Wednesday, February 25, 2009

SPLIT IDENTITY? OR MULTI-ROLES?




Hm, belakangan ini setiap melangkah keluar dari area kampus UI, seusai menangani klien, aku seperti melewati 'time-tunnel'. Ketika di kampus, aku adalah seorang psikolog, profesional, yang sekuat tenaga membantu klien dan orangtuanya untuk mengatasi problemnya. Namun saat melampaui lorong kampusku yang rindang, menuju halaman parkir, terlebih ketika duduk manis di angkot, aku seolah mendadak berubah wujud menjadi ibu rumah tangga lagi, seorang istri lagi. Kenapa bisa begitu? Karena isi pikiranku sudah langsung bercabang pada "hm, bawa oleh-oleh apa ya?", atau "waduh, lauk di rumah kurang deh kayaknya" (nih biasanya kalau pas mau berangkat ngga punya ide alias blank untuk masak apa,hehe...), sampai yang paling parah "kayaknya aku harus mampir ke pasar deh, beli bla-bla-bla...".

Tadi digodain Abang, jangan-jangan aku mengalami multiple-identity dan perlu ditangani temen yang psikolog. Hah, jadi bengong, speechless, hehe... Tapi mikir-mikir, mungkin aku rada telmi aja, dengan begitu banyaknya peran atau role yang kita punya. Ya istri, ya emaknya anak-anak, ya anak dari ibu-bapak, ya menantu, ya tetangga, ya sahabat, dan sekarang nambah atu lagi, jadi psikolog, yang notabene wanita karir. Yang kucermati, semua itu mau ngga mau, suka ngga suka, akan saling terkait satu sama lain, dan tanpa kita sadari, kita senantiasa akan switch atau oper peran dari waktu ke waktu. KAlau menurutku, pertanyaan besarnya adalah seberapa siap kita menanggung dan menjalani semua peran itu dengan maksimal, seoptimal yang kita bisa? Karena apa? Karena itu penting, bukan sekedar jadi ayah atau suami yang 'lewat' aja ngga ngurusin anak-istri, atau wanita karir yang tutup mata dengan problem anaknya yang terlibat narkoba, misalnya.
Hm, jadi inget beberapa waktu lalu ditawarin teman untuk bantu tim penyeleksi peserta Olimpiade Sains se-Indonesia. Tempting memang, ya godaan bisa jalan-jalan gratis (kan dibayarin tiket dan akomodasi dllnya), bisa ganti suasana, macem2 deh. Tapi konsekuensinya lumayan berat, buatku lho (kan kita ngga bisa pukul rata pasti persepsinya sama dengan kita tho?), yaitu kemungkinan besar akan tiba di rumah paling ceat jam 7-8 malam. Waduh, langsung deh kutolak mentah-mentah, ngga deh, haqqul yaqin ngga. Biarpun dibayar sejuta per kepala? Insya Allah, tetep ngga, bukan karena alasan sombong ngga butuh duit. Karena bagaimanapun, prioritasku masih yang utama ya menjalankan peran sebagai ibu dan istri, bukan sebagai wanita karir.

Bagaimana menurut teman-teman? Hm, rada berat ya topiknya...

2 comments:

Anonymous said...

Namanya juga udah 'kelas tinggi', mbak Diana. Kalau masih anak kecil, cuma mikir main kan...? Masuk SD, mulai mikirin PR. Lanjut SMP, nambah dengan ekskul dan peran di organisasi sekolah. SMA, tambah sibuk lagi. Kuliah, dst dst, terus bertambah kan, perannya? Mbak Diana sudah 'kelas tinggi' tuh. Alhamdulillah. Semoga selalu sukses di manapun. Amiin.

Anonymous said...

ayo...ayo...kumpulin bekal sebanyak-banyaknya buat nambah 'timbangan'. Kan kita gak tau kapan mau 'mudik'nya...selama masih sanggup ayuuuh...tareeek....