Friday, December 26, 2008

ANAK BAHAGIA ATAU ANAK SEMPURNA? MANA YANG KITA PILIH?

(Makalahku, dalam "Sharing & Diskusi Panel": Membentuk Anak Berkarakter", awal Desember lalu)

Anak berangkat sekolah di pagi buta, baru pulang saat sore menjelang. Belum lagi PR dan tugas sekolah bertumpuk, les ke sana ke mari, tiba di rumah dengan wajah kuyu mengantuk. Masih harus dipaksa untuk ikut bimbel karena UAN sudah di depan mata, jangan sampai nilai jeblok, harus masuk sekolah favorit!

Inilah potret kebanyakan anak masa kini. Semua fasilitas tersedia: sekolah dengan uang masuk dan SPP jutaan, guru privat, les Bahasa Inggris dan Matematika menjamur, PC, notebook, dan HP canggih, ibu atau supir yang siap sedia wara-wiri mengantar les atau lomba ini-itu… Waktu santai? Ah, mana sempat? Namun pernahkah kita sebagai orang tua bertanya, benarkah semua itu menjamin kebahagiaan anak kita? Pernahkah kita bertanya kepada ananda kita terkait aktivitasnya yang bejibun ini? Apakah menyediakan semua sarana di atas yang diharapkan bisa menjadikan dia anak mumpuni dan sempurna, notabene menjamin 100% rasa bahagianya?


HARGA SEBUAH KESEMPURNAAN

‘Push-parenting’, ini istilah yang sedang naik daun semenjak dua dekade terakhir. Orangtua yang mengatur tiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, menuntut prestasi tinggi di sekolah dan bidang lain, serta menekan anak dalam memilih kursus atau minat dalam rangka gengsi daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu dan minat pribadi sang anak, adalah gambaran orangtua dengan pola asuh yang terlampau menuntut. Dan hasilnya adalah anak yang bergerak seolah robot tanpa daya, tanpa emosi.

Menjadi orangtua di era modern memang memiliki tantangan tersendiri. Situasi kian kompetitif di segala penjuru disadari atau tidak, menumbuhkan kecemasan dan desakan yang terus bergaung dalam sanubari: apakah yang kita lakukan untuk anak-anak kita sudah memadai? Apakah kita harus bertindak lebih banyak lagi? Apakah anak kita saat dewasa nantinya akan sesuai dengan harapan kita? Apakah…


CEGAH KORSLETING!

Umumnya orangtua membesarkan dan mendidik anaknya secara alamiah-naluriah, karena memang tidak ada sekolah orangtua bukan? Comot sana-sini, ingat-ingat cara orangtua kita saat mendidik kita dulu, lantas di-blend alias campur-aduk. Tapi, benarkah cara ini, sementara Rasulullah sendiri pernah mengutarakan bahwa tiap generasi punya zamannya masing-masing? So?

Berapa banyak dari kita sukses mengasuh anak ketika mereka masih balita, namun mengalami kendala saat buah hatinya duduk di kelas 4 – 6, di masa-masa pra pubertas dialaminya. Perasaan tak lagi sedekat dulu, banyak menyendiri, bahkan cenderung memberontak dengan emosi yang mudah meledak-ledak? Di mana letak korsletingnya?

Merujuk pada prinsip tarbiyatul aulad DR Abdullah Nashih Ulwan, yang ternyata kurang lebih seia-sejalan dengan prinsip psikologi perkembangan umum, perkembangan seorang anak dibagi dalam 3 tahap, yaitu:

1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.

2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.

3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.

Dari pengamatan sekilas saja, tampak bahwa ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Tidak mengherankan bila kita menggunakan metode yang tidak cocok dengan tahapannya, terbuka kemungkinan untuk terjadi friksi antara orang tua dan anak.

ANAK BERMASALAH, SALAH SIAPA DONG?

Ilustrasi 1
2 tahun lalu, ada orangtua siswa NF yang berang kepada wali kelas putrinya karena sang putri turun rangkingnya, dari juara 1 ke rangking ke 4. Beliau menyalahkan Ibu Guru karena tidak segera menginformasikan turunnya nilai-nilai pelajaran anaknya.

Ilustrasi 2
X, anak dari keluarga yang lumayan berada dan mapan, dan sang ibu adalah ibu rumah tangga, terpaksa harus menikah diam-diam karena dihamili oleh sang pacar.

Ilustrasi 3
Harnoko Dewantoro alias Oki, anak dari keluarga baik-baik dan terhormat, dikenal sebagai pribadi penurut dan tidak banyak tingkah, divonis sebagai pembunuh 3 orang, termasuk adik kandungnya sendiri.

Mungkin Anda protes, 3 ilustrasi di atas sungguh ganjil sekaligus ekstrim. Tapi percayalah, inilah realita yang ada, terentang dari ‘sekedar’ amukan seorang bapak, anak mogok sekolah, menjadi pelaku ‘bullying’ , hamil sebelum nikah, hingga kasus ekstrim Oki di atas.

Kalangan psikolog sepakat bahwa pokok persoalan yang menimpa seorang anak senantiasa disimak pada pangkalnya, yaitu KELUARGA. Seorang bapak atau ibu yang dinilai baik dan sukses di lingkungan karir dan masyarakat, masih perlu dilihat lagi apakah peran terhadap anak-anaknya juga sama bagusnya?

Dr Ediasri, dosen di Fakultas Psikologi UI, mengungkapkan salah satu faktor penyebab munculnya problem pada diri anak ialah kekurangserasian manajemen rumah tangga, meliputi jadwal kegiatan harian orang tua (sendiri maupun bersama anak), aturan disiplin, dan strategi atau konsep mendidik anak. Orangtua yang terlalu sibuk membuat jarak psikologis yang kian lebar dan anak merasa asing/tidak akrab dengannya. Minimnya aturan disiplin serta berseberangannya pola asuh antara ayah dan ibu, dapat memantik persoalan pada diri anak. Di samping itu, suasana dan hubungan antaranggota yang kurang menghargai satu sama lain, tidak menghormati tanggung jawab dan kemandirian.

Intinya, anak bisa bermasalah jika tidak mendapatkan kasih sayang, tidak memperoleh apresiasi, tidak diberi kesempatan mencicipi pengalaman baru, serta minim peluang untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab. Dan semua ini adalah tugas utama para orang tua, bukan sekolah! Makanya, sungguh menggelikan menyaksikan sikap orangtua yang ketika anaknya ketahuan bertingkah, mereka mencak-mencak tak karuan kepada guru, padahal kontribusi mereka sendiri mendekati titik nol dalam pendidikan anaknya…

Thomas Gordon dalam Responsible Parents menuliskan bahwa orangtualah sesungguhnya guru bagi anak-anaknya, berproses sejak dalam tahapan bayi (kalau dalam konteks Islam, bahkan jauh sebelum itu, sejak pemilihan pasangan hidup dan dalam kandungan). Jadi apapun metode pengajaran di sekolah sepatutnya tidak mengurangi aspek pendidikan yang selama ini diterimanya di rumah.

Sekolah (guru, yayasan) hanya sebatas membantu orangtua dalam mendidik anak, dan layaknya sebuah segitiga, antara ORANG TUA, ANAK, dan SEKOLAH, ketiganya harus saling bersinergi dan kompak bahu-membahu dalam optimalisasi potensi dan kemampuan anak.


PENUTUP

Mendidik anak tentulah jauh berbeda dengan menanam sebatang pohon, karena apa yang dihasilkan kelak masih tanda tanya, apakah akan seperti yang kita tanam? Apa sebab? Karena buah hati kita tak akan pernah lepas dari warna “pendidikan” yang diterimanya dari lingkungan masyarakat.

Upaya dan ikhtiar boleh maksimal, komunikasi dan sinergi dengan pihak guru dan sekolah juga dirasa sudah optimal. Satu hal, jangan pernah kita melupakan kekuatan doa, apalagi doa tulus orangtua terhadap kebaikan anak-anaknya. Percayalah, Gusti Allah ora sare, Dia tidak pernah tidur dan abai dengan permohonan hamba-Nya… Insya Allah!


Cimanggis, 11 Desember 2008

3 comments:

Anonymous said...

Wah... huibat nih mbak-ku. Kasih makalah di mana nih mbak? Kalau ke Bandung (dapat bocoran dari suami mbak Diana, katanya sering juga ke Bandung ya?), kita sempatkan ketemuan ding, jangan cuma di dunia maya ya. ;)

Diana said...

Alhamdulillah, sbnrnya sih lbh tepatnya 'ditodong' sm tmn2 di Komite Sekolah SD Nurul Fikri say, ya udah bismillah, niatnya lillahi ta'ala+mau berbagi ilmu kok :)
Kopi darat? Hayo atuh, nti ya kukbri kl ke Bdg lg, aku suka ikutan M2M di DT say :)

Anonymous said...

Mau juga dong... dibagi percikan ilmunya mbak Diana. Kapan-kapan kalau ke DT atau wilayah bandung manapun (terutama kalo ke Bandung Selatan), kabar-kabari ya mbak. Semoga bisa menyambung silaturahim di dunia maya untuk dibawa ke alam nyata. ;) Insya Allah.