Jumat kemarin Allah berbaik hati kepadaku memaparkan satu lagi episode kehidupan, getir sekaligus memilukan. Si mbak -- kita panggil saja begitu -- sudah kukenal beberapa waktu lalu, dan psca lebaran, baru kali ini kami bersua kembali. Setelah saling beruluk salam lebaran, tiba-tiba matanya berkaca-kaca. Tidak biasanya perempuan tangguh ini tampak lemah tak berdaya. Ada apa gerangan?
Ternyata sudah beberapa lama ia jadi korban kekerasan fisik suaminya, tiap malam ditinju. Ya Allah, kasihan sekali... Katanya, perangai suaminya itu berubah total semenjak suaminya itu kembali dari kerja di luar Jawa, di mana dia bertemu kembali dengan mantan istri pertamanya. Meski keduanya sudah saling menikah lagi, entah mengapa, mantan istrinya ini ingin kembali kepada suami si mbak. Singkat cerita, sang suami seolah diguna-gunai, wallahu'alam...'
Aku terdiam, lama mencoba mencerna. Berat nian beban ini harus dipikul si mbak. Karena tidak tahan, dia sempat melontarkan permohonan cerai namun suaminya menolak dengan alasan masih cinta.
Ah, cinta. Apakah ini namanya cinta bila dia dengan sukarela menyakiti istrinya? Apakah ini cinta jika dia tega merusak bahagia yang selama ini membuncah? Apakah juga cinta namanya padahal dia dengan senang hati mengoyak rasa setia dan percaya sang istri akan perlindungan dan kasih sayangnya? Lantas ke mana menguap rasa tanggung jawab, amanahnya, janji-janjinya di hadapan Allah beserta malaikat dan para saksi kala ijab kabul dulu, untuk menjaga betul perempuan ini, yang bersedia menemaninya dalam suka dan duka bahtera rumah tangga? Sebuah janji maha berat, mitsaqan ghaliza, yang oleh Allah tingkatannya setara dengan janji para Nabi dan janji terhadap Bani Israil (maaf jika aku keliru)?
Menurutku, ada satu titik penentu di mana perempuan harus bangkit, bangun dari lelap panjang, tatkala kezaliman itu meraja, dan membetot harga dirinya sebagai wanita sekaligus makhluk-Nya yang punya hak untuk hidup aman-tenteram. Dan buatku, ini tidak semata identik dengan kekerasan fisik saja, tapi juga mencakup kekerasan psikologis, perasaan terancam, di bawah tekanan, diabaikan, diintimasi. Maka menjadi perempuan identik dengan makna harus berdaya, sehingga ketika cinta berubah jadi kebrutalan, kasih sayang menjelma jadi gelap gulita, kita masih senantiasa bisa segera terduduk dan bergerak, bukan hanya terpuruk sekaligus terperosok. Karena di balik kelembutannya, aku sungguh percaya, perempuan-perempuan jauh lebih tangguh dan mampu berdiri tegar di tengah badai yang mengguncang...
Bagaimana menurutmu?
Wednesday, October 29, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
perempuan harus perkasa.
(ayik)
setuju Nut..
(tapi.....hikss...hikks...hikks, kami segsegen)
dan satu lagi,
perempuan bukan sansak! (guling buat latihan petinju)
dan sesungguhnya dJJ sebaik-baik pelindung ...
Post a Comment