingat ngga sang loper koran pemenang 500 juta?), kira-kira yang menang siapa ya? Hehe, jail bangets yah... Atau jangan-jangan para kalangan 'well-educated' ini menolak dengan elegan, udah kalah sebelum perang...
Terus-terang aku gemes banget baca artikel ini. Bagaimana bisa mereka dengan ringan hati membuang uang segepok hanya untuk tujuan gengsi semata? Padahal di luar sana, mungkin ngga sampai sepelemparan batu, di kampung-kampung kumuh di balik tembok perumahan mewah mereka, banyak anak-anak putus sekolah, juga orang-orang buta huruf. Alangkah lebih berartinya uang mereka, dengan nominal sama, bila dihibahkan atau disumbangkan untuk membangun taman bacaan umum, di mana masyarakat bebas mengaksesnya.
Kalau ada yang komentar ah itu kan uang mereka, terserah mereka dong mau diapain, ya iya benar juga sih... Aku jadi merenungi ucapan guru ngajiku, juga Pak Miftah Farid, yaitu sabar tidak hanya sebatas tatkala kita ditimpa musibah dan kesempitan, tapi juga ketika lapang, baik lapang materi maupun non materi. Godaan untuk renovasi rumah, gonta-ganti mobil atau HP, foya-foya, beli gadget mutakhir, dan sebagainya, itu beberapa contohnya. Hm, bisa ngga ya kita mengubah jendela pikiran kita, saat kita menerima kabar baik akan naik gaji atau dapat gaji ke-13, yang pertama kali dilakukan adalah sujud syukur dan kemudian langsung potong untuk zakat dan sedekah? Mungkin totalitas kita dalam bederma di jalan Allah belumlah sampai seujung kuku Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menyerahkan seluruh hartanya, tapi paling tidak kita senantiasa ingat, ada hak-hak orang lain di setiap keping uang kita.
Tapi bukan itu yang menarik minatku, melainkan pernyataan beberapa orang bahwa mereka membeli buku-buku edisi lux maupun ensiklopedi yang muahal-muahal khusus untuk dipajang di lemari buku mereka yang juga off course muahal-muahal juga. Untuk apa? Ternyata untuk memberi kesan 'well-educated' pada para klien mereka, ini lho mereka yang berpengetahuan luas, tahu segalanya, up date buku-buku teranyar yang beredar di pasaran, de el el.
Ada pikiran iseng nih, coba kalo kuis "Who Wants to Be a Millioner" masih ada dan mereka diadu dengan peserta dari kalangan biasa (ingat ngga sang loper koran pemenang 500 juta?), kira-kira yang menang siapa ya? Hehe, jail bangets yah... Atau jangan-jangan para kalangan 'well-educated' ini menolak dengan elegan, udah kalah sebelum perang...
Terus-terang aku gemes banget baca artikel ini. Bagaimana bisa mereka dengan ringan hati membuang uang segepok hanya untuk tujuan gengsi semata? Padahal di luar sana, mungkin ngga sampai sepelemparan batu, di kampung-kampung kumuh di balik tembok perumahan mewah mereka, banyak anak-anak putus sekolah, juga orang-orang buta huruf. Alangkah lebih berartinya uang mereka, dengan nominal sama, bila dihibahkan atau disumbangkan untuk membangun taman bacaan umum, di mana masyarakat bebas mengaksesnya.
Kalau ada yang komentar ah itu kan uang mereka, terserah mereka dong mau diapain, ya iya benar juga sih... Aku jadi merenungi ucapan guru ngajiku, juga Pak Miftah Farid, yaitu sabar tidak hanya sebatas tatkala kita ditimpa musibah dan kesempitan, tapi juga ketika lapang, baik lapang materi maupun non materi. Godaan untuk renovasi rumah, gonta-ganti mobil atau HP, foya-foya, beli gadget mutakhir, dan sebagainya, itu beberapa contohnya. Hm, bisa ngga ya kita mengubah jendela pikiran kita, saat kita menerima kabar baik akan naik gaji atau dapat gaji ke-13, yang pertama kali dilakukan adalah sujud syukur dan kemudian langsung potong untuk zakat dan sedekah? Mungkin totalitas kita dalam bederma di jalan Allah belumlah sampai seujung kuku Abu Bakar Ash-Shiddiq yang menyerahkan seluruh hartanya, tapi paling tidak kita senantiasa ingat, ada hak-hak orang lain di setiap keping uang kita.
Friday, March 14, 2008
MENCARI SEBUAH MESJID
Oleh : TAUFIQ ISMAIL
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
"Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan"
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
Aku diberitahu tentang sebuah masjid
yang tiang-tiangnya pepohonan di hutan
fondasinya batu karang dan pualam pilihan
atapnya menjulang tempat tersangkutnya awan
dan kubahnya tembus pandang, berkilauan
digosok topan kutub utara dan selatan
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sepenuh dindingnya yang transparan
dihiasi dengan ukiran kaligrafi Quran
dengan warna platina dan keemasan
berbentuk daun-daunan sangat beraturan
serta sarang lebah demikian geometriknya
ranting dan tunas jalin berjalin
bergaris-garis gambar putaran angin
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang menara-menaranya
menyentuh lapisan ozon
dan menyeru azan tak habis-habisnya
membuat lingkaran mengikat pinggang dunia
kemudian nadanya yang lepas-lepas
disulam malaikat menjadi renda-renda benang emas
yang memperindah ratusan juta sajadah
di setiap rumah tempatnya singgah
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang sebuah masjid yang letaknya di mana
bila waktu azan lohor engkau masuk ke dalamnya
engkau berjalan sampai waktu asar
tak bisa kau capai saf pertama
sehingga bila engkau tak mau kehilangan waktu
bershalatlah di mana saja
di lantai masjid ini, yang luas luar biasa
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang ruangan di sisi mihrabnya
yaitu sebuah perpustakaan tak terkata besarnya
dan orang-orang dengan tenang membaca di dalamnya
di bawah gantungan lampu-lampu kristal terbuat dari berlian
yang menyimpan cahaya matahari
kau lihat bermilyar huruf dan kata masuk beraturan
ke susunan syaraf pusat manusia dan jadi ilmu yang berguna
di sebuah pustaka yang bukunya berjuta-juta
terletak di sebelah menyebelah mihrab masjid kita
Aku rindu dan mengembara mencarinya
Aku diberitahu tentang masjid yang beranda dan ruang dalamnya
tempat orang-orang bersila bersama
dan bermusyawarah tentang dunia dengan hati terbuka
dan pendapat bisa berlainan namun tanpa pertikaian
dan kalau pun ada pertikaian bisalah itu diuraikan
dalam simpul persaudaraan yang sejati
dalam hangat sajadah yang itu juga
terbentang di sebuah masjid yang mana
Tumpas aku dalam rindu
Mengembara mencarinya
Di manakah dia gerangan letaknya ?
Pada suatu hari aku mengikuti matahari
ketika di puncak tergelincir dia sempat
lewat seperempat kuadran turun ke barat
dan terdengar merdunya azan di pegunungan
dan aku pun melayangkan pandangan
mencari masjid itu ke kiri dan ke kanan
ketika seorang tak kukenal membawa sebuah gulungan
dia berkata :
"Inilah dia masjid yang dalam pencarian tuan"
dia menunjuk ke tanah ladang itu
dan di atas lahan pertanian dia bentangkan
secarik tikar pandan
kemudian dituntunnya aku ke sebuah pancuran
airnya bening dan dingin mengalir beraturan
tanpa kata dia berwudhu duluan
aku pun di bawah air itu menampungkan tangan
ketika kuusap mukaku, kali ketiga secara perlahan
hangat air terasa, bukan dingin kiranya
demikianlah air pancuran
bercampur dengan air mataku
yang bercucuran.
Wednesday, March 12, 2008
MAKA, CINTAILAH DIA DENGAN SEDERHANA...
Aku pernah berbincang sersan (serius tapi santai) dengan sobat kentalku. Bincang-bincang biasa sebenarnya, tapi lama-kelamaan kok menukik makin dalam ke topik SSS (sangat sangat serius). Yaitu pernak-pernik kehidupan berumah tangga, seputaran masalah anak, suami, bapak-ibu, mertua, dan sebagainya.
Dia bilang, beberapa kali ketika dia merasa teramat sangat sayang terhadap suaminya, kok ya ada saja sekeping kejadian yang akhirnya membuahkan kekecewaan. Entah saat dia sudah rapi jali semerbak mewangi menanti sang pujaan hati melangkahkan kaki (naah, puitis ngga?) pulang ke rumah, ujug-ujug sang suami lapor kalau pulang larut malam karena keasyikan ngobrol atau harus lembur, atau dia sedang ingin ngobrol santai eh kok ya suaminya asyik mendengkur kelelahan, atau juga ketika sudah lintang-pukang memasak sajian istimewa favorit suami ternyata beliau sudah dinner di luar atau kalaupun makan di rumah, ya makannya sambil lalu ngga pake memuji ngga pake basa-basi... Gimana ngga sevvot (liat kan, udah ngga pake w lagi, ganti v dobel pula :)) bin kesel?
Tahu ngga, sesaat aku terpesona dengan tutur ceritanya. Bukan apa-apa, ternyata aku juga pernah mengalaminya dengan Abang tersayang (piss man, plis read until the end ya :)). Mungkin tidak persis sama, tapi overall mirip (kurang lebihnya mohon maaf, lho?). Tapi alhamdulillah, dari perbincangan ini pula kudapat pencerahan untuk langkah selanjutnya, so tidak ngegosip, menyalahkan suami yang kurang toleran atau ngerti perasaan istri, de el el. Apakah itu? Yuk simak!
Pertama dan utama, kami ini, para istri, sepatutnya membenahi niat. Dasar apakah yang melatarbelakangi semua tindakan di atas hingga berujung kekecewaan? Ternyata setelah dikaji-kaji, niatnya adalah ingin beroleh pujian dari suami, bukan disandarkan semata karena Allah SWT. Makanya ngga heran waktu suami cuek bebek aja, langsung sakit atiii deh... Padahal kalau saja niat itu diluruskan, insya Allah tidak akan kecewa atau marah, karena Allah tidak akan pernah mengecewakan kita bukan??
Aku jadi ingat Aa Gym pernah mengingatkan kita untuk tidak menggantungkan harapan kepada manusia/makhluk, karena bisa bermuara pada timbulnya rasa kecewa, sedih, dan marah tatkala manusia tersebut tidak mampu memenuhi harapan kita. Namanya manusia kan tempatnya salah dan ketidaksempurnaan, so pasti ada masanya berbuat keliru?
Kedua dan ngga kalah penting adalah paradigma alias pola pikir yang tertanam bahwa suami adalah tempat utama atau bahkan satu-satunya kita mencurahkan cinta, the only one dedication of every wife, dan ternyata, mohon maaf, keliru besar! Hanya Allah jua cinta sejati kita, paling hakiki, yang paling paling lah pokoknya... Karena apa? Cinta yang terlampau berlimpah kepada seseorang, entah dalam hal ini pasangan hidup, anak-anak, atau siapapun, pada suatu masa akan menyakitkan ketika takdir-Nya memisahkan kita, entah melalui kecelakaan, salah satu berpulang, perceraian, atau apapun. Kalaupun ditakdirkan terus bersama, salah satu merasa terkekang, tersiksa, terancam, tidak nyaman dengan dirinya, sementara pihak lainnya merasa was-was, takut ditinggalkan. Kalau sudah demikian, hati-hati lho, ini sudah masuk fase berbahaya, artinya kita sudah mulai "cinta dunia", takut sendirian, karena terlalu bergantung pada makhluk, padahal seharusnya cuma Dia, sang Maha Penggenggam tiap jiwa kita, menjadi satu-satunya sandaran kita, tempat curhat atau berkeluh-kesah.
Aku teringat -- kalau ngga salah ya -- ada kata bijak, "Sederhanalah kamu dalam mencinta dan membenci". Mengapa sih harus sederhana aja, biasa aja? Ya itu tadi, kalau berlebihan, kan ngga baek, meresap terlalu dalam di lubuk hati, entah jadi cemburu akut, dendam, atau penyakit hati lainnya, juga karena bisa saja benci berubah jadi cinta ataupun sebaliknya, kan berabe nantinya saat perasaan kita itu jadi bertolak belakang dengan yang selama ini digembor-gemborkan? Cinta dalam porsi wajar, biasa saja, karena yang 'spesial pake telor' cuma dan cuma untuk Dia, Sang Pencipta.
Naah, cara sobatku mungkin bisa jadi contoh. Ketika di lain hari kejadian seperti di atas berulang kembali, santai aja dia menyikapinya, entah segera beralih ke anak-anaknya, aktivitas lain, menikmati masakan sendiri di teras, atau kalau suaminya sudah keburu lelap, ya dia baca buku deh bablas sampai tengah malam! Intinya, isi kepala dan hatinya dienyahkan dari syak wasangka atau perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap suami. Rebes kan?
Jadi sejak saat itu, kami mulai menata niat, semua yang dilakukan semata lillahi ta'ala... Tidak mudah memang, perlu waktu dan proses, tapi bismillah, kita bisa...
Dia bilang, beberapa kali ketika dia merasa teramat sangat sayang terhadap suaminya, kok ya ada saja sekeping kejadian yang akhirnya membuahkan kekecewaan. Entah saat dia sudah rapi jali semerbak mewangi menanti sang pujaan hati melangkahkan kaki (naah, puitis ngga?) pulang ke rumah, ujug-ujug sang suami lapor kalau pulang larut malam karena keasyikan ngobrol atau harus lembur, atau dia sedang ingin ngobrol santai eh kok ya suaminya asyik mendengkur kelelahan, atau juga ketika sudah lintang-pukang memasak sajian istimewa favorit suami ternyata beliau sudah dinner di luar atau kalaupun makan di rumah, ya makannya sambil lalu ngga pake memuji ngga pake basa-basi... Gimana ngga sevvot (liat kan, udah ngga pake w lagi, ganti v dobel pula :)) bin kesel?
Tahu ngga, sesaat aku terpesona dengan tutur ceritanya. Bukan apa-apa, ternyata aku juga pernah mengalaminya dengan Abang tersayang (piss man, plis read until the end ya :)). Mungkin tidak persis sama, tapi overall mirip (kurang lebihnya mohon maaf, lho?). Tapi alhamdulillah, dari perbincangan ini pula kudapat pencerahan untuk langkah selanjutnya, so tidak ngegosip, menyalahkan suami yang kurang toleran atau ngerti perasaan istri, de el el. Apakah itu? Yuk simak!
Pertama dan utama, kami ini, para istri, sepatutnya membenahi niat. Dasar apakah yang melatarbelakangi semua tindakan di atas hingga berujung kekecewaan? Ternyata setelah dikaji-kaji, niatnya adalah ingin beroleh pujian dari suami, bukan disandarkan semata karena Allah SWT. Makanya ngga heran waktu suami cuek bebek aja, langsung sakit atiii deh... Padahal kalau saja niat itu diluruskan, insya Allah tidak akan kecewa atau marah, karena Allah tidak akan pernah mengecewakan kita bukan??
Aku jadi ingat Aa Gym pernah mengingatkan kita untuk tidak menggantungkan harapan kepada manusia/makhluk, karena bisa bermuara pada timbulnya rasa kecewa, sedih, dan marah tatkala manusia tersebut tidak mampu memenuhi harapan kita. Namanya manusia kan tempatnya salah dan ketidaksempurnaan, so pasti ada masanya berbuat keliru?
Kedua dan ngga kalah penting adalah paradigma alias pola pikir yang tertanam bahwa suami adalah tempat utama atau bahkan satu-satunya kita mencurahkan cinta, the only one dedication of every wife, dan ternyata, mohon maaf, keliru besar! Hanya Allah jua cinta sejati kita, paling hakiki, yang paling paling lah pokoknya... Karena apa? Cinta yang terlampau berlimpah kepada seseorang, entah dalam hal ini pasangan hidup, anak-anak, atau siapapun, pada suatu masa akan menyakitkan ketika takdir-Nya memisahkan kita, entah melalui kecelakaan, salah satu berpulang, perceraian, atau apapun. Kalaupun ditakdirkan terus bersama, salah satu merasa terkekang, tersiksa, terancam, tidak nyaman dengan dirinya, sementara pihak lainnya merasa was-was, takut ditinggalkan. Kalau sudah demikian, hati-hati lho, ini sudah masuk fase berbahaya, artinya kita sudah mulai "cinta dunia", takut sendirian, karena terlalu bergantung pada makhluk, padahal seharusnya cuma Dia, sang Maha Penggenggam tiap jiwa kita, menjadi satu-satunya sandaran kita, tempat curhat atau berkeluh-kesah.
Aku teringat -- kalau ngga salah ya -- ada kata bijak, "Sederhanalah kamu dalam mencinta dan membenci". Mengapa sih harus sederhana aja, biasa aja? Ya itu tadi, kalau berlebihan, kan ngga baek, meresap terlalu dalam di lubuk hati, entah jadi cemburu akut, dendam, atau penyakit hati lainnya, juga karena bisa saja benci berubah jadi cinta ataupun sebaliknya, kan berabe nantinya saat perasaan kita itu jadi bertolak belakang dengan yang selama ini digembor-gemborkan? Cinta dalam porsi wajar, biasa saja, karena yang 'spesial pake telor' cuma dan cuma untuk Dia, Sang Pencipta.
Naah, cara sobatku mungkin bisa jadi contoh. Ketika di lain hari kejadian seperti di atas berulang kembali, santai aja dia menyikapinya, entah segera beralih ke anak-anaknya, aktivitas lain, menikmati masakan sendiri di teras, atau kalau suaminya sudah keburu lelap, ya dia baca buku deh bablas sampai tengah malam! Intinya, isi kepala dan hatinya dienyahkan dari syak wasangka atau perasaan-perasaan negatif lainnya terhadap suami. Rebes kan?
Jadi sejak saat itu, kami mulai menata niat, semua yang dilakukan semata lillahi ta'ala... Tidak mudah memang, perlu waktu dan proses, tapi bismillah, kita bisa...
Tuesday, March 11, 2008
LIKE A BRIDGE OVER TROUBLED WATER
Belajar meresensi musik ya, boleh kan (ngelirik ke Bos sebelah)?
Sudah lama sebenarnya dicekokin suami tercinta dengan aneka ragam musik via koleksi cakram musiknya yang seabrek jubrek di ruang tamu. Mau tahu? Dari Siti Nurhaliza, Jane Monheit, Anne Murray, Iwan Fals, GIGI, Demis Roussos, Mario Frangoulis, Clay Aiken, Josh Groban, Pavarotti, Queen, Asia, de el el. Yah ngga semuanya klop di hati sih, namanya juga selera. Tergantung karet (gado-gado kali ya, kalo 1 karet manis, 2 karet pedess...)
Nah, ceritanya tuh, sudah lamaaaaaa sekali kami berburu konser live-nya Russel Watson, salah satu penyanyi pop-opera (segerombolan lah dengan Josh dan Il-Divo). CD musiknya lumayan lengkap, ada 3 buah. Masih muda namun power suaranya boljug lah yaw alias boleh juga, dan biasanya itu menimbulkan rasa penasaran, kayak apa sih penampakannya di konser langsung?
Alhamdulillah Ahad kemarin, DVDnya berhasil ditemukan di Poins Lebak Bulus, bersama dengan konser memperingati 10 tahun kepergian Diana (eh bukan saya ya, meski udah lama digadang-gadang mirip, idiiih ge-er! :)), juga DVD film anak-anak.
Salah satu lagu yang dinyanyikan Russel adalah "Like a bridge over troubled water". Lagu ini sudah beberapa kali kudengar dengan beberapa versi dan penyanyi, dari Clay Aiken, Teresa Teng, dan teranyar ya si Russel ini. Hm, beda orang beda interpretasi ya, seperti si Clay lebih ke pop, ringan aja dibawakannya, meski power tetap dahsyat. Russel dengan ciri khasnya, ekspresif, teramat sangat menghayati sampai keringatnya bercucuran. Sementara Teresa dengan nuansa jadul (beliau penyanyi senior RRC dan kalau ngga salah sudah almarhum). Tapi subhanallah, nyanyinya santaiii banget, kayak nyanyi di kamar mandi ngga ada penonton, sama sekali ngga keliatan ngotot, padahal suaranya amboi, menggelegar. Kalau Russel tuh bawainnya mirip Mario waktu konser, bertenaga plus senam muka (mata, mulut, kernyit alis, dan sebagainya), sementara Teresa nyaris identik dengan penyanyi kesayangan suami, Andrea Bocelli, tenang, cool aja, meski penghayatan tetap nomor satu.
Btw, ini lirik lagu "Like a bridge over troubled water", insya Allah bagus banget... Aku membayangkan, bisa ngga ya aku menjadi tambatan orang-orang terkasih di sekelilingku, mungkin suami, anak-anakku, para sahabatku, tatkala mereka diterpa gundah-gulana...
When youre weary, feeling small,
When tears are in your eyes, I will dry them all;
Im on your side. when times get rough
And friends just cant be found,
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
When youre down and out,
When youre on the street,
When evening falls so hard
I will comfort you.
Ill take your part.
When darkness comes
And pains is all around,
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
Sail on silvergirl,
Sail on by.
Your time has come to shine.
All your dreams are on their way.
See how they shine.
If you need a friend
Im sailing right behind.
Like a bridge over troubled water
I will ease your mind.
Like a bridge over troubled water
I will ease your mind.
Sudah lama sebenarnya dicekokin suami tercinta dengan aneka ragam musik via koleksi cakram musiknya yang seabrek jubrek di ruang tamu. Mau tahu? Dari Siti Nurhaliza, Jane Monheit, Anne Murray, Iwan Fals, GIGI, Demis Roussos, Mario Frangoulis, Clay Aiken, Josh Groban, Pavarotti, Queen, Asia, de el el. Yah ngga semuanya klop di hati sih, namanya juga selera. Tergantung karet (gado-gado kali ya, kalo 1 karet manis, 2 karet pedess...)
Nah, ceritanya tuh, sudah lamaaaaaa sekali kami berburu konser live-nya Russel Watson, salah satu penyanyi pop-opera (segerombolan lah dengan Josh dan Il-Divo). CD musiknya lumayan lengkap, ada 3 buah. Masih muda namun power suaranya boljug lah yaw alias boleh juga, dan biasanya itu menimbulkan rasa penasaran, kayak apa sih penampakannya di konser langsung?
Alhamdulillah Ahad kemarin, DVDnya berhasil ditemukan di Poins Lebak Bulus, bersama dengan konser memperingati 10 tahun kepergian Diana (eh bukan saya ya, meski udah lama digadang-gadang mirip, idiiih ge-er! :)), juga DVD film anak-anak.
Salah satu lagu yang dinyanyikan Russel adalah "Like a bridge over troubled water". Lagu ini sudah beberapa kali kudengar dengan beberapa versi dan penyanyi, dari Clay Aiken, Teresa Teng, dan teranyar ya si Russel ini. Hm, beda orang beda interpretasi ya, seperti si Clay lebih ke pop, ringan aja dibawakannya, meski power tetap dahsyat. Russel dengan ciri khasnya, ekspresif, teramat sangat menghayati sampai keringatnya bercucuran. Sementara Teresa dengan nuansa jadul (beliau penyanyi senior RRC dan kalau ngga salah sudah almarhum). Tapi subhanallah, nyanyinya santaiii banget, kayak nyanyi di kamar mandi ngga ada penonton, sama sekali ngga keliatan ngotot, padahal suaranya amboi, menggelegar. Kalau Russel tuh bawainnya mirip Mario waktu konser, bertenaga plus senam muka (mata, mulut, kernyit alis, dan sebagainya), sementara Teresa nyaris identik dengan penyanyi kesayangan suami, Andrea Bocelli, tenang, cool aja, meski penghayatan tetap nomor satu.
Btw, ini lirik lagu "Like a bridge over troubled water", insya Allah bagus banget... Aku membayangkan, bisa ngga ya aku menjadi tambatan orang-orang terkasih di sekelilingku, mungkin suami, anak-anakku, para sahabatku, tatkala mereka diterpa gundah-gulana...
When youre weary, feeling small,
When tears are in your eyes, I will dry them all;
Im on your side. when times get rough
And friends just cant be found,
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
When youre down and out,
When youre on the street,
When evening falls so hard
I will comfort you.
Ill take your part.
When darkness comes
And pains is all around,
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
Like a bridge over troubled water
I will lay me down.
Sail on silvergirl,
Sail on by.
Your time has come to shine.
All your dreams are on their way.
See how they shine.
If you need a friend
Im sailing right behind.
Like a bridge over troubled water
I will ease your mind.
Like a bridge over troubled water
I will ease your mind.
Monday, March 10, 2008
KETIKA TANGAN DAN KAKI BERKATA
Lirik : Taufiq Ismail
Lagu : Chrisye
Akan datang hari
mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Ke mana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita bila harinya
Tanggung jawab tiba
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya…. sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina
(Lirik ini dituliskan Taufiq Ismail setelah membaca Al Qur'an surah Yaasin, ayat 65:
“Pada hari ini (Hari Akhir) Kami akan tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan.”)
Lagu : Chrisye
Akan datang hari
mulut dikunci
Kata tak ada lagi
Akan tiba masa
tak ada suara
Dari mulut kita
Berkata tangan kita
Tentang apa yang dilakukannya
Berkata kaki kita
Ke mana saja dia melangkahnya
Tidak tahu kita bila harinya
Tanggung jawab tiba
Rabbana
Tangan kami
Kaki kami
Mulut kami
Mata hati kami
Luruskanlah
Kukuhkanlah
Di jalan cahaya…. sempurna
Mohon karunia
Kepada kami
HambaMu yang hina
(Lirik ini dituliskan Taufiq Ismail setelah membaca Al Qur'an surah Yaasin, ayat 65:
“Pada hari ini (Hari Akhir) Kami akan tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berkata kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka lakukan.”)
Saturday, March 8, 2008
EPISODE JABOTABEK
Petualangan Kamisku kali ini ialah Gudang Buku di Pasar Festival Kuningan. Setelah berjibaku dengan kemacetan ruarr biazza "Jakarta oh Jakartaku..." yang kian akut (1,5 jam Depok - Komdak, wow!), alhamdulillah akhirnya aku berlabuh juga. Asyik sekali dikepung buku, majalah-majalah lama, komik anak-anak, intip komik Agatha baik yang versi Inggris maupun terjemahan, buku-buku kuno, kaset dan CD musik macam Megadeth (plis deh, hehe... out of my style :)), de el el. Singkat cerita, sesudah berkubang di lautan buku itu selama 1,5 jam juga (rugi lah yaw kalau cuma sebentar, nelongso di jalan ajah...), aku pun berpulang eh...maksudnya pulang ke haribaan rumah tercinta. Berdasar juklak dari mas penjaga Gudang Buku, rute perjalanan pulangku agak berkelok. Naik Kopaja, turun Casablanca, nyambung mikrolet, terus naik kereta deh ke Depok, hm... sound's great lah, ketimbang harus berpeluh-peluh dengan kemacetan lagi, maless...
Singkat cerita, sambil menanti kereta datang, aku duduk manis (manis nih yee...) di kursi ala stasiun yang tersedia, alhamdulilah sembari menenteng jambu biji 2 kg hasil celingak-celinguk sebelum masuk peron (eh mbayar lho, bukan hasil nyamber, hehe...). Naah, mulai deh naluri psikologku beraksi, asyik mengobservasi tingkah polah orang-orang yang berseliweran di stasiun Tebet ini. Banyak yang tidur dengan aneka posisi, ada mbak-mbak sibuk mengunyah tanpa henti, ibu-ibu belanja kue lupis (hm, yummy pasti, apalagi membayangkan disiram gula merah, slurrp...), mbak-mbak di sebelahku dengan tas super mega besar (hiperbolis banget ya? Tapi beneran lho, guedhe sekali, entah isinya apaan), sepasang suami istri paruh baya, dan pasangan ibu-anak. Anaknya masih SD, sepantaran anak keduaku, perempuan, manis dan lincah. Bolak-balik dia tanya ibunya, dan sang ibu sabaar aja menjawab dengan lembut. Mereka duduk di sebelahku, dan dengan singkat obrolan pun mulai mengalir.
Mereka tinggal di Bojonggede, dan ini merupakan perjalanan rutinnya tiap hari menuju sekolah putrinya di sekitar Otista, Jakarta Timur! Kok bisa ya?? Ternyata mereka dulunya tinggal di Otista kemudian pindah ke Bojong, namun putrinya menolak pindah sekolah, sudah kadung senang di sekolah itu. Dan akhirnya sang bunda pun rela mengorbankan hari demi harinya demi putri tercinta. Setiap hari dia bangun pukul setengah 4 pagi untuk beberes dan memasak, jam 5 berangkat ke stasiun untuk naik kereta setengah 6, menunggui anaknya sepanjang jam belajar, pulang jam 12, dan paling cepat sampai rumah jam 1, itupun jika kereta tidak berjubel. Sehabis makan siang di rumah, dia harus mencuci pakaian dan menyetrikanya. Subhanallah... Seingatku, aku belum pernah melakukan pengorbanan seperkasa itu demi anak-anakku, layaknya ibu ini. Benar-benar "inspiring woman" buatku...
Ternyata di dalam kereta, aku bertemu kisah lain, yang ini mah superkocak. Seorang nenek yang duduk di sebelahku mulanya tampak tertidur dengan lelapnya. Yang bikin kaget, ketika beliau terbangun, dengan roman wajah agak bingung, bertanya kepadaku,"Cikini udah lewat ya?" Coba siapa yang ngga kerasa kesamber petir? Wong ini kereta tengah seru-serunya merayapi area Pasar Minggu, lha nenek ini anteng aja nanya Cikini? Langsung tuing-tuing deh aku, bingung mau nolongin beliau. Yang bikin gubrax banget (pinjam istilahnya mbak Vaye) adalah komentarnya menanggapi kepanikanku, lembut, tanpa nada grasa-grusu, cool deh pokoke,"Eh bukan deng, saya dari Cikin, mau pulang ke Depok kok." Duh, legaaa deh, apalagi lihat nenek itu tersenyum maniiz sekali. Ampuuun...
Benar-benar episode campursari di Jabotabek, seru deh! Ayo sesekali tinggalkan mobil AC Anda yang super nyaman, naik kereta rakyat, dan rasakan sesuatu yang berbeza dari biasa. Enjoy the difference, trust me!
Lebih asyik kalau ngajak anak, istri/suami, emak-babe, tetangga, halah, sekalian aja sewa kereta kayak Hamsad Rangkuti waktu nikahin anaknya, hehe... ;p
Singkat cerita, sambil menanti kereta datang, aku duduk manis (manis nih yee...) di kursi ala stasiun yang tersedia, alhamdulilah sembari menenteng jambu biji 2 kg hasil celingak-celinguk sebelum masuk peron (eh mbayar lho, bukan hasil nyamber, hehe...). Naah, mulai deh naluri psikologku beraksi, asyik mengobservasi tingkah polah orang-orang yang berseliweran di stasiun Tebet ini. Banyak yang tidur dengan aneka posisi, ada mbak-mbak sibuk mengunyah tanpa henti, ibu-ibu belanja kue lupis (hm, yummy pasti, apalagi membayangkan disiram gula merah, slurrp...), mbak-mbak di sebelahku dengan tas super mega besar (hiperbolis banget ya? Tapi beneran lho, guedhe sekali, entah isinya apaan), sepasang suami istri paruh baya, dan pasangan ibu-anak. Anaknya masih SD, sepantaran anak keduaku, perempuan, manis dan lincah. Bolak-balik dia tanya ibunya, dan sang ibu sabaar aja menjawab dengan lembut. Mereka duduk di sebelahku, dan dengan singkat obrolan pun mulai mengalir.
Mereka tinggal di Bojonggede, dan ini merupakan perjalanan rutinnya tiap hari menuju sekolah putrinya di sekitar Otista, Jakarta Timur! Kok bisa ya?? Ternyata mereka dulunya tinggal di Otista kemudian pindah ke Bojong, namun putrinya menolak pindah sekolah, sudah kadung senang di sekolah itu. Dan akhirnya sang bunda pun rela mengorbankan hari demi harinya demi putri tercinta. Setiap hari dia bangun pukul setengah 4 pagi untuk beberes dan memasak, jam 5 berangkat ke stasiun untuk naik kereta setengah 6, menunggui anaknya sepanjang jam belajar, pulang jam 12, dan paling cepat sampai rumah jam 1, itupun jika kereta tidak berjubel. Sehabis makan siang di rumah, dia harus mencuci pakaian dan menyetrikanya. Subhanallah... Seingatku, aku belum pernah melakukan pengorbanan seperkasa itu demi anak-anakku, layaknya ibu ini. Benar-benar "inspiring woman" buatku...
Ternyata di dalam kereta, aku bertemu kisah lain, yang ini mah superkocak. Seorang nenek yang duduk di sebelahku mulanya tampak tertidur dengan lelapnya. Yang bikin kaget, ketika beliau terbangun, dengan roman wajah agak bingung, bertanya kepadaku,"Cikini udah lewat ya?" Coba siapa yang ngga kerasa kesamber petir? Wong ini kereta tengah seru-serunya merayapi area Pasar Minggu, lha nenek ini anteng aja nanya Cikini? Langsung tuing-tuing deh aku, bingung mau nolongin beliau. Yang bikin gubrax banget (pinjam istilahnya mbak Vaye) adalah komentarnya menanggapi kepanikanku, lembut, tanpa nada grasa-grusu, cool deh pokoke,"Eh bukan deng, saya dari Cikin, mau pulang ke Depok kok." Duh, legaaa deh, apalagi lihat nenek itu tersenyum maniiz sekali. Ampuuun...
Benar-benar episode campursari di Jabotabek, seru deh! Ayo sesekali tinggalkan mobil AC Anda yang super nyaman, naik kereta rakyat, dan rasakan sesuatu yang berbeza dari biasa. Enjoy the difference, trust me!
Lebih asyik kalau ngajak anak, istri/suami, emak-babe, tetangga, halah, sekalian aja sewa kereta kayak Hamsad Rangkuti waktu nikahin anaknya, hehe... ;p
Wednesday, March 5, 2008
BODY-BALANCE VS KETOK MEJIK...
Awal bulan ini, aku tergelitik untuk ubah-haluan aktivitas olahragaku, dari yang biasanya pit-pitan en renang 2x/pekan menjadi senam body-balance (halah, sok nginggris...). Deket rumah juga sih, senasib dengan kolam renang, cuma jamnya itu lho yang super-ajaib, setengah 1 sampai setengah 2! Bisa dibayangkan khan gatot alias gagal total 'ngeracunin' orang-orang untuk ikutan, wong lebih uenak bobo siang atawa leyeh-leyeh tho? Yo wis lah, the show must go on, bismillah...
Naaah, kemarin adalah hari pertama (mungkin ngga cocok dibilang pertama, karena aku pernah senam sebelum rutin renang, cuma stop karena satu dan lain alasan). Sempat bablas nyasar, alhamdulillah ibu yang kutanyai berbaik hati menunjukkan TKPnya dengan tepat. Pas nongol, baru ada 1 orang, tanpa ba bi bu, langsung mulai karena musik pengiring sudah diputar.
Hehe, baru dah kerasa tuaaa banget after the show! Waktu bergerak sih ngga kerasa apa-apa, karena gerakannya lumayan pelan, dirasakan, dinikmati, tahan-nafas, rileks, and so on... Cuma baru bunyi krek-krek itu pas gerakan memutar pinggang, oo... langsung was-was sodara-sodara! Bener 'ramalan' seorang sahabat yang memberi wanti-wanti soal "pegel-pegel" habis senam, bahu kiri belakangku mulai senut-senut. Bu guru senamku malah cuma mesem-mesem menenangkan,"itu mah karena tegang aja mbak, belum rileks, harus senam lagi biar hilang". Hah, jadi... Olala, baiklah, siap komitmen dah!
Malam ini, 2 koyo cabe menempel manis di bahuku, setelah upaya-upaya 'ketok mejik' (urut, pijit-pijit gitu ngga pake palu sih...) yang dilaksanakan sekuat tenaga oleh kedua juniorku (sang senior masih belum pulang :)) kurang memberikan hasil ampuh. Duh, rasanya nenek banget deh, apa udah peyot ye??
Mirror mirror on the wall...
Naaah, kemarin adalah hari pertama (mungkin ngga cocok dibilang pertama, karena aku pernah senam sebelum rutin renang, cuma stop karena satu dan lain alasan). Sempat bablas nyasar, alhamdulillah ibu yang kutanyai berbaik hati menunjukkan TKPnya dengan tepat. Pas nongol, baru ada 1 orang, tanpa ba bi bu, langsung mulai karena musik pengiring sudah diputar.
Hehe, baru dah kerasa tuaaa banget after the show! Waktu bergerak sih ngga kerasa apa-apa, karena gerakannya lumayan pelan, dirasakan, dinikmati, tahan-nafas, rileks, and so on... Cuma baru bunyi krek-krek itu pas gerakan memutar pinggang, oo... langsung was-was sodara-sodara! Bener 'ramalan' seorang sahabat yang memberi wanti-wanti soal "pegel-pegel" habis senam, bahu kiri belakangku mulai senut-senut. Bu guru senamku malah cuma mesem-mesem menenangkan,"itu mah karena tegang aja mbak, belum rileks, harus senam lagi biar hilang". Hah, jadi... Olala, baiklah, siap komitmen dah!
Malam ini, 2 koyo cabe menempel manis di bahuku, setelah upaya-upaya 'ketok mejik' (urut, pijit-pijit gitu ngga pake palu sih...) yang dilaksanakan sekuat tenaga oleh kedua juniorku (sang senior masih belum pulang :)) kurang memberikan hasil ampuh. Duh, rasanya nenek banget deh, apa udah peyot ye??
Mirror mirror on the wall...
Tuesday, March 4, 2008
RASULULLAH'S LIFE STYLE...
Sabtu lalu,topik pengajian yang kuikuti membahas tentang terapi herbal islami. Disebutkan di situ bahwa Rasulullah sepanjang usianya yang 63 tahun, hanya pernah 2 kali, itupun yang sekali adalah ketika beliau dalam keadaan sakaratul maut. Subhanallah! Aku sendiri yang belum juga 40 tahun, sudah diterpa sakit berat beberapa kali, terkapar!
Ternyata, rahasia kesehatan prima Rasulullah ada 3, yaitu menjaga pola makan, berbekam (mengeluarkan darah kotor di tubuh), dan aktivitas ruhiyah yang kuat (shalat malam dan shaum sunnah). Untuk makanan, beliau selalu mengomsumsi madu dan kurma sebagai cara untuk memelihara stamina, mencegah rentannya tubuh dari serangan penyakit. Naah, kalau kita mah nunggu sakit dulu baru deh nyadar dan menyesal kan :) Artinya cara yang selama ini kita tempuh tuh keliru berats dong, bukannya mencegah tapi mengobati alias menyongsong sang penyakit datang!
Satu lagi, prinsip "makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang" benar-benar dipegang beliau, apalagi rutinitas menjalankan puasa sunnah sangat membantu untuk mengistirahatkan kerja perut dan alat pencernaan lainnya. Haha, jangan-jangan prinsip kita berseberangan lagi sama beliau, prinsip "balas dendam" plus "selagi gratis" (ini terutama waktu acara makan gratis di kantor pas parti2an atawa kondangan ya kan? Hayo ngaku ;)).
Hari gini shalat malam? Ngantuk bo! Aku harus mengakui memang demikianlah adanya, tapi insya Allah dengan niat kuat, juga support tulus dari 'soulmate' masing2 (ehm...) yang berat itu jadi mudah kok. Ngga percaya? Coba dulu dong!
Alhamdulillah, dapat banyak ilmu kemarin, memang nafsu kudu dikontrol, kalau ngga, yaa kitalah yang akan jadi budak dan diperbudak nafsu kita...
Oya, soal bekam, monggo dijenguk atuh blog suami tercinta,insya Allah infonya padat karya dan lengkap!
So, yuk kita tiru beliau, bukankah Rasulullah sebaik-baik suri teladan kita??
Ternyata, rahasia kesehatan prima Rasulullah ada 3, yaitu menjaga pola makan, berbekam (mengeluarkan darah kotor di tubuh), dan aktivitas ruhiyah yang kuat (shalat malam dan shaum sunnah). Untuk makanan, beliau selalu mengomsumsi madu dan kurma sebagai cara untuk memelihara stamina, mencegah rentannya tubuh dari serangan penyakit. Naah, kalau kita mah nunggu sakit dulu baru deh nyadar dan menyesal kan :) Artinya cara yang selama ini kita tempuh tuh keliru berats dong, bukannya mencegah tapi mengobati alias menyongsong sang penyakit datang!
Satu lagi, prinsip "makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang" benar-benar dipegang beliau, apalagi rutinitas menjalankan puasa sunnah sangat membantu untuk mengistirahatkan kerja perut dan alat pencernaan lainnya. Haha, jangan-jangan prinsip kita berseberangan lagi sama beliau, prinsip "balas dendam" plus "selagi gratis" (ini terutama waktu acara makan gratis di kantor pas parti2an atawa kondangan ya kan? Hayo ngaku ;)).
Hari gini shalat malam? Ngantuk bo! Aku harus mengakui memang demikianlah adanya, tapi insya Allah dengan niat kuat, juga support tulus dari 'soulmate' masing2 (ehm...) yang berat itu jadi mudah kok. Ngga percaya? Coba dulu dong!
Alhamdulillah, dapat banyak ilmu kemarin, memang nafsu kudu dikontrol, kalau ngga, yaa kitalah yang akan jadi budak dan diperbudak nafsu kita...
Oya, soal bekam, monggo dijenguk atuh blog suami tercinta,insya Allah infonya padat karya dan lengkap!
So, yuk kita tiru beliau, bukankah Rasulullah sebaik-baik suri teladan kita??
Monday, March 3, 2008
SEGERALAH BERAMAL!
(disarikan dari Buku MQ Segera: Aa Gym)
Di awal kutipan buku ini, disebutkan tentang waktu yang mustahil diputar mundur. Tentang penyesalan kita yang tiada berujung saat ragu atau bahkan batal melakukan suatu amal? Membantu tetangga yang sakit, menyingkirkan batu/duri di jalan, atau amalan lainnya?
Aku jadi teringat kenangan yang begitu membekas. Tetangga depan rumah, kebetulan pula seorang dokter. Meski kami berbeda keyakinan, sejauh ini, hubungan silaturahmi kami cukup baik, adalah sesekali bertukar kue atau hantaran. Dia juga ringan hati menerima pasien dadakan, entah kami sendiri atau anak-anak yang terserang penyakit ringan. Uluran tangannya teramat sangat membantu, karena aku cukup mengangkat telepon, menanyakan waktunya yang senggang untuk bisa menerima pasien, dan wuzz... tinggal nyeberang, tidak butuh 5 menit, sudah tibalah kami dengan selamat di ruang prakteknya. Tarifnya pun tidak mahal, obat insya Allah hampir selalu tersedia di lemari obatnya. Orangnya memang pendiam, tidak banyak bergaul, tapi so far, it's ok for me :) Kupikir, tiap orang kan punya kepribadian masing-masing, juga kesibukan, juga kelebihan dan kekurangan, seperti juga aku?
Suatu hari, tersiar kabar dia masuk RS, katanya gejala DB (memang sedang giat-giatnya merajalela di perumahan kami). Tidak ada satupun dari kami yang berfikir jauh, aah, paling si ibu dokter cepat sembuh, apalagi dia kan dokter, istilah kata punya ilmu untuk melawan penyakit itu. Kami lupa sama sekali bahwa bagaimana pun, dia manusia juga, didera kesibukan tak kenal putus, mungkin juga lupa makan dan istirahat, wallahu 'alam... Singkat kata, setelah dia opname selama 1 pekan, barulah terdeteksi bahwa dia terserang leukemia (kanker darah).
Mendengar berita itu, aku seperti tersambar petir. Astaghfirullah, itu bukan penyakit ringan, malah tergolong penyakit super-serius (Oomku, adik kembar Bapak, berpulang ke rahmatullah setelah 3 bulan divonis leukemia).Setengah kalut, pada jam 9 Senin pagi itu, aku SMS suami, minta izinnya untuk menjenguk ibu ini, alhamdulillah dibolehkan, bahkan dia sempat mewanti-wanti, kalaupun aku tak punya teman ke sana (dirawat cukup jauh dari rumah, di RS UKI Cawang), dimintanya aku berangkat sendiri. Dan memang kenyataannya, aku harus menempuh perjalanan sendirian, karena jadual tetangga lain tidak ada yang cocok.
Bismillah, duh Gusti, perkenankan aku untuk bisa bersua dia dalam sakitnya, dan izinkan aku untuk sempat mendoakan yang terbaik baginya... Sesampainya di RS, ternyata dia sudah dipindahkan ke ruangan lain, dan aku harus mengenakan masker untuk meminimalkan virus luar masuk ke tubuhnya. Campur-aduk perasaanku, melihat tubuhnya tergolek lemah, matanya yang cekung dan tampak menyandang banyak beban. Tak banyak bercakap, aku minta dia bersabar dengan penyakitnya. Dan ternyata itulah percakapan terakhir dengan penjenguknya, tetangga yang datang keesokan harinya mengatakan bahwa dia sudah begitu drop kondisinya, dan hari Kamis, ketika dalam perjalanan ke RSCM untuk masuk ruang isolasi, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'un...
Satu hal yang patut kusyukuri hingga hari ini, Allah menggerakkan hatiku untuk bersegera menjenguknya, memudahkan niatku dan alhamdulillah izin suami kian membuka jalan. Kalaulah kuturutkan bujukan tetangga yang memintaku membesuk esok hari, mungkin penyesalan takkan padam dari benakku...
Jadi, jangan pernah tunda niat baik kita, segera kerjakan selagi memungkinkan, jangan sampai rasa sesal itu datang belakangan. Yuk saling mengingatkan!
Di awal kutipan buku ini, disebutkan tentang waktu yang mustahil diputar mundur. Tentang penyesalan kita yang tiada berujung saat ragu atau bahkan batal melakukan suatu amal? Membantu tetangga yang sakit, menyingkirkan batu/duri di jalan, atau amalan lainnya?
Aku jadi teringat kenangan yang begitu membekas. Tetangga depan rumah, kebetulan pula seorang dokter. Meski kami berbeda keyakinan, sejauh ini, hubungan silaturahmi kami cukup baik, adalah sesekali bertukar kue atau hantaran. Dia juga ringan hati menerima pasien dadakan, entah kami sendiri atau anak-anak yang terserang penyakit ringan. Uluran tangannya teramat sangat membantu, karena aku cukup mengangkat telepon, menanyakan waktunya yang senggang untuk bisa menerima pasien, dan wuzz... tinggal nyeberang, tidak butuh 5 menit, sudah tibalah kami dengan selamat di ruang prakteknya. Tarifnya pun tidak mahal, obat insya Allah hampir selalu tersedia di lemari obatnya. Orangnya memang pendiam, tidak banyak bergaul, tapi so far, it's ok for me :) Kupikir, tiap orang kan punya kepribadian masing-masing, juga kesibukan, juga kelebihan dan kekurangan, seperti juga aku?
Suatu hari, tersiar kabar dia masuk RS, katanya gejala DB (memang sedang giat-giatnya merajalela di perumahan kami). Tidak ada satupun dari kami yang berfikir jauh, aah, paling si ibu dokter cepat sembuh, apalagi dia kan dokter, istilah kata punya ilmu untuk melawan penyakit itu. Kami lupa sama sekali bahwa bagaimana pun, dia manusia juga, didera kesibukan tak kenal putus, mungkin juga lupa makan dan istirahat, wallahu 'alam... Singkat kata, setelah dia opname selama 1 pekan, barulah terdeteksi bahwa dia terserang leukemia (kanker darah).
Mendengar berita itu, aku seperti tersambar petir. Astaghfirullah, itu bukan penyakit ringan, malah tergolong penyakit super-serius (Oomku, adik kembar Bapak, berpulang ke rahmatullah setelah 3 bulan divonis leukemia).Setengah kalut, pada jam 9 Senin pagi itu, aku SMS suami, minta izinnya untuk menjenguk ibu ini, alhamdulillah dibolehkan, bahkan dia sempat mewanti-wanti, kalaupun aku tak punya teman ke sana (dirawat cukup jauh dari rumah, di RS UKI Cawang), dimintanya aku berangkat sendiri. Dan memang kenyataannya, aku harus menempuh perjalanan sendirian, karena jadual tetangga lain tidak ada yang cocok.
Bismillah, duh Gusti, perkenankan aku untuk bisa bersua dia dalam sakitnya, dan izinkan aku untuk sempat mendoakan yang terbaik baginya... Sesampainya di RS, ternyata dia sudah dipindahkan ke ruangan lain, dan aku harus mengenakan masker untuk meminimalkan virus luar masuk ke tubuhnya. Campur-aduk perasaanku, melihat tubuhnya tergolek lemah, matanya yang cekung dan tampak menyandang banyak beban. Tak banyak bercakap, aku minta dia bersabar dengan penyakitnya. Dan ternyata itulah percakapan terakhir dengan penjenguknya, tetangga yang datang keesokan harinya mengatakan bahwa dia sudah begitu drop kondisinya, dan hari Kamis, ketika dalam perjalanan ke RSCM untuk masuk ruang isolasi, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji'un...
Satu hal yang patut kusyukuri hingga hari ini, Allah menggerakkan hatiku untuk bersegera menjenguknya, memudahkan niatku dan alhamdulillah izin suami kian membuka jalan. Kalaulah kuturutkan bujukan tetangga yang memintaku membesuk esok hari, mungkin penyesalan takkan padam dari benakku...
Jadi, jangan pernah tunda niat baik kita, segera kerjakan selagi memungkinkan, jangan sampai rasa sesal itu datang belakangan. Yuk saling mengingatkan!
Subscribe to:
Posts (Atom)