“HUA… HUA… IBU… IBU! TELUR BURIK! TELUR BURIK HILANG!”
Ibu yang tengah merapikan meja makan sontak meloncat gesit menuju halaman depan. Nana yang menjerit-jerit, tersedu-sedu menunjuk kandang si Burik, ayam kesayangannya.
“Apa benar, Na? Coba Ibu lihat.”
Bi Imah pun ikut-ikutan menghampiri Nana.
“HUA… HUA…”
“Eeeh… kuda eh… kuda copot! Adduduh astaghfirullah Neng Nana, jangan keras –keras dong nangisnya, Bibi kan jadi latah.”
Setengah menangis setengah tertawa Nana mencubit Bi Imah.
“Uh Bibi, orang lagi sedih masih sempat-sempatnya latah!”
Sementara itu, kening Ibu berkerut heran setelah mengintip kandang si Burik. Benar kata Nana, telurnya tidak ada! Bukan cuma satu, tapi enam butir! Banyak amat? Nah, pertanyaannya sekarang, ke mana gerangan??
Belum sempat Ibu berfikir jernih…
“Hayo, Bibi ngaku saja. Bibi yang ambil telurnya Burik kan?”
“Eeeh ngaku… ngaku… Lho kok Neng nuduh Bibi sih?”
“Kemaren kan Bibi bikin nasi goreng untuk Bapak. Pakai telur kan? Bisa aja Bibi ambil telur si Burik karena di kulkas telurnya tinggal satu. Iya kan?”, Sambil menyeka ingusnya, Nana berbicara dengan nada tinggi kepada Bibi.
“Eeeeh iya… iya… aduh, sale kate deh. Engga Neng, sumpe Bibi engga ngutak-ngutik telur Burik. Bener, suerr!”
“Ah, Bibi tau apa suer-suer segala?”
“Nana!”
Kali ini Ibu yang bersuara.
“Ibu tidak suka kamu asal menuduh orang sembarangan saja.”
“Tapi Bu, buktinya telurnya tidak ada?”
“”Kita cari lagi yuk, mungkin saja terjatuh di rumput atau tergeser.”
“Tidak mungkin Bu, kan Burik lagi jarang keluar kandang.”
“Iya, tapi tetap saja kamu tidak boleh gampang menuduh orang.”
Nana cemberut. Ah, Ibu gimana sih, orang lagi sedih kok malah dinasehati panjang lebar!
Sejurus, Mas Andika, kakak Nana yang duduk di bangku SMP hendak berpamitan. Tiba-tiba saja Nana mendapat ‘tertuduh’ baru. Kalau bukan Bibi, mungkin saja…
“Nah, ini dia nih. Ngaku hayo, pasti mas Andika yang ambil telurnya Burik?”
“Ngaku apaan, Say?,” Mas Andika menjawab dengan santai. Mata jenakanya berputar-putar nakal, mempertebal kecurigaan Nana. Hm, kata Nana dalam hati, rasanya kali ini tuduhanku benar!
“Tuh kan Bu, lihat! Mas Andika ngaku. Hayo, Mas ambil telur si Burik buat praktikum Biologi ya?”
“Eit, eit. Enak aja, Mas ngga ngambil tau! Lagian, sabar dulu Say. Jangan asal nyemprot dong, hujan lokal tahu! Tuh, baju Mas jadi jadi basah deh,” Andika sibuk mengibas-ngibas seragamnya sambil tertawa. Nana jadi kian sebal melihatnya. Uuh…
Ibu cuma bisa tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan pertengkaran kedua anaknya. Perasaannya mengatakan bahwa bukan Andika pelaku pencurian ini, tapi… siapa?
Nana menggamit ujung baju Ibu dengan wajah memelas. Bekas air matanya masih tercetak jelas di pipi gembilnya.
“Bu, gimana dong? Pusiiing.”
Ibu tertawa mendengar ucapan Nana.
“Idih, kamu kayak ibu-ibu saja, gitu aja pusing. Hm… begini saja deh. Kamu lebih baik siap-siap mandi, nanti terlambat sekolah. Coba kita tanya Bapak nanti sore, mungkin saja Bapak tahu.”
Dengan enggan, Nana beranjak masuk ke dalam rumah. Sesaat dia berhenti…
“Bu! Apa mungkin Tono yang mengambil?”
“Tono?”
“Iya, Tono anaknya Bu Soni. Dia kan kemarin sore ke sini, mengantarkan jahitan mamanya. Kan dia sempat ditinggal sebentar di teras, waktu Ibu ambil uang ke dalam ?”
“Ah, masak sih? Tono kan anak baik?”
“Yah, siapa tahu?”
“Ah, kamu ini. Sudahlah, jangan cari tersangka baru. Iya kalau benar, kalau salah gimana? Dosa kan?” Ibu kembali mengingatkan Nana.
“Bu…”
“Sst, ayo sana siap-siap. Nanti sore, setuju?”
(sst, sabaaaar ya, lanjut sesuk mawon :D)
Wednesday, December 10, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
ssstt...cerpemn ini pernah dimuat dimana Mbak ?
Hehe, dulu pernah coba kuikutkan dalam lomba cerpen Bobo,trus baru aja KO alias ga menang di lomba cerpen anak majalah Ummi, yo wis ku-share aja di sini :) Begitu alkisah si cerpen...
Hehe... biasa daur ulang ya mbak? Kali ini kita bernasib sama. Udah mengusung cerpen daur ulang untuk Bobo dan Permata-Ummi, masih nggak lolos juga. Padahal kisah si burik ini bagus lho. Insya Allah nampang di Permata-Ummi tahun depan. ;)
Post a Comment