Cerpenku, menyambut Hari Ibu...
Dua Ibuku tercinta, kiranya Allah memberkahi sisa usiamu, khusnul khatimah, insya Allah!
Jadi ingat mata ini berkaca-kaca saat mengucap met ultah tuk ibu mertuaku & ketika tadi sempat berbincang dengan bundaku. Subhanallah, aku dikelilingi dua wanita hebat lagi tangguh!
------------------------------------------------------------------------------------
Setengah berjingkat, aku mengintip melalui lubang kunci. Hm, tampaknya aman. Tergesa kuletakkan surat yang sudah kusiapkan sejak semalam di atas bantal Ibu. Sejenak ada ragu, apakah pantas kulakukan ini, tapi cepat kuenyahkan bimbang itu. Sudahlah...
"Djoko!"
"Ya, Bu?"
"Kamu tidak sarapan dulu?"
"Nanti sajalah di kantor. Ada pekerjaan penting pagi ini."
Raut keriput wajah ibuku muncul di balik pintu, sesaat setelah aku hendak menuju mobil.
"Terserah kamulah..."
Pamit, aku langsung tancap gas. Bukan apa-apa, rasa bersalah itu justru makin kuat; aku ingin menghindari konflik dengan Ibu pagi ini. Tapi... bagaimana dengan sore nanti?
***********
Baru kakiku melangkah masuk melewati pintu garasi...
"Djok, Ibu ingin bicara."
Dengan agak memberengut, kuhempaskan pantatku ke kursi makan terdekat.
"Aduh Ibu, apa ngga' bisa ditunda sebentar? Capek nih..."
Ibu seolah tuli. Langsung saja beliau duduk di hadapanku seraya mengacungkan sepucuk amplop. Ah, suratku. Kelihatan ini hari penentuanku, persidanganku.
"Ini apa? Maksudmu apa?"
Nada suaranya meninggi, tersinggung.
"Ya surat tho Bu."
"Kamu itu diajak bicara baik-baik malah seperti itu. Anak muda jaman sekarang kok yo ngono..."
"Kamu itu... kamu itu ndak serius tho dengan isi surat ini?"
"Lha ya serius tho Bu? Ngga' serius gimana?"
"Ibu kok ndak suka caramu ini. Apa ndak sempat kamu bicara langsung sama Ibumu ini? Kamu anggep apa Ibumu ini Le? Jangan-jangan kalau Romomu masih ada, Romo juga ndak dianggep..."
Kaget aku menyimak tanggapan Ibu. Aku lupa bahwa harga diri Ibu begitu tinggi, terlalu tinggi. Aku justru memprediksikan gugatan Ibu terhadap Tetty, calon istriku yang berasal tanah Batak. Ternyata...
"Ma... maafkan Djoko, Bu."
Namun Ibu sudah berlalu, ada isak halus tertahan berlalu bersamanya...
************
Tiga hari kami saling berdiam, tak bertegur sapa. Dari luar semua tampak normal. Sarapan rutin disiapkan Mbok Minah atas instruksi Ibu, juga baju hem, sepatu kerja, teh sore, maupun makan malam. Ibu seperti bersengaja menghindar dariku. Lama-kelamaan pening juga kepalaku menyaksikan adegan sama dari hari ke hari.
"Bu..."
Tak ada sahutan.
"Bu. Ibu masih marah sama Djoko ya?"
Ibu yang tengah menjahit hanya sejenak menghentikan kegiatannya menisik baju daster batiknya, memperbaiki letak kacamatanya, lalu mulai menjahit lagi.
"Bu, maaf. Djoko langsung saja. Seperti yang Djoko tulis di surat kemarin..."
"Ya?"
Nada suara Ibu sinis, wajahnya mulai meradang.
"Djoko sudah mantap dengan Tetty, Bu. Tolong berikan restu buat kami berdua."
"Kamu..."
Rasanya aku harus lebih nekat...
"Aku sudah datang menghadap orang tuanya, bilang ingin melamar anaknya. Mereka sangat welcome kok..."
Salah langkah lagi.
"Kamu itu! Melamar anak orang kok ndak omong-omong dulu dengan Ibu dan Pakde-pakdemu tho Le? Lagi pula Tetty itu siapa? Bagaimana bobot, bibit, dan bebetnya? Apa sesuai dengan darah birumu Le? Keturunan bangsawan mana dia?"
Selama beberapa lama aku diceramahi panjang lebar tentang pentingnya mencari calon pasangan yang setara dengan derajatku. Bosan, karena sudah sedari kecil itu-itu saja yang ditekankan oleh Ibu terhadap kami, aku dan mbakyu-mbakyuku.
Entah mengapa, aku merasa ada gap antara nilai-nilai yang menjadi titik fokus Ibu dengan realita hidup yang memutari kehidupanku. Kami hidup di kota besar, megapolitan, di mana semua suku bersua dan bergaul. Bahkan ada teman-teman kantorku yang berasal dari negara lain. Dunia jadi mengkerut. Dari pergaulan itu kami saling beradaptasi, sehingga nilai-nilai baik-buruk tidak lagi bisa dikotak-kotakkan hanya dalam kerangka etnis tertentu. Ketika kukecil, teman mainku begitu beragam, mulai dari anak kampung tetangga yang penuh ingus berleleran dengan pakaian dekil dan lubang di sana-sini, hingga kuliah dan dewasa saat aku akrab dengan Ucok, Bernardus, maupun David, bosku yang orang Perancis. Aku tak lagi merasa ada kendala dan benturan budaya saat berdiskusi atau berteman dengan orang-orang ini. Tidak demikian dengan Ibu.
"Mm, Tetty itu orang Batak, Bu. Marganya Daulay."
"Apa?! Le, le, kenapa sih kamu harus memilih orang Batak? Seperti ndak ada putri ayu saja dari tanah Jawa ini?"
"Yah, Djoko mana tahu. Wong jatuh cintanya diatur Tuhan nyungsep ke dia? Kan bukan Djoko yang ngatur Bu? Bukannya jodoh di tangan Tuhan?"
"Kamu kok ngomong asal saja tho. Ibu tahu kamu ndak pernah serius kalau dulu ditawari untuk ketemu Ajeng, Retno, atau Saras yang ayu-ayu itu tho?"
Jauh di lubuk hatiku, aku membenarkan 'tuduhan' Ibu. Rasanya kurang menantang jika tidak berusaha menemukan sendiri pelabuhan hati. Disodor-sodori begitu rasanya bukan jamannya lagi; kan ini bukan masanya Siti Nurbaya.
"Lantas bagaimana? Djoko sudah terlanjur bertemu orang tuanya Tetty."
"Ya biar saja tho. Mereka tho nanti akan sampai pada kesimpulan bahwa kamu ndak serius dengan anaknya."
"Ibu! Apa itu tidak mencoreng muka keluarga kita? Nanti jangan-jangan kita dianggap priyayi tak tahu sopan-santun."
"Lha itu kan salahmu sendiri tho..."
Setelah bersitegang beberapa waktu, Ibu dengan berat hati menyerah dengan keputusanku. Mulailah diatur pihak keluarga besar Singodimedjo yang akan diundang untuk ikut dalam rombongan ke rumah Tetty. Meski pening kembali meraja karena cukup banyak pakde dan bude yang diajak -- sekitar 20 orang! -- aku menyerah dengan tersenyum. Paling tidak, aku menang!
******************
Dua tahun berlalu...
Baru saja aku akan melangkah memasuki ruang makan ketika kutangkap ada nada pertengkaran di sana. Suara dua orang perempuan... Lagi-lagi, desahku. Entah sudah ke sekian kali...
"Tet, coba ditimbang-timbang lagi keputusanmu itu. Apa ndak terlalu cepat?"
Suara desah, Tetty.
"Ya... tidak bisa begitu, Bu. Itu sudah aturan perusahaan. Apalagi saya punya posisi penting di kantor. Bisa-bisa saya dicap memberi contoh buruk pada bawahan saya."
"Hhh, Ibu curiga. Kamunya yang tidak bisa atau tidak mau sih?"
Sempat kutangkap wajah merajuk Tetty diceramahi Ibu panjang-lebar sebelum ia meninggalkan ruang makan.
Kehadiranku langsung disambut Ibu dengan pidatonya lagi, kali ini terhadapku.
"Le, tolong kamu beritahu Tetty. Mosok bayi baru 3 bulan sudah ditinggal kerja lagi?"
"Lho, memangnya kenapa Bu? Itu kan biasa? Lumrah di mana-mana Bu."
"Walah Le, le. Buat Ibu itu ndak bisa begitu. Pantasnya itu dia berhenti kerja dulu. Nanti kalau anakmu sudah lebih besar, sudah sekolah, baru dia berpikir lagi untuk kerja."
"Bisa ngamuk-ngamuk dia, Bu. Kasihan kan, mumpung masih muda, punya karir di kantor. Sayang lho Bu, karirnya bagus. Malah gajinya lebih besar dari Djoko."
"Nah itulah masalahnya Le. Perempuan itu mbok ya jangan kebablasan. Di rumah sak enake dewe titip anak ke baby sitter, sedang dianya asyik kerja ndak kenal waktu."
"Ibu, kok ngomongnya begitu sih? Tetty ikut banting tulang cari uang bantu Djoko lho Bu?"
"Lha apa kerja musti ngoyo begitu tho Le? Rasanya ndak. Kan bisa tunggu waktu yang pas ngono tho Le. Lagi pula kapan waktunya untuk ngurusi kamu, anakmu, kapan? Kapan dia sempat masak?"
"Djoko sih ngga' keberatan Bu, kalau itu membuat dia bahagia, senang, apa harus Djoko larang. Ngga' dong."
"Ealah, bagaimana kamu ini? Suami yang baik ya ngingeti istrinya supaya jangan ngawur begitu."
"Ah, sudahlah Bu. Djoko ngantuk."
Begitulah, setiap hari ada saja bahan debat kusir kami berdua, Ibu dan aku. Dulu waktu mbakyu-mbakyu masih ada, lumayan aku punya sparring-partner untuk 'mengeroyok' opini Ibu yang sangat konsenrvatif itu. Tapi setelah mereka berdua diboyong suami masing-masing untuk tinggal di Sidney dan Toronto, tinggal aku sendiri yang senewen dicecar keluhan dan teguran Ibu. Pusing aku.
Sepertinya makin tak terhindarkan konflik dengan Ibu, apalagi Tetty tipe orang yang blak-blakan mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sikap Ibu yang suka mengatur dan mencampuri urusan dalam negeri kami. Aku sendiri juga merasa tidak nyaman, seperti terjepit di tengah-tengah, sementara sesungguhnya aku pro-Tetty. Akhirnya...
"Bu, ng... bulan depan kami akan pindah ke apartemen di daerah Kuningan."
Ibu kontan menghentikan jahitannya. Membetulkan letak kacamatanya.
"Opo Ibu ndak salah dengar Le? Mau apa kamu pindah ke sana? Buang-buang uang saja."
"Kan kami lebih dekat ke kantor, cuma sekitar 10 menitan dari situ. Yah, mudah-mudahan Tetty bisa lebih sorean sampai di rumah."
Ibu hanya diam, mencerna.
"Kamu... kamu serius mau pindah? Kamu tega meninggalkan Ibu berdua saja dengan Mbok Minah?"
"Ya, serius dong Bu. Ini bukan soal tega apa ngga', cuma biar kami lebih mandiri saja. Kami janji akan menjenguk Ibu tiap bulan deh..."
Mendesah. Ibu beringsut pergi seraya membawa pernik-pernik jahitannya.
"Yah, terserah kamu Le."
********************
Dua bulan kami pindah, Mbok Minah mengabarkan Ibu sakit dan jatuh pingsan di kamar mandi. Dokter Ridwan di rumah sakit itu menjelaskan, kadar gula darah ibu melonjak ditambah osteoporosisnya yang sudah parah. Ada kemungkinan Ibu akan lumpuh dan harus hidup di atas kursi roda.
Mbok Minah yang membukakan pintu depan, tiba-tiba saja menangis tersedu-sedu.
"Oalah kasihan nasib Ndoro Sepuh, Den. Kemarin ndak papa kok. Cuma memang murung terus 3 hari belakangan ini, mungkin memikirkan Den Djoko ndak jadi datang hari Minggu itu."
"Kan Djoko sudah matur Ibu ada acara family-gathering kantor Mbok? Mosok masih sedih?"
"Ya, Mbok mana tahu Den. Ibu langsung diam saja habis terima telponnya Den Djoko waktu itu. Kayaknya nelongso sekali."
Aku cuma bisa diam. Langsung kubergegas menuju kamar Ibu. Bersih dan rapi seperti biasanya, sejak dulu. Terpaksa aku harus membongkar lemari Ibu untuk membawakan baju gantinya karena Mbok Minah tidak sempat mengurusinya karena tergesa-gesa.
Pluk! Ada sebuah buku tulis tebal dengan tulisan miring khas Ibu terselip di tengah-tengah lipatan pakaian Ibu. Apa ini? Ibu punya buku harian? Sejak kapan? Selama ini aku tak tahu Ibu punya buku harian. Apakah... apakah sejak ia terlampau sering berbenturan denganku?
Berdegup, kubuka lembaran-lembaran buku itu, hati-hati. Ada rasa ingin tahu memerangkapku.
Di empat lembar terakhir...
November 2000
Ada surat tergeletak di atas bantal. Dari Djoko! Aku sedih membaca suratnya. Bukan, bukan aku tak setuju dengan niatnya untuk menikah. Dia toh sudah cukup umur. Aku sedih karena dia tak mau menyempatkan bicara langsung padaku, ibunya sendiri. Mungkin susah baginya?
Aku sebenarnya bangga padanya. Dia anak laki-lakiku satu-satunya. Bandel sekali memang, dan dibandingkan dengan mbak-mbaknya, dia paling sering melawan dan membangkang. Entah sudah puluhan kali kami dipanggil ke sekolah, tapi rasa malu dan marah itu langsung hilang disapu permintaan maafnya yang begitu trenyuh. Djoko, Djoko...
Maret 2001
Resepsi pernikahan Djoko dan Tetty. Bagaimana pun, meski jauh di lubuk hatiku aku masih belum sreg betul dengan Tetty, toh aku mesti merestuinya. Anak Batak, entah dari trah yang bagaimana, jauh bila dibandingkan dengan Bambang dan Gatot, mantu-mantuku yang halus tutur bahasanya. Mana bisa dia bicara Kromo Inggil? Yah, sudahlah. Yang penting Djoko bahagia dengan pilihannya; bagiku, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Aku yakin, romonya juga senang menyaksikan cah lanangnya dari sana...
Maret 2002
Aku kok tambah ndak senang dengan kelakuan Tetty. Pulang larut malam, seenaknya saja menyerahkan Bobby pada baby-sitternya. Padahal itu anak lucu sekali dan menggemaskan. Persis Djoko dulu. Pipinya gembil dan suaranya cadel berteriak-teriak renyah. Ah, aku jadi sedih mengingat semua ini. Kalau saja Romo masih ada, aku tentu ndak kesepian. Biar pun masih ada Djoko sekeluarga, aku merasa terasing. Sendiri. Pulang kerja, mereka berdua langsung masuk kamar. Tutup pintu. Padahal aku punya banyak cerita untuk mereka, atau... mereka tak punya persediaan cerita untukku? Atau mungkin juga mereka tak punya persediaan telinga untuk mendengar ceritaku?
Kadangkala, ketika anak-anakku memutuskan menikah, ada ketakutan tersembunyi di hatiku. Satu persatu anak yang kulahirkan dengan susah payah akan pergi, meninggalkanku tetap di sini. Di rumah tua ini. Hati, waktu, dan kesibukannya berpindah pada suami dan anak-anaknya, juga karir dan masa depannya. Yah, apalah aku ini. Hanya ibunya, hanya masa lalu mereka...
Aku berhenti di situ, menangis diam-diam. Ternyata begitu dalam luka hati Ibu. Tanpa kusadari aku mengikuti jejak mbakyu-mbakyuku, perlahan tapi pasti tak lagi menyempatkan untuk mengecek Ibu, bahkan sekedar 'say hello' juga rasanya sulit sekali. Apakah kehidupan kota besar begitu memenjarakan kami dalam kesibukan tak kenal putus?
Agustus 2002
Djoko pindah! Oalah Gusti, rasanya sebagian jiwaku ikut terbang bersama kepergian mereka. Aku menangis, diam-diam. Sedih karena Djoko pura-pura tuli dengan keinginanku untuk selalu bersamanya. Sepertinya aku akan benar-benar kesepian kali ini. Anak-anakku satu persatu meninggalkanku...
Aku memang keras pada Tetty, pada semua anak-anakku, kaukui itu. Semua itu kulakukan demi kebaikan mereka. Agar ketika mereka beranjak dewasa, mereka siap. Tapi ternyata aku yang tidak siap dengan kemandirian mereka, kemodernan mereka. Rasanya aku jauh di belakang, kini mereka membelakangiku. Sepertinya aku hanya mengusik kemapanan mereka. Aku, ibunya, cuma jadi pengganggu saja? Entahlah, tapi kelihatannya itu yang terpancar dari air muka anak-anakku.
Ibu, Ibu! Aku sudah tak kuat lagi menahan isak. Diam-diam, hati Ibu terluka begitu lebar dengan keputusan kami untuk pindah rumah. Padahal dulu saat aku kecil, entah berapa kali aku menimbulkan masalah di sekolah, entah itu berkelahi, memalsu tanda tangan, coba-coba mencuri, tapi Ibu dan Romo selalu memaafkanku. Membelai rambutku dengan kasih, menegurku perlahan agar tak mengulangi perbuatan itu. Meski sifat Ibu keras dan sulit kompromi, sesungguhnya beliau sangat memperhatikan anak-anaknya. Ibu, Ibu!
Oktober 2002
Benar apa firasatku, Djoko batal datang. Berarti dua bulan berlalu begitu saja, kosong. Sakit kepalaku kumat lagi. Rasanya hanya Djoko, Djoko, dan Djoko saja yang bergema di pikiranku, dan aku menjadi sedih mendengar kata-katanya yang ringan saja membatalkan kedatangannya. Mungkin untuknya, kantor dan karirnya terlalu penting buat hidup dan matinya, dan aku bukan siapa-siapa lagi baginya.
A TIME IS NOW...
If you have tender thoughts of me
please tell me now
if you wait until i'm sleeping
never will be death between us
and I won't hear you then
So if you love me, even a little bit
let me know while i am living
so that I can treasure it...
Aku tak tahan membaca tulisan sisanya. Aku, Djoko si anak kesayangan, si anak emas, telah berhasil mencampakkan Ibu dan hatinya ke liang yang paling gulita. Apakah aku jadi anak durhaka? Tuhan, beri aku kesempatan, sekali ini saja, untuk membahagiakan Ibu, melipur lara dan kesedihannya.
Detik itu juga, aku serasa ingin terbang dan sekejap tiba di rumah sakit, bersimpuh, memeluk Ibu, memohon maafnya...
Cimanggis, 29 Agustus 2003
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
5 comments:
It's so touchy! Happy Mother day ya Mba Diana :)
Saya seneng dengan cerita ini, pemilihan kata2nya terasa luwes....mengalir... :)
Jadi kapan nih dapet novel gratisannya mba Diana? :P
Kumcer-nya kapan terbit? ;) Atau... cerpen ini publish di mana nih, mbak Diana...?
WADUH, UNTUNG OGUT PUNYA EMAK AMA
MERTUA KAGAK GITU.......MALAH BOLAK
BALIK BILANG: " KASIHAN DEH KAMU
HIDUP JUNGKIR BALIK BEGITU. KALO
KITA DEKET, UDAH DIBANTUIN DEH..."
TAPI OGUT BILANG "TENANG AJA....
SEMUA ADA HIKMAHNYA....." TAPI
EMANG YANG NAMANYA IBU......
Ni emang cerpen bune yang ter yahud. Nti kalo deket2 pemilu mau dong cerpen yg coblosan pake blangkon ya
@mbak Diaz+Diah: Alhamdulillah,makasih... Alhamdulillah cerpen ini sdh dipublish di Ummi,jadi juara 2 Lomba Cerpen Ummi 2004 (wuih,dah lama banget ga juara ya,hehe...). Doain ya bisa bikin cerpen/novel yg 'greget' begini :)
@mbak Ika: Rebes Bune, mo dipublish di RT yah,hehe... Atau mau dibantuin bikin buletin RT lagi??
Post a Comment