Friday, June 20, 2008

IBU TUKINAH, TERIMA KASIH...

(berdasar kisah nyata)

Lima tiga puluh, menjelang Maghrib. Langit semburat jingga berbaur nila, Madinah terasa sendu. Jamaah haji bergegas mengulang wudhu, sebelum adzan terlanjur bergema. Kami pun demikian. Membasuh segenap anggota tubuh, sekaligus menyegarkan sukma yang lelah menanti tibanya pergantian siang-malam.

Kian rapat shaf untuk memulai ritual shalat. Hampir-hampir tak ada celah untuk mereka yang datang terlambat atau baru tiba dari pondokannya. Terlebih bagi jamaah Turki yang rata-rata berbadan subur makmur, namun barakallah, ada saja yang bersedia merapatkan lagi barisannya untuk memberi izin jamaah baru menyelinap di sana-sini.


Alhamdulillah, aku dan kawan-kawan seregu sudah semenjak Dzuhur menempati barisan yang nyaman. Benar saja, masih ada selalu yang mencari-cari tempat yang tersisa, seperti seorang ibu paruh baya itu. Kukenali beliau dari ciri tas dadanya, ah... ternyata asal Indonesia juga. Entah mengapa, seolah refleks kuayunkan tanganku, melambainya agar mendekat. Padahal, kutahu pasti, sudah rapat sekali shafku. Apalagi Mbak Erika, teman seregu sebelahku, sudah mendelik seraya menggeleng kuat-kuat, agar kubatalkan ajakanku itu. Tapi kali ini, aku seolah tak peduli dengan isyaratnya. Tetap saja kulambai lagi, hingga keraguan di wajah ibu itu memudar. Dengan berseri-seri dan langkah lambat tapi pasti, beliau beringsut menghampiri.

“Terima kasih, Nak. Duh... sudah dari tadi ibu mencari-cari tempat, ndak berhasil. Maklumlah, namanya juga sudah sepuh, lamban jalannya. Jadinya ibu ditinggal teman-teman...”

Seusai shalat dan mengaji, sambil menanti adzan Isya, mulailah kami berbasa-basi. Ibu Tukinah namanya, berasal dari Jombang, Jawa Timur. Menilik penampilannya, kutebak usianya lebih dari 60 tahun. Tapi kiranya aku salah menduga, beliau baru berumur 50 tahun. Ada raut letih di situ, di kerut mukanya. Kabut membayangi matanya yang sebenarnya indah. Aku tak berani bertanya-tanya terlalu jauh, takut menyinggung perasaannya. Bukankah itu haknya, untuk tak mengemukakan masalah yang menderanya?
Jadi kami sebatas cuma berbincang biasa, selumrah orang yang baru kenal.

“Anak masih muda sudah bisa pergi haji tho? Pasti senang sekali ya? Mungkin malah berangkat sama-sama dengan Kangmasnya?”
“Alhamdulillah, Bu. Allah memberi cukup rezeki, jadi kami bisa berdua berangkat. Ibu juga ya, dengan Bapak?”

Aku sungguh terkejut, air mukanya kontan berubah drastis. Keruh di matanya kian tebal mengabut. Mukanya tertunduk, dalam. Suaranya bergetar cukup hebat.
“Oalah, Nak. Kalau bisa seperti Nak ini, Ibu bahagia sekali. Ah, itu cuma jadi mimpi. Sudah puluhan tahun Ibu pisah sama Bapak. Ndak, ndak cerai juga. Gara-gara Ibu ndak bisa kasih keturunan, kasih anak ke Bapak.”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Yah, laki-laki ya begitu. Buat dia, ndak bisa kasih anak, ya... habislah. Ibu ini apalah, cuma seorang perempuan biasa, ndak makan sekolahan, ndak bisa apa-apa. Masih dikasih makan, ndak cerai saja ya sudah syukur, Nak. Gusti Allah masih sayang sama Ibu, Ibu ndak dicerai Bapak.”
Tercenung, aku tidak mampu berkata apa-apa. Sedih, pilu.
“Ng... apa sudah ke dokter ahli, Bu? Dicari tahu apa penyebabnya?”
“Wah, sudahlah, Nak. Pasti Ibu yang mandul, wong begitu kan selama ini kejadiannya? Jadi biar sajalah Bapak punya 'simpanan' atau 'jajan' sana-sini, sudah kebutuhannya laki-laki tho. Ibu kan ndak bisa lagi memenuhi kebutuhannya itu. Biarpun dalam hati, Ibu pingin sekali punya anak, wadduh... senengnya kayak apa ya? Dia akan Ibu sayang-sayang, Ibu urus dari kecil sampai besar. Kalau dia nakal, ndak akan dimarahi, ndak akan Ibu pukul, cuma disayang, dinasehati baik-baik...”

Air matanya menetes perlahan, mengguyur pipinya yang mengeriput. Sementara aku, di sisinya, justru sudah lebih dulu sesunggukan. Kesedihanku berganda, sedih bercampur simpati dengan penderitaan sang ibu dan sedih atas perlakuanku selama ini terhadap putri semata wayangku, Aisyah.

Ah, Aisyah, Aisyah! Bagaimana kabarmu, Nak? Ceriakah, menangiskah, atau sedang bermain apa dengan Eyangmu? Belum genap 2,5 tahun usiamu, tapi entah telah berapa banyak dikau didera omelan Bunda, untuk segala hal-hal sepele tak perlu? Sudah seberapa kenyang dikau dengan cubitan gemas Bunda, Nak?
Ya Rabbi, entah berapa banyak kupupuk dosa sezarah demi sezarah lewat anakku? Mengapa sabar itu menguap tanpa tanda, tanpa jeda? Meski senantiasa kupandangi wajah cantiknya yang mungil dan tak berdosa, selalu kegundahan dan angkara murka atas perilakunya yang tak berkenan di hatiku yang akhirnya merajai relung-relung kalbuku. Tak ada celah untuk kasihan, untuk menimbun iba. Hatiku selalu berkalang amarah, tak lagi bisa menimbang keaktifannya sebagai batita dengan berimbang. Rumah harus bersih, harus rapi, tak boleh ada setitik noda pun mengotori lantai dan karpetnya! Harus, harus! Begitu sempurna, namun juga begitu kaku...
Bunda ingat, Aisyah, ketika itu kita akan berangkat ke kampus, sudah siap semua. Perbekalanmu, baju ganti, diapers, semuanya. Tinggal Bunda mengunci pintu-pintu. Tiba-tiba engkau remas-remas telur rebus yang tadi tergeletak di atas meja makan, di karpet Bunda yang baru di-laundry kemarin sore. Tentu Aisyah masih ingat, Bunda marah semarah-marahnya padamu, ditambah cubitan di pahamu. Meski engkau menangis meraung-raung, marah itu bukannya menipis, justru kian menggema di kepala dan dada Bunda. Ah, Aisyah, ingin rasanya Bunda detik ini juga terbang menempuh perjalanan panjang untuk merengkuhmu dalam pelukan tulus Bunda, meminta maaf atas kesalahan Bunda selama ini, telah menanamkan benih kebencian padamu, benih antipati di hatimu. Apakah Bunda kelak bisa Aisyah sayangi dengan tulus? (Bagaimana bisa, Bunda? Kan Bunda tak pernah mengajarkannya pada Aisyah? Mungkin inilah jawabanmu atas pertanyaan Bunda)

Tak lama, adzan berkumandang. Entah mengapa, kali ini gema suara sang muadzin terasa lebih menggigit telinga, tiap kalimatnya mendetam-detam dada. Air mataku sudah menganak sungai, sementara Ibu Tukinah termangu-mangu menatapku.

“Nak, maafkan Ibu ya? Ibu salah bicara ya?”

Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya, hanya bisa menggeleng. Sejurus aku menghela nafas, panjang sekali, mencoba mengusir penat sesal di dada.

Selesai shalat yang kurasakan lebih khusyuk dari biasanya, aku ingin bersalaman seraya berterima kasih kepada Ibu Tukinah. Namun nihil, tak kudapati sosoknya yang mungil itu. Sajadahnya sudah tak lagi terhampar. Mbak Erika dan teman-teman yang lain juga tak menyadari kepergiannya. Malaikatkah? Apakah ada maksud terselubung dari Gusti Allah atas kehadirannya di sisiku? Wallahu-'alam...

2 comments:

Anonymous said...

Subhanallah... begitu banyak hikmah yang bisa kita ambil dari segala peristiwa yang terjadi pada kita. Sungguh, tiada kebetulan di sana, semua telah diatur-Nya. Berbahagialah orang-orang yang dapat mengambil hikmah. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya. Juga kepada orang-orang yang membuat mata dan hati kita terbuka untuk memetik hikmah itu. Amiin.

zuki said...

subhanalloh ... pengingat diri ...