Friday, June 19, 2009
SURAT CINTA BUAT DINDA
(cerpenku ini ada dalam buku antologi cerpen FLP Depok ini, mangga atuh dibeli & dikritik ya...)
Dinda, tanah ini masih bersemu merah jambu. Wana kesukaanmu. Dengan tenaganya yang dahsyat, ia membungkus tubuh mungilmu, dan... terbentanglah jarak di antara kita. Duhai, tak henti-hentinya Bunda sesali, andai saja dini hari tadi Bunda ada di sisimu, sekejap setelah jam tua di pondok kita berdentang dua kali, mungkin cerita tak berujung pilu begini.
Kalau saja tak ada batas waktu membuat proposal penelitian itu, rasanya tak ingin Bunda beranjak meninggalkan kehangatan pembaringanmu. Jika saja mata ini bisa digertak untuk terus terbuka lebar, biarlah tatapnya Bunda hibahkan untuk menelusuri wajah tirus serta tubuh ringkihmu. Raut muka yang menghibakan, namun sesungguhnya menyimpan semangat juang yang besar. Selalu ada yang menakjubkan darimu; tiap hari ada saja yang ingin kau pelajari.
Andai saja.... Ah, anakku. Penyesalan memang senantiasa datang terlambat, tapi kali ini bagai tak berakhir. Air mata Bunda rasanya takkan kunjung kering. Tak adakah, Dinda cintaku, Allah memberi peluang pada Bunda untuk melakoni ulang detik-detik sarat makna bersamamu, hingga Bunda bisa menghambat kepergian abadimu ini. Bisakah? Bolehkah, Rabb...?
*********
Semua sudah pergi, pulang ke rumah masing-masing. Mereka yang berpakaian dan berparas muram. Namun... tak ingin rasanya kaki ini beranjak menjauhimu, dan membiarkanmu terbaring sendirian di tengah tanah pekuburan yang sunyi sepi ini. Bunda tak sudi, tak mau!
Ah, itu Ayah perlahan mendekat ke arah kita, menggamit tangan Bunda.
“Mari, Sayang. Sudah mulai gelap, akan hujan rupanya...”
Bunda mencoba menggeleng kuat-kuat. Tidak! TIDAK! Biarkan hujan mengguyur tubuh Bunda. Apalah artinya dibandingkan dengan kedinginan dan kesenyapan yang kau rasakan di dalam sana. Dingin yang menggigit sampai ke sumsum tulang. Oh, tidak, tidak..., biarkan Bunda terus di sini. Bersamamu.
Ayah turut bersimpuh di samping Bunda. Ia terpekur sejenak. Matanya sembab, rautnya nyaris ungu menahan isak. Bunda melihat masih ada galau di sana, meski sudah agak mereda. Ah, Ayah masih lebih tabah daripada Bunda, Dinda. Ia berkata,”Bunda, ingatkah apa yang tadi dikatakan Pak Ustadz? Hubungan ini, bagaimanapun hanyalah terputus secara fisik. Tidak ikut memutuskan hubungan jiwa. Dinda tetaplah anak kita, belahan jiwa kita, meski kini ia tertidur panjang di sini. Ya, kan?”
Bunda hanya sanggup mengangguk.
“Dinda tentu lebih bahagia bila mengetahui Bundanya terus mengennagnya dalam doa dan keikhlasan, bukan dengan menyiksa diri seperti ini...”
“Biar! Biarkan Bunda, Ayah! Tolong izinkan Bunda tetap di sini...”
“Sst... Sayang. Apakah menurut Bunda, rasa bersalah itu bisa pupus dengan cara begini? Ayah kira tidak, Bunda. Dinda pastilah tidak menyukai cara ini, cara yang menyakiti diri Bunda. Ya kan? Ayo, marilah kita pulang. Maghrib sudah menjelang...”
Pecah tangis Bunda, luruh sudah pertahanan ini. Kekeraskepalaan Bunda bagai kena tohok dengan telak. Duh, Dinda, Bunda terpaksa harus pamit dulu. Permata hatiku, insya Allah wangi surgawi segera menyambutmu di sana....
**********
Boneka, sepatu, dan baju-baju merah jambumu baru saja Bunda rapikan. Hari terasa begitu lambat beringsut, seolah enggan beranjak dari detik ke detik. Baru pukul sepuluh pagi, namun kepala ini sungguh penat.
Sepekan sudah engkau pergi, tapi bagi Bunda, seolah engkau masih berkelebat di sini. Di ranjang mungilmu, di kursi malasmu, saat engkau berbagi keceriaan dengan sang mentari, di mana-mana. Denyut hadirmu masih terasa bergelora, memenuhi aura kehidupan Bunda, meski wujudmu sudah menyatu di surga dengan-Nya.
Entah mengapa, tangan Bunda refleks meraih boneka Lalamu yang cantik. Matanya yang besar membelalak lucu. Masih terekam jelas dalam benak Bunda, kala pertama kali Bunda perlihatkan Lala padamu. Tangan kurusmu bergerak teramat lambat, coba menggapai mata besarnya, ingin menggoyang-goyangkan tubuh montoknya agar matanya bergerak-gerak naik turun, membuka dan menutup.
Allah... tak pernah jua sebelumnya Bunda menyaksikan upayamu yang sedemikian gigih, berusaha melawan kelumpuhan totalmu. Dinda lihat? Tahu-tahu Bunda sudah menangis lagi. Bunda kini duduk di kursi goyangmu, tempat kita biasa berbagi suka-duka, merajut cerita. Pahit sekali bila Bunda mengingatnya lagi, betapa kisah-kisah kita makin mendekati titik nol kala Bunda memutuskan untuk bekerja sebagai staf pengajar di kampus itu.
Mulai tampak bayang kekecewaan di matamu, ketika sejak itu makin sering Bunda ingkar janji, Maafkan Bunda, Manis. Bunda harus ke kampus, harus memeriksa kertas ujian, harus, harus.... Tapi, makin hari makin kerap Bunda harus ke sana, harus ke sini.
Duh, Dinda.... Bunda tak bisa mencegah ketika memori ini berlabuh jauh, terhempas keras ke masa empat tahun yang lalu. Saat itu Bunda sedang terserang demam, sulit sekali rasanya menelan. Kelu lidah ini bukan buatan. Bunda memaksa diri untuk makan sesuatu, tapi penyakit itu begitu bandel. Sudah seminggu tak kunjung sembuh, meski berbutir-butir parasetamol telah Bunda minum. Akhirnya Bunda pun pergi ke dokter Milna, dokter spesialis kandungan teman Bunda. Duh, Dinda... reaksinya bagai menampar keras pipi Bunda.
“Ya Allah, Ranti! Kok baru sekarang kemari? Padahal demammu sudah menjelang seminggu. Sebaiknya kamu periksa darah. Ini baru minggu ke delapan kan?”
“Kok sampai harus tes darah segala? Memangnya kenapa, Dok?”
“Ini lho, ruam-ruam merah di kulitmu ini kan masih tanda tanya. Berdoa saja semoga bukan...”
Mendadak sunyi. Bunda jadi curiga.
“Semoga bukan apa, Dok?”
“Saya sangat berharap bukan rubella. Terus-terang, virus itu agak berbahaya untuk janin yang sedang di kandungmu. Kita berharap hanya demam biasa.”
Duh, sayangku! Harapan tinggal harapan. Meski kami berdoa siang-malam, akhirnya Bunda divonis positif terkena rubella. Rasanya dunia sudah kiamat buat Bunda. Apa dosa yang telah kami perbuat? Ataukah ini sekedar ujian hidup? Tapi... mengapa sedemikian berat?
Dengan mengucap basmallah, Bunda mencoba mengayun langkah, menapaki hari-hari dengan sikap tegar, meski tak ayal, ada masa penuh isak tangis di malam kelam, kala Bunda mengadu kepada-Nya. Tiada, tak ada yang mampu menyelami kepediahn jiwa Bunda selain Dia....
Amboi, cantiknya dirimu. Kulit kuning langsat, bersih-bercahaya, persis seperti malaikat kecil yang langsung mencuri hati Ayah dan Bunda. Timbul setitik harapan, semoga tak ada efek rubella pada pertumbuhanmu. Semoga...
Tapi, luapan suka cita itu tidaklah lama. Sedikit demi sedikit engkau mulai tertinggal dari bayi seusiamu. Engkau masih saja terbaring tanpa mampu memutar tubuhmu untuk tengkurap dan duduk, bahkan hingga usiamu dua tahun. Meski Bunda kerap menggodamu dengan mainan favoritmu, gemingmu sangatlah minim, hanya mata indahmu yang antusias mengikutinya.
Tamparan kedua pun datang, cerebral palsy, lumpuh motorik, stadium terberat pula. Syaraf motorikmu akan mengalami kelambatan, dikau takkan bisa berjalan selamanya, apalagi berlari lincah. Ya Rabbi, mengapa beban ini begitu berat? Rasanya saat itu, nyawa Bunda sudah separuh terbang....
Bolak-balik ke YPAC, demam tinggi yang setia datang, teriakan kesakitanmu yang memilukan disertai kejang-kejang. Itulah pemandangan yang harus Bunda hadapi setiap hari, dari waktu ke waktu. Membuat Bunda sangat lelah, fisik dan mental. Makin lama mental Bunda kian labil, karena emosi teraduk-aduk selalu. Sampai pada suatu titik, Bunda haus suasana baru. Bunda dan Ayah berdiskusi, panjang lebar, hingga larut malam. Bunda ingin, ingin sekali bekerja.
“Tetapi bagaimana dengan Dinda?”
“Kita bisa cari baby-sitter untuk anak penyandang cacat. 'Kan terapisnya rutin datang, jadi bisa memberi pengarahan. Lagipula Bunda janji tidak akan lepas tangan.”
Dan Ayah pun terpaksa mengalah.
Duh, Dinda... Ternyata janji Bunda hanya sebatas janji. Lambat laun, suasana baru itu lebih menantang, lebih harum semerbak bagi Bunda. Apalagi baby-sitter-mu sangat cekatan dan sabar, dan terapismu melaporkan kemajuan pesat darimu.
Makin terbuailah Bunda, dan makin jauh jua hubungan kita. Bunda kian sering pulang malam, ketika kau sudah lelap tertidur di tengah bonekamu. Entah menguap ke mana nostalgia manis saat kita melewatkan hari-hari selama dua puluh empat jam bersama-sama. Hari-hari engkau bebas dari demam dan kejang; hari-hari hanya ada tawa ceriamu, kala Bunda menggoda dan membopongmu mngitari taman, seraya memperkenalkanmu pada sang kupu yang tengah menghisap madu bunga.
Indahnya kenangan itu, mengawang-awang di langit biru. Saat itu ingin rasanya Bunda persembahkan segala yang engkau inginkan. Meski tak ada ucap yang terlontar, karena bicaramu pun ikut terhambat, namun binar matamu bicara banyak. Ya, Sayang, Bunda tahu, betapa banyak cerita yang ingin kau bagi pada Bunda. Tawa, tangis, dan isak pilumu kerap jadi satu kesatuan...
Tapi, dunia baru Bunda begitu memabukkan, hingga kenangan manis itu makin lama makin kabur dari benak Bunda. Padahal, masih rutin sebulan sekali engkau demam tinggi disertai igauan dan kejang-kejang di sekujur tubuh.
Baby-sitter-lah yang setia mendampingimu, meski Bunda bukannya tak tahu, Bundalah sebenarnya yang kau butuhkan. Sementara Bunda sendiri semakin sering menghilang dari sisimu, lenyap di tengah rimba pekerjaan mengajar, membuat penelitian, dan pelatihan di sana-sini. Nyaris tak ada tanya simpati dari rekan sejawat Buna, menanyakan perihal dirimu. Dulu, dulu sekali, memang ada teman Bunda, seorang psikolog anak, mengingatkan agar Bunda behenti mengajar saja.
Bunda langsung meradang. No way! NO WAY!! Bagaimana dengan dunia baru ini? Haruskah Bunda selamanya berkutat dalam gerak terbatas di antara dinding sempit rumah kita? Dan hanya berputar-putar di pusaran deritamu? Apakah Bunda tak boleh sedikit menarik napas dan melepaskan tekanan emosional di rumah? Tidak! Tidak! Batin Bunda langsung memberontak. Bunda butuh udara segar di luar rumah, sama seperti ayahmu. Kenapa hanya Bunda yang harus berkorban? Duhai, Sayang, kelak Bunda amat menyesali kepongahan ini.
**********
Berdiri di atas alasan 'demi engkau”, Bunda melanjutkan perjalanan karir ini. Begitu melenakan dan membius, sehingga begitu mudah Bunda mengalihkan tugas menenangkan amukan protesmu pada Mbak Yuni, baby-sitter-mu. Walaupun kian kentara sikap gundahmu, kecewamu, tugas yang bertumpuk memupus kepekaan Bunda atas perasaanmu. Paper, koreksi ujian, soal-soal ujian, draft penelitian, semuanya bagai mengepung, sekaligus menantang. Tak ada lagi ruang untukmu, hingga jerit tangismu kala Bunda berangkat kerja, menguap lepas di udara.
Pagi itu, tiba-tiba saja engkau demam tinggi, tersengal-sengal napasmu. Ini tak biasanya, Bunda panik. Baru menjelang tengah malam, engkau mulai tertidur tenang, setelah tiga kali meminum obat dari dokter Rizal. Bergegas Bunda bergerak, langsung meraih draft penelitian yang batas waktunya tinggal dua hari lagi. Tidak sempat lagi Bunda menatap kepolosan wajahmu, dan... memang takkan ada waktu berulang.
Subuh menjelang, menggugah kesadaran Bunda kalau tubuhmu sudah sedingin es. Meski Bunda menjerit histeris, memanggil-manggil namamu, kau tak pernah bangun lagi. Kau hanya diam berbaring, dengan senyum lembut membayang di bibirmu yang mulai membiru. Dan engkau tinggalkan Bunda dalam sunyi. Sunyi, seolah berjalan dalam gulita.
**************
Tanah peristirahatan terakhirmu sudah mulai kecokelatan, tidak lagi merah jambu seperti kemarin. Tapi air mata Bunda belumlah kering, terutama saat teringat angan-angan Bunda untuk membelikanmu kursi roda serta menyekolahkanmu di SLB D di Pasar Minggu.
Maafkan Bunda, anakku. Biarlah rasa sesal ini Bunda hayati sendiri. Hanya satu hal Bunda pinta darimu, jangan biarkan jiwamu ikut menjauhi Bunda. Selamat jalan putri kecilku, bidadari hatiku. Antarkan wangi surgawi ke hati Bunda.
Cimanggis, April 2000
*************************
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
6 comments:
aku termehek mehek baca ini, trsentuh banget. belinya dmn yah buku ini?/
Keren... Tapi kenapa di posting utuh, Mbak Diana. Separuh saja, biar penasaran...
@Dunia Polar: Hm, ini buku dah dr tahun 2003-2004 dik, mgk msh ada di toko buku :)
@e. wijayanti: iya sih mbak, lain kali deh kalo aku posting cerpenku, aku cut separuh ya?Itung2 promo, hehe...
kok jadi terdengar seperti curhat ya mbak... ;) minimal, 10% diambil dari pengalaman pribadi ya...? semoga dalam kisah nyatanya, anak-anak selalu sehat, ceria, dan bahagia. Shalih & shalihat juga tentunya. Amiin.
weekkss ternyata penulis novel jg toh.. ehh aku diajari dong
@Diah: 99% true story say :) Kisah nyatanya memang menyedihkan...
@kucingkeren: blm say, br penulis cerpen, 'napasnya' msh pendek, hehe... kuncinya: rajin nulis, nulis, nulis! Hayu kirim/posting diblogmu, nti sm2 dikritik,mau??
Post a Comment