Tadi pagi ketika aku bergegas ke UI untuk sesi konseling dengan orangtua klienku, ada 2 orang mahasiswi tengah mengajukan kotak kardus meminta infaq untuk bangsa Palestina. Uang infaqku yang tidak seberapa ditukarkan dengan sebentuk pita merah sebagai bentuk solidaritas kepada Palestina. Dan saat kumampir ke toko buku kecil depan UI, lagi-lagi topik demo aksi solidaritas Palestina asyik diperbincangkan.
Sebagaimana kita simak di media, baru beberapa hari lalu, serangan Israel menelan korban rakyat biasa, dengan korban terbanyak, wanita dan anak-anak. Ya Allah, di mana nurani para tentara Israel itu, membombardir kaum tidak berdaya?
Entah mengapa, alam pikirku langsung tertambat pada sang murabbi utama kita, almarhum Ustad Rahmat Abdullah. Tahun 2005, 2 bulan sebelum wafatnya, di tengah sakitnya beliau dikabarkan memaksakan diri mengikuti long march dari bundaran HI ke Kedutaan Besar AS di Jl. Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, dan melakukan orasi membangkitkan semangat kader dakwah dalam perjuangan dan membela saudaranya di Palestina yang sedang dizalimi penjajah Israel.
Di antara isi pidatonya adalah:
“Yang mati ditikam sudah banyak, yang mati kena narkoba melimpah, yang mati kebut-kebutan kecelakaan lalulintas sudah banyak. Indonesia bertanya, siapa yang mati dengan seni kematian yang paling indah? Seni kematian yang paling baik membela ajaran Allah, membela mereka yang tertindas dan teraniaya. Mungkin banyak yang ngeri dengan istilah tadi. Sekedar berjalan kaki dari HI kemari (ke depan kedubes AS) belum berarti apa-apa. Tetapi ini akan jadi sangat berarti bagi saudara-saudara kita di Paletina. Tahukah saudara-saudara sekalian?! Di tengah derita mereka, hidup bertahun-tahun ditenda dan rumah-rumah darurat, ternyata saudara-sadara kita di Palestina masih sempat mengirimkan sumbangan untuk saudara-saudara kita di Aceh (korban gempa dan Tsunami) kemarin. Karena yang bisa memahami derita adalah orang yang sama –sama menderita, oleh karena itu walaupun kita tidak dalam derita seharusnya punya kepekaan, punya kepedulian dan punya hati yang halus dan lembut untuk bisa mendengar rintihan suara anak –anak di Palestina”.
Kehadiran Ustadz Rahmat dalam Aksi Solidaritas untuk Palestina dengan tema “SELAMATKAN AL AQSHA”, Ahad, 17/4/2005 dan orasinya di depan kedubes AS, merupakan kehadiran beliau untuk yang terakhir kalinya dalam mengikuti Aksi Pembelaan untuk Palestina, karena dua bulan setelah Aksi Solidaritas tersebut tepatnya pada hari Selasa, 14 Juni 2005, beliau wafat pada usia 52 tahun, dengan meninggalkan seorang isteri dan tujuh orang anak. Jasad beliau dikuburkan di samping komplek Islamic Center IQRO’, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya)”. (QS. Al-Ahzab/33:23)
”Ya ALLAH,
dengan kasih sayang-Mu …
Engkau kirimkan kepada kami da’i penyeru iman…
Kepada nenek moyang kami penyembah berhala…
Dari jauh mereka datang karena cinta mereka kepada da’wah…
Berikan kami kesempatan dan kekuatan, keikhlasan dan kesabaran…
Untuk menyambung risalah suci dan mulia ini kepada generasi berikut kami…
Jangan jadikan kami pengkhianat yang memutuskan mata rantai kesinambungan ini…
Dengan sikap malas dan enggan berda’wah…
Karena takut rugi dunia dan dibenci bangsa”...
(Doa beliau kala itu...)
Subhanallah, Maha Suci Allah yang Maha Agung, totalitas, totalitas ini yang masih saja ragu meresap dalam lubuk jiwaku...
Tahun Baru, 2 tahun baru, semoga bisa jadi titik canangan untuk kian total dari hari ke hari. Yang kutahu pasti, rinduku akan bertemu dengan Tuhanku, senantiasa membuncah tiap detiknya, dan enyah segala cinta duniawi, apalagi cinta yang menyesatkan... Bangsa Palestina sudah tekun membuktikan, kecintaan hakiki pada Rabb-nya membuahkan kematian terindah dalam benak kita, saudara-saudaranya...
(sebagian tulisan dikutip dari detik.com)
Tuesday, December 30, 2008
Sunday, December 28, 2008
BERJALANLAH SESUAI FITRAHMU...
oleh: HANA
Biarlah kehidupan ini terus berputar..
Karena diantara rodanya..
terdapat jejak yg pernah dilaluinya..
Tersenyumlah..bila memang kau ingin tersenyum..
Karena dengan senyummu..
akan mendamaikan hati setiap insan..
Tertawalah..bila memang kau ingin tertawa…
Karena tawamu..
menghapuskan kesedihan..
Menangislah..bila memang kau ingin menangis…
Karena tangismu...
meringankan beban yg kau rasakan..
Bicaralah..bila memang kau harus bicara..
Karena kejujuranmu
membuang semua sampah dihati..
Tapi yakinlah dengan semua yg telah kau lakukan..
Tidak akan pernah mampu menghentikan roda kehidupan
Cukup puaslah dengan apapun yg Allah tentukan untukmu..
Karena itulah sebaik-baiknya iman
Berserah dirilah hanya kepadaNya..
Karena..apapun tidak akan menimpamu tanpa izinNya
Sandarkanlah semua beban yg ada dipundakmu
Dan kamu tidak mampu untuk memikulnya hanya padaNya..
Karena seberat apapun beban itu menurumu..
Sungguh beban itu tiada berat bagi diriNya..
“tidak ada sesuatu musibahpun yg menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk pada hatinya.” (At-Taghabun [64] : 11)
Biarlah kehidupan ini terus berputar..
Karena diantara rodanya..
terdapat jejak yg pernah dilaluinya..
Tersenyumlah..bila memang kau ingin tersenyum..
Karena dengan senyummu..
akan mendamaikan hati setiap insan..
Tertawalah..bila memang kau ingin tertawa…
Karena tawamu..
menghapuskan kesedihan..
Menangislah..bila memang kau ingin menangis…
Karena tangismu...
meringankan beban yg kau rasakan..
Bicaralah..bila memang kau harus bicara..
Karena kejujuranmu
membuang semua sampah dihati..
Tapi yakinlah dengan semua yg telah kau lakukan..
Tidak akan pernah mampu menghentikan roda kehidupan
Cukup puaslah dengan apapun yg Allah tentukan untukmu..
Karena itulah sebaik-baiknya iman
Berserah dirilah hanya kepadaNya..
Karena..apapun tidak akan menimpamu tanpa izinNya
Sandarkanlah semua beban yg ada dipundakmu
Dan kamu tidak mampu untuk memikulnya hanya padaNya..
Karena seberat apapun beban itu menurumu..
Sungguh beban itu tiada berat bagi diriNya..
“tidak ada sesuatu musibahpun yg menimpa seseorang, kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk pada hatinya.” (At-Taghabun [64] : 11)
Friday, December 26, 2008
ANAK BAHAGIA ATAU ANAK SEMPURNA? MANA YANG KITA PILIH?
(Makalahku, dalam "Sharing & Diskusi Panel": Membentuk Anak Berkarakter", awal Desember lalu)
Anak berangkat sekolah di pagi buta, baru pulang saat sore menjelang. Belum lagi PR dan tugas sekolah bertumpuk, les ke sana ke mari, tiba di rumah dengan wajah kuyu mengantuk. Masih harus dipaksa untuk ikut bimbel karena UAN sudah di depan mata, jangan sampai nilai jeblok, harus masuk sekolah favorit!
Inilah potret kebanyakan anak masa kini. Semua fasilitas tersedia: sekolah dengan uang masuk dan SPP jutaan, guru privat, les Bahasa Inggris dan Matematika menjamur, PC, notebook, dan HP canggih, ibu atau supir yang siap sedia wara-wiri mengantar les atau lomba ini-itu… Waktu santai? Ah, mana sempat? Namun pernahkah kita sebagai orang tua bertanya, benarkah semua itu menjamin kebahagiaan anak kita? Pernahkah kita bertanya kepada ananda kita terkait aktivitasnya yang bejibun ini? Apakah menyediakan semua sarana di atas yang diharapkan bisa menjadikan dia anak mumpuni dan sempurna, notabene menjamin 100% rasa bahagianya?
HARGA SEBUAH KESEMPURNAAN
‘Push-parenting’, ini istilah yang sedang naik daun semenjak dua dekade terakhir. Orangtua yang mengatur tiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, menuntut prestasi tinggi di sekolah dan bidang lain, serta menekan anak dalam memilih kursus atau minat dalam rangka gengsi daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu dan minat pribadi sang anak, adalah gambaran orangtua dengan pola asuh yang terlampau menuntut. Dan hasilnya adalah anak yang bergerak seolah robot tanpa daya, tanpa emosi.
Menjadi orangtua di era modern memang memiliki tantangan tersendiri. Situasi kian kompetitif di segala penjuru disadari atau tidak, menumbuhkan kecemasan dan desakan yang terus bergaung dalam sanubari: apakah yang kita lakukan untuk anak-anak kita sudah memadai? Apakah kita harus bertindak lebih banyak lagi? Apakah anak kita saat dewasa nantinya akan sesuai dengan harapan kita? Apakah…
CEGAH KORSLETING!
Umumnya orangtua membesarkan dan mendidik anaknya secara alamiah-naluriah, karena memang tidak ada sekolah orangtua bukan? Comot sana-sini, ingat-ingat cara orangtua kita saat mendidik kita dulu, lantas di-blend alias campur-aduk. Tapi, benarkah cara ini, sementara Rasulullah sendiri pernah mengutarakan bahwa tiap generasi punya zamannya masing-masing? So?
Berapa banyak dari kita sukses mengasuh anak ketika mereka masih balita, namun mengalami kendala saat buah hatinya duduk di kelas 4 – 6, di masa-masa pra pubertas dialaminya. Perasaan tak lagi sedekat dulu, banyak menyendiri, bahkan cenderung memberontak dengan emosi yang mudah meledak-ledak? Di mana letak korsletingnya?
Merujuk pada prinsip tarbiyatul aulad DR Abdullah Nashih Ulwan, yang ternyata kurang lebih seia-sejalan dengan prinsip psikologi perkembangan umum, perkembangan seorang anak dibagi dalam 3 tahap, yaitu:
1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Dari pengamatan sekilas saja, tampak bahwa ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Tidak mengherankan bila kita menggunakan metode yang tidak cocok dengan tahapannya, terbuka kemungkinan untuk terjadi friksi antara orang tua dan anak.
ANAK BERMASALAH, SALAH SIAPA DONG?
Ilustrasi 1
2 tahun lalu, ada orangtua siswa NF yang berang kepada wali kelas putrinya karena sang putri turun rangkingnya, dari juara 1 ke rangking ke 4. Beliau menyalahkan Ibu Guru karena tidak segera menginformasikan turunnya nilai-nilai pelajaran anaknya.
Ilustrasi 2
X, anak dari keluarga yang lumayan berada dan mapan, dan sang ibu adalah ibu rumah tangga, terpaksa harus menikah diam-diam karena dihamili oleh sang pacar.
Ilustrasi 3
Harnoko Dewantoro alias Oki, anak dari keluarga baik-baik dan terhormat, dikenal sebagai pribadi penurut dan tidak banyak tingkah, divonis sebagai pembunuh 3 orang, termasuk adik kandungnya sendiri.
Mungkin Anda protes, 3 ilustrasi di atas sungguh ganjil sekaligus ekstrim. Tapi percayalah, inilah realita yang ada, terentang dari ‘sekedar’ amukan seorang bapak, anak mogok sekolah, menjadi pelaku ‘bullying’ , hamil sebelum nikah, hingga kasus ekstrim Oki di atas.
Kalangan psikolog sepakat bahwa pokok persoalan yang menimpa seorang anak senantiasa disimak pada pangkalnya, yaitu KELUARGA. Seorang bapak atau ibu yang dinilai baik dan sukses di lingkungan karir dan masyarakat, masih perlu dilihat lagi apakah peran terhadap anak-anaknya juga sama bagusnya?
Dr Ediasri, dosen di Fakultas Psikologi UI, mengungkapkan salah satu faktor penyebab munculnya problem pada diri anak ialah kekurangserasian manajemen rumah tangga, meliputi jadwal kegiatan harian orang tua (sendiri maupun bersama anak), aturan disiplin, dan strategi atau konsep mendidik anak. Orangtua yang terlalu sibuk membuat jarak psikologis yang kian lebar dan anak merasa asing/tidak akrab dengannya. Minimnya aturan disiplin serta berseberangannya pola asuh antara ayah dan ibu, dapat memantik persoalan pada diri anak. Di samping itu, suasana dan hubungan antaranggota yang kurang menghargai satu sama lain, tidak menghormati tanggung jawab dan kemandirian.
Intinya, anak bisa bermasalah jika tidak mendapatkan kasih sayang, tidak memperoleh apresiasi, tidak diberi kesempatan mencicipi pengalaman baru, serta minim peluang untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab. Dan semua ini adalah tugas utama para orang tua, bukan sekolah! Makanya, sungguh menggelikan menyaksikan sikap orangtua yang ketika anaknya ketahuan bertingkah, mereka mencak-mencak tak karuan kepada guru, padahal kontribusi mereka sendiri mendekati titik nol dalam pendidikan anaknya…
Thomas Gordon dalam Responsible Parents menuliskan bahwa orangtualah sesungguhnya guru bagi anak-anaknya, berproses sejak dalam tahapan bayi (kalau dalam konteks Islam, bahkan jauh sebelum itu, sejak pemilihan pasangan hidup dan dalam kandungan). Jadi apapun metode pengajaran di sekolah sepatutnya tidak mengurangi aspek pendidikan yang selama ini diterimanya di rumah.
Sekolah (guru, yayasan) hanya sebatas membantu orangtua dalam mendidik anak, dan layaknya sebuah segitiga, antara ORANG TUA, ANAK, dan SEKOLAH, ketiganya harus saling bersinergi dan kompak bahu-membahu dalam optimalisasi potensi dan kemampuan anak.
PENUTUP
Mendidik anak tentulah jauh berbeda dengan menanam sebatang pohon, karena apa yang dihasilkan kelak masih tanda tanya, apakah akan seperti yang kita tanam? Apa sebab? Karena buah hati kita tak akan pernah lepas dari warna “pendidikan” yang diterimanya dari lingkungan masyarakat.
Upaya dan ikhtiar boleh maksimal, komunikasi dan sinergi dengan pihak guru dan sekolah juga dirasa sudah optimal. Satu hal, jangan pernah kita melupakan kekuatan doa, apalagi doa tulus orangtua terhadap kebaikan anak-anaknya. Percayalah, Gusti Allah ora sare, Dia tidak pernah tidur dan abai dengan permohonan hamba-Nya… Insya Allah!
Cimanggis, 11 Desember 2008
Anak berangkat sekolah di pagi buta, baru pulang saat sore menjelang. Belum lagi PR dan tugas sekolah bertumpuk, les ke sana ke mari, tiba di rumah dengan wajah kuyu mengantuk. Masih harus dipaksa untuk ikut bimbel karena UAN sudah di depan mata, jangan sampai nilai jeblok, harus masuk sekolah favorit!
Inilah potret kebanyakan anak masa kini. Semua fasilitas tersedia: sekolah dengan uang masuk dan SPP jutaan, guru privat, les Bahasa Inggris dan Matematika menjamur, PC, notebook, dan HP canggih, ibu atau supir yang siap sedia wara-wiri mengantar les atau lomba ini-itu… Waktu santai? Ah, mana sempat? Namun pernahkah kita sebagai orang tua bertanya, benarkah semua itu menjamin kebahagiaan anak kita? Pernahkah kita bertanya kepada ananda kita terkait aktivitasnya yang bejibun ini? Apakah menyediakan semua sarana di atas yang diharapkan bisa menjadikan dia anak mumpuni dan sempurna, notabene menjamin 100% rasa bahagianya?
HARGA SEBUAH KESEMPURNAAN
‘Push-parenting’, ini istilah yang sedang naik daun semenjak dua dekade terakhir. Orangtua yang mengatur tiap menit hidup anaknya dengan kursus-kursus, menuntut prestasi tinggi di sekolah dan bidang lain, serta menekan anak dalam memilih kursus atau minat dalam rangka gengsi daripada untuk memenuhi rasa ingin tahu dan minat pribadi sang anak, adalah gambaran orangtua dengan pola asuh yang terlampau menuntut. Dan hasilnya adalah anak yang bergerak seolah robot tanpa daya, tanpa emosi.
Menjadi orangtua di era modern memang memiliki tantangan tersendiri. Situasi kian kompetitif di segala penjuru disadari atau tidak, menumbuhkan kecemasan dan desakan yang terus bergaung dalam sanubari: apakah yang kita lakukan untuk anak-anak kita sudah memadai? Apakah kita harus bertindak lebih banyak lagi? Apakah anak kita saat dewasa nantinya akan sesuai dengan harapan kita? Apakah…
CEGAH KORSLETING!
Umumnya orangtua membesarkan dan mendidik anaknya secara alamiah-naluriah, karena memang tidak ada sekolah orangtua bukan? Comot sana-sini, ingat-ingat cara orangtua kita saat mendidik kita dulu, lantas di-blend alias campur-aduk. Tapi, benarkah cara ini, sementara Rasulullah sendiri pernah mengutarakan bahwa tiap generasi punya zamannya masing-masing? So?
Berapa banyak dari kita sukses mengasuh anak ketika mereka masih balita, namun mengalami kendala saat buah hatinya duduk di kelas 4 – 6, di masa-masa pra pubertas dialaminya. Perasaan tak lagi sedekat dulu, banyak menyendiri, bahkan cenderung memberontak dengan emosi yang mudah meledak-ledak? Di mana letak korsletingnya?
Merujuk pada prinsip tarbiyatul aulad DR Abdullah Nashih Ulwan, yang ternyata kurang lebih seia-sejalan dengan prinsip psikologi perkembangan umum, perkembangan seorang anak dibagi dalam 3 tahap, yaitu:
1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Dari pengamatan sekilas saja, tampak bahwa ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Tidak mengherankan bila kita menggunakan metode yang tidak cocok dengan tahapannya, terbuka kemungkinan untuk terjadi friksi antara orang tua dan anak.
ANAK BERMASALAH, SALAH SIAPA DONG?
Ilustrasi 1
2 tahun lalu, ada orangtua siswa NF yang berang kepada wali kelas putrinya karena sang putri turun rangkingnya, dari juara 1 ke rangking ke 4. Beliau menyalahkan Ibu Guru karena tidak segera menginformasikan turunnya nilai-nilai pelajaran anaknya.
Ilustrasi 2
X, anak dari keluarga yang lumayan berada dan mapan, dan sang ibu adalah ibu rumah tangga, terpaksa harus menikah diam-diam karena dihamili oleh sang pacar.
Ilustrasi 3
Harnoko Dewantoro alias Oki, anak dari keluarga baik-baik dan terhormat, dikenal sebagai pribadi penurut dan tidak banyak tingkah, divonis sebagai pembunuh 3 orang, termasuk adik kandungnya sendiri.
Mungkin Anda protes, 3 ilustrasi di atas sungguh ganjil sekaligus ekstrim. Tapi percayalah, inilah realita yang ada, terentang dari ‘sekedar’ amukan seorang bapak, anak mogok sekolah, menjadi pelaku ‘bullying’ , hamil sebelum nikah, hingga kasus ekstrim Oki di atas.
Kalangan psikolog sepakat bahwa pokok persoalan yang menimpa seorang anak senantiasa disimak pada pangkalnya, yaitu KELUARGA. Seorang bapak atau ibu yang dinilai baik dan sukses di lingkungan karir dan masyarakat, masih perlu dilihat lagi apakah peran terhadap anak-anaknya juga sama bagusnya?
Dr Ediasri, dosen di Fakultas Psikologi UI, mengungkapkan salah satu faktor penyebab munculnya problem pada diri anak ialah kekurangserasian manajemen rumah tangga, meliputi jadwal kegiatan harian orang tua (sendiri maupun bersama anak), aturan disiplin, dan strategi atau konsep mendidik anak. Orangtua yang terlalu sibuk membuat jarak psikologis yang kian lebar dan anak merasa asing/tidak akrab dengannya. Minimnya aturan disiplin serta berseberangannya pola asuh antara ayah dan ibu, dapat memantik persoalan pada diri anak. Di samping itu, suasana dan hubungan antaranggota yang kurang menghargai satu sama lain, tidak menghormati tanggung jawab dan kemandirian.
Intinya, anak bisa bermasalah jika tidak mendapatkan kasih sayang, tidak memperoleh apresiasi, tidak diberi kesempatan mencicipi pengalaman baru, serta minim peluang untuk belajar mandiri dan bertanggung jawab. Dan semua ini adalah tugas utama para orang tua, bukan sekolah! Makanya, sungguh menggelikan menyaksikan sikap orangtua yang ketika anaknya ketahuan bertingkah, mereka mencak-mencak tak karuan kepada guru, padahal kontribusi mereka sendiri mendekati titik nol dalam pendidikan anaknya…
Thomas Gordon dalam Responsible Parents menuliskan bahwa orangtualah sesungguhnya guru bagi anak-anaknya, berproses sejak dalam tahapan bayi (kalau dalam konteks Islam, bahkan jauh sebelum itu, sejak pemilihan pasangan hidup dan dalam kandungan). Jadi apapun metode pengajaran di sekolah sepatutnya tidak mengurangi aspek pendidikan yang selama ini diterimanya di rumah.
Sekolah (guru, yayasan) hanya sebatas membantu orangtua dalam mendidik anak, dan layaknya sebuah segitiga, antara ORANG TUA, ANAK, dan SEKOLAH, ketiganya harus saling bersinergi dan kompak bahu-membahu dalam optimalisasi potensi dan kemampuan anak.
PENUTUP
Mendidik anak tentulah jauh berbeda dengan menanam sebatang pohon, karena apa yang dihasilkan kelak masih tanda tanya, apakah akan seperti yang kita tanam? Apa sebab? Karena buah hati kita tak akan pernah lepas dari warna “pendidikan” yang diterimanya dari lingkungan masyarakat.
Upaya dan ikhtiar boleh maksimal, komunikasi dan sinergi dengan pihak guru dan sekolah juga dirasa sudah optimal. Satu hal, jangan pernah kita melupakan kekuatan doa, apalagi doa tulus orangtua terhadap kebaikan anak-anaknya. Percayalah, Gusti Allah ora sare, Dia tidak pernah tidur dan abai dengan permohonan hamba-Nya… Insya Allah!
Cimanggis, 11 Desember 2008
Wednesday, December 24, 2008
KEMATIAN HATI
oleh: (Alm) Ust. Rahmat Abdullah
Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.
Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.
Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.
Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.
Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.
Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya?
Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?
Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.
Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?
Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.
Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.
Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.
Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?
Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?
Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya" . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku".
Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.
Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"
Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.
Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.
Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.
Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.
Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.
Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.
Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. "Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka", ucapnya lirih.
Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.
Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.
Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma'siat menggodamu dan engkau meni'matinya?
Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?
Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir "Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh" Betapa jamaknya 'dosa kecil' itu dalam hatimu.
Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat "TV Thaghut" menyiarkan segala "kesombongan jahiliyah dan maksiat"?
Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan " Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?"
Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang "Ini tidak islami" berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?
Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.
Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.
Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.
Siapa yang mau menghormati ummat yang "kiayi"nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan "Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku" dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?
Siapa yang akan memandang ummat yang da'inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan "Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua" Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai 'alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?
Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da'wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.
Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa "westernnya" . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan "lihatlah, betapa Amerikanya aku".
Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.
Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.
Kini datang "pemimpin" ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, "toko emas berjalan" dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. "Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku"
Tuesday, December 23, 2008
MENJADI IBU INSPIRATIF
Senin kemarin dengar Delta FM pagi-pagi sambil supersibuk dengan tetek-bengek urusan rumah tangga. As usual, dia minta para pendengar setianya untuk meng-SMS, dan kali ini terkait dengan Hari Ibu, dia minta kita mengajukan nama ibu bangsa yang menjadi sumber inspirasi beserta alasannya. Hm, sounds interesting...
Setelah menimbang-nimbang, dan dari sekian jumput pengalamanku bergelut dengan aneka karakter wanita yang kujumpai, aku tiba pada kesimpulan bahwa untuk menjadi seorang ibu inspiratif, gelar/titel sarjana S1, S2, S3, atau bahkan profesor sekalipun yang bererot panjangnya itu bisa dinafikkan atau dienyahkan. Ekstrim? Maybe, okelah... Tapi sadarkah bahwa seorang ibu dengan titel S3 sekalipun tidaklah menjamin dia sanggup dan kredibel mengasuh buah hatinya dengan mumpuni selevel titelnya itu? Berapa banyak orang tua yang superpandai tapi anaknya keleleran atau terlibat kenakalan remaja? Artinya boleh-boleh saja dia punya gelar yang membanggakan hatinya sampai sesak nafas, tapi saat dia menjadi ibu, kualitas keibuannya hanya setara tingkat SD! Hm, sungguh memprihatinkan bukan?
Maka justru lebih mulia ibu-ibu bersahaja yang mungkin buta aksara tapi bisa membekali putra-putrinya semangat kejujuran, tak kenal menyerah oleh badai kehidupan, senantiasa haus akan ilmu pengetahuan, beramal tanpa pamrih, dan suatu hari kelak menjadi seseorang yang diandalkan agam dan bangsanya. Pernahkah Anda tergelitik untuk tahu siapa wanita di balik kelurusan hati seorang ustad Rahmat Abdullah almarhum, atau Kak Seto, atau penulis yang tengah naik daun, Andrea Hirata?
Jadi, ketika Farhan mengusulkan nama-nama seputar Megawati, Ibu Ani Yudhoyono, dan beberapa nama lainnya, mantap kuketik nama Ibu Muslimah, sang guru Laskar Pelangi, sang motivator sejati, yang bisa membantu anak didiknya untuk berani bermimpi melampaui batas cita-cita sekelompok anak-anak miskin di Belitong.
Subhanallah, aku jadi merenung, sudahkah aku, di jejak kakiku hari ini, menjadi ibu sumber inspirasi bagi buah hatiku? Semoga Allah masih memberi aku peleuang untuk melakukannya, seoptimal yang kubisa, hingga detik akhir masaku...
Setelah menimbang-nimbang, dan dari sekian jumput pengalamanku bergelut dengan aneka karakter wanita yang kujumpai, aku tiba pada kesimpulan bahwa untuk menjadi seorang ibu inspiratif, gelar/titel sarjana S1, S2, S3, atau bahkan profesor sekalipun yang bererot panjangnya itu bisa dinafikkan atau dienyahkan. Ekstrim? Maybe, okelah... Tapi sadarkah bahwa seorang ibu dengan titel S3 sekalipun tidaklah menjamin dia sanggup dan kredibel mengasuh buah hatinya dengan mumpuni selevel titelnya itu? Berapa banyak orang tua yang superpandai tapi anaknya keleleran atau terlibat kenakalan remaja? Artinya boleh-boleh saja dia punya gelar yang membanggakan hatinya sampai sesak nafas, tapi saat dia menjadi ibu, kualitas keibuannya hanya setara tingkat SD! Hm, sungguh memprihatinkan bukan?
Maka justru lebih mulia ibu-ibu bersahaja yang mungkin buta aksara tapi bisa membekali putra-putrinya semangat kejujuran, tak kenal menyerah oleh badai kehidupan, senantiasa haus akan ilmu pengetahuan, beramal tanpa pamrih, dan suatu hari kelak menjadi seseorang yang diandalkan agam dan bangsanya. Pernahkah Anda tergelitik untuk tahu siapa wanita di balik kelurusan hati seorang ustad Rahmat Abdullah almarhum, atau Kak Seto, atau penulis yang tengah naik daun, Andrea Hirata?
Jadi, ketika Farhan mengusulkan nama-nama seputar Megawati, Ibu Ani Yudhoyono, dan beberapa nama lainnya, mantap kuketik nama Ibu Muslimah, sang guru Laskar Pelangi, sang motivator sejati, yang bisa membantu anak didiknya untuk berani bermimpi melampaui batas cita-cita sekelompok anak-anak miskin di Belitong.
Subhanallah, aku jadi merenung, sudahkah aku, di jejak kakiku hari ini, menjadi ibu sumber inspirasi bagi buah hatiku? Semoga Allah masih memberi aku peleuang untuk melakukannya, seoptimal yang kubisa, hingga detik akhir masaku...
Monday, December 22, 2008
NOBITA AKURA
Nobita Akura, itulah namanya. Antik? Tentu saja :) Tadinya sih bukan ini namanya, tapi Aqua, lebih karena melihat ada sebotol aqua tergeletak. Tapi mengingat kekhasannya, aqua digeser dikit jadi akura deh. Dinamai Nobita karena hobinya tiduuuuuur melulu, entah bonus mendengkur atau tidak, wallahu'alam (imut bangets sih, hehe...), dan Akura yang merupakan singkatan dari ... (ah entar ah, ngga seru udah dibocorin dari awal :D). Asalnya dari Brazil, hanya saja dia tidak pandai menari tango apalagi main sepakbola. Pokoknya, kagak ada deh mirip-miripnya sama Ronaldo, Ronaldinho, atau Kaka yang superganteng itu lho, so sori dori mori dah...
Dia resmi menjadi anggota keluarga pada tanggal 14 Desember lalu. Kami bersua saat olahraga pagi, dan kehadirannya langsung membuncahkan rasa sayang. Makannya sedikit, cuma sejumput. Diet? Hm, katanya sih memang dari sononya makannya ngga napsuan gitu deh, mungkin juga doi tahu kalau sekarang dollar merajalela, krisis global terasa di mana-mana, so dengan bijaknya dia 'berdiet' kompakan dengan rekan-rekan Braziliano-nya.
Eh iya, aku meragukan kelegalan surat-surat imigrasinya, wong si Nobita Akura ngga bisa baca, apalagi calistung (penting tho untuk tanda-tangan atau cap jempol sesudah baca surat dengan seksama?). Jadi dia pendatang haram? Hm, tidak juga bisa dikatakan begitu, mau dirazia siapa, wong dia cuma seekor kura-kura!
Senang juga sih ide sesaat untuk punya peliharaan baru di samping Cupanix dan Cipinix -- si ikan cupang yang dituduh masih sodaraan sama Asterix-Obelix -- serta Bet-bet ternyata membuahkan kegembiraan dan sensasi lain. Waduh, anak-anakku heiboh banget punya Akura, diajak main ke luar kandang mininya, dan dia dengan gigihnya berjalan tanpa lelah. Dan lewat semangat 45-nya si Akura, aku bilang ke anakku untuk mencontohnya, terutama karena mereka tengah ulangan semesteran. Bayangkan saja, si mungil ini bisa menjelajah ruangan tengah nyaris dari ujung ke ujung, atau mendaki sofa-bed hingga ke puncaknya!
Hanya saja sejak 2 hari lalu dia diam saja, dan anak-anakku ketar-ketir khawatir ada apa-apa dengan Akura. Tadi sempat konsul dengan anak tetangga yang sukses merawat kura-kura Brazil sampai dewasa, dan dia memberi banyak tips, disuruh kasih betadine, dielus-elus tempurungnya, sampai akhirnya saat anak sulungku memaparkan kondisi update-nya Akura yang ngumpet aja dan nyaris tidak bergerak, anak tetangga itu bilang mungkin saja kura-kura itu sudah sekarat. Duh, sediiih bukan kepalang, karena belum seumur jagung sang kura-kura itu menghuni rumah ini. Doain yaa supaya Nobita Akura bisa cepat sembuh...
Dia resmi menjadi anggota keluarga pada tanggal 14 Desember lalu. Kami bersua saat olahraga pagi, dan kehadirannya langsung membuncahkan rasa sayang. Makannya sedikit, cuma sejumput. Diet? Hm, katanya sih memang dari sononya makannya ngga napsuan gitu deh, mungkin juga doi tahu kalau sekarang dollar merajalela, krisis global terasa di mana-mana, so dengan bijaknya dia 'berdiet' kompakan dengan rekan-rekan Braziliano-nya.
Eh iya, aku meragukan kelegalan surat-surat imigrasinya, wong si Nobita Akura ngga bisa baca, apalagi calistung (penting tho untuk tanda-tangan atau cap jempol sesudah baca surat dengan seksama?). Jadi dia pendatang haram? Hm, tidak juga bisa dikatakan begitu, mau dirazia siapa, wong dia cuma seekor kura-kura!
Senang juga sih ide sesaat untuk punya peliharaan baru di samping Cupanix dan Cipinix -- si ikan cupang yang dituduh masih sodaraan sama Asterix-Obelix -- serta Bet-bet ternyata membuahkan kegembiraan dan sensasi lain. Waduh, anak-anakku heiboh banget punya Akura, diajak main ke luar kandang mininya, dan dia dengan gigihnya berjalan tanpa lelah. Dan lewat semangat 45-nya si Akura, aku bilang ke anakku untuk mencontohnya, terutama karena mereka tengah ulangan semesteran. Bayangkan saja, si mungil ini bisa menjelajah ruangan tengah nyaris dari ujung ke ujung, atau mendaki sofa-bed hingga ke puncaknya!
Hanya saja sejak 2 hari lalu dia diam saja, dan anak-anakku ketar-ketir khawatir ada apa-apa dengan Akura. Tadi sempat konsul dengan anak tetangga yang sukses merawat kura-kura Brazil sampai dewasa, dan dia memberi banyak tips, disuruh kasih betadine, dielus-elus tempurungnya, sampai akhirnya saat anak sulungku memaparkan kondisi update-nya Akura yang ngumpet aja dan nyaris tidak bergerak, anak tetangga itu bilang mungkin saja kura-kura itu sudah sekarat. Duh, sediiih bukan kepalang, karena belum seumur jagung sang kura-kura itu menghuni rumah ini. Doain yaa supaya Nobita Akura bisa cepat sembuh...
Friday, December 19, 2008
JENDELA HATI IBU
Cerpenku, menyambut Hari Ibu...
Dua Ibuku tercinta, kiranya Allah memberkahi sisa usiamu, khusnul khatimah, insya Allah!
Jadi ingat mata ini berkaca-kaca saat mengucap met ultah tuk ibu mertuaku & ketika tadi sempat berbincang dengan bundaku. Subhanallah, aku dikelilingi dua wanita hebat lagi tangguh!
------------------------------------------------------------------------------------
Setengah berjingkat, aku mengintip melalui lubang kunci. Hm, tampaknya aman. Tergesa kuletakkan surat yang sudah kusiapkan sejak semalam di atas bantal Ibu. Sejenak ada ragu, apakah pantas kulakukan ini, tapi cepat kuenyahkan bimbang itu. Sudahlah...
"Djoko!"
"Ya, Bu?"
"Kamu tidak sarapan dulu?"
"Nanti sajalah di kantor. Ada pekerjaan penting pagi ini."
Raut keriput wajah ibuku muncul di balik pintu, sesaat setelah aku hendak menuju mobil.
"Terserah kamulah..."
Pamit, aku langsung tancap gas. Bukan apa-apa, rasa bersalah itu justru makin kuat; aku ingin menghindari konflik dengan Ibu pagi ini. Tapi... bagaimana dengan sore nanti?
***********
Baru kakiku melangkah masuk melewati pintu garasi...
"Djok, Ibu ingin bicara."
Dengan agak memberengut, kuhempaskan pantatku ke kursi makan terdekat.
"Aduh Ibu, apa ngga' bisa ditunda sebentar? Capek nih..."
Ibu seolah tuli. Langsung saja beliau duduk di hadapanku seraya mengacungkan sepucuk amplop. Ah, suratku. Kelihatan ini hari penentuanku, persidanganku.
"Ini apa? Maksudmu apa?"
Nada suaranya meninggi, tersinggung.
"Ya surat tho Bu."
"Kamu itu diajak bicara baik-baik malah seperti itu. Anak muda jaman sekarang kok yo ngono..."
"Kamu itu... kamu itu ndak serius tho dengan isi surat ini?"
"Lha ya serius tho Bu? Ngga' serius gimana?"
"Ibu kok ndak suka caramu ini. Apa ndak sempat kamu bicara langsung sama Ibumu ini? Kamu anggep apa Ibumu ini Le? Jangan-jangan kalau Romomu masih ada, Romo juga ndak dianggep..."
Kaget aku menyimak tanggapan Ibu. Aku lupa bahwa harga diri Ibu begitu tinggi, terlalu tinggi. Aku justru memprediksikan gugatan Ibu terhadap Tetty, calon istriku yang berasal tanah Batak. Ternyata...
"Ma... maafkan Djoko, Bu."
Namun Ibu sudah berlalu, ada isak halus tertahan berlalu bersamanya...
************
Tiga hari kami saling berdiam, tak bertegur sapa. Dari luar semua tampak normal. Sarapan rutin disiapkan Mbok Minah atas instruksi Ibu, juga baju hem, sepatu kerja, teh sore, maupun makan malam. Ibu seperti bersengaja menghindar dariku. Lama-kelamaan pening juga kepalaku menyaksikan adegan sama dari hari ke hari.
"Bu..."
Tak ada sahutan.
"Bu. Ibu masih marah sama Djoko ya?"
Ibu yang tengah menjahit hanya sejenak menghentikan kegiatannya menisik baju daster batiknya, memperbaiki letak kacamatanya, lalu mulai menjahit lagi.
"Bu, maaf. Djoko langsung saja. Seperti yang Djoko tulis di surat kemarin..."
"Ya?"
Nada suara Ibu sinis, wajahnya mulai meradang.
"Djoko sudah mantap dengan Tetty, Bu. Tolong berikan restu buat kami berdua."
"Kamu..."
Rasanya aku harus lebih nekat...
"Aku sudah datang menghadap orang tuanya, bilang ingin melamar anaknya. Mereka sangat welcome kok..."
Salah langkah lagi.
"Kamu itu! Melamar anak orang kok ndak omong-omong dulu dengan Ibu dan Pakde-pakdemu tho Le? Lagi pula Tetty itu siapa? Bagaimana bobot, bibit, dan bebetnya? Apa sesuai dengan darah birumu Le? Keturunan bangsawan mana dia?"
Selama beberapa lama aku diceramahi panjang lebar tentang pentingnya mencari calon pasangan yang setara dengan derajatku. Bosan, karena sudah sedari kecil itu-itu saja yang ditekankan oleh Ibu terhadap kami, aku dan mbakyu-mbakyuku.
Entah mengapa, aku merasa ada gap antara nilai-nilai yang menjadi titik fokus Ibu dengan realita hidup yang memutari kehidupanku. Kami hidup di kota besar, megapolitan, di mana semua suku bersua dan bergaul. Bahkan ada teman-teman kantorku yang berasal dari negara lain. Dunia jadi mengkerut. Dari pergaulan itu kami saling beradaptasi, sehingga nilai-nilai baik-buruk tidak lagi bisa dikotak-kotakkan hanya dalam kerangka etnis tertentu. Ketika kukecil, teman mainku begitu beragam, mulai dari anak kampung tetangga yang penuh ingus berleleran dengan pakaian dekil dan lubang di sana-sini, hingga kuliah dan dewasa saat aku akrab dengan Ucok, Bernardus, maupun David, bosku yang orang Perancis. Aku tak lagi merasa ada kendala dan benturan budaya saat berdiskusi atau berteman dengan orang-orang ini. Tidak demikian dengan Ibu.
"Mm, Tetty itu orang Batak, Bu. Marganya Daulay."
"Apa?! Le, le, kenapa sih kamu harus memilih orang Batak? Seperti ndak ada putri ayu saja dari tanah Jawa ini?"
"Yah, Djoko mana tahu. Wong jatuh cintanya diatur Tuhan nyungsep ke dia? Kan bukan Djoko yang ngatur Bu? Bukannya jodoh di tangan Tuhan?"
"Kamu kok ngomong asal saja tho. Ibu tahu kamu ndak pernah serius kalau dulu ditawari untuk ketemu Ajeng, Retno, atau Saras yang ayu-ayu itu tho?"
Jauh di lubuk hatiku, aku membenarkan 'tuduhan' Ibu. Rasanya kurang menantang jika tidak berusaha menemukan sendiri pelabuhan hati. Disodor-sodori begitu rasanya bukan jamannya lagi; kan ini bukan masanya Siti Nurbaya.
"Lantas bagaimana? Djoko sudah terlanjur bertemu orang tuanya Tetty."
"Ya biar saja tho. Mereka tho nanti akan sampai pada kesimpulan bahwa kamu ndak serius dengan anaknya."
"Ibu! Apa itu tidak mencoreng muka keluarga kita? Nanti jangan-jangan kita dianggap priyayi tak tahu sopan-santun."
"Lha itu kan salahmu sendiri tho..."
Setelah bersitegang beberapa waktu, Ibu dengan berat hati menyerah dengan keputusanku. Mulailah diatur pihak keluarga besar Singodimedjo yang akan diundang untuk ikut dalam rombongan ke rumah Tetty. Meski pening kembali meraja karena cukup banyak pakde dan bude yang diajak -- sekitar 20 orang! -- aku menyerah dengan tersenyum. Paling tidak, aku menang!
******************
Dua tahun berlalu...
Baru saja aku akan melangkah memasuki ruang makan ketika kutangkap ada nada pertengkaran di sana. Suara dua orang perempuan... Lagi-lagi, desahku. Entah sudah ke sekian kali...
"Tet, coba ditimbang-timbang lagi keputusanmu itu. Apa ndak terlalu cepat?"
Suara desah, Tetty.
"Ya... tidak bisa begitu, Bu. Itu sudah aturan perusahaan. Apalagi saya punya posisi penting di kantor. Bisa-bisa saya dicap memberi contoh buruk pada bawahan saya."
"Hhh, Ibu curiga. Kamunya yang tidak bisa atau tidak mau sih?"
Sempat kutangkap wajah merajuk Tetty diceramahi Ibu panjang-lebar sebelum ia meninggalkan ruang makan.
Kehadiranku langsung disambut Ibu dengan pidatonya lagi, kali ini terhadapku.
"Le, tolong kamu beritahu Tetty. Mosok bayi baru 3 bulan sudah ditinggal kerja lagi?"
"Lho, memangnya kenapa Bu? Itu kan biasa? Lumrah di mana-mana Bu."
"Walah Le, le. Buat Ibu itu ndak bisa begitu. Pantasnya itu dia berhenti kerja dulu. Nanti kalau anakmu sudah lebih besar, sudah sekolah, baru dia berpikir lagi untuk kerja."
"Bisa ngamuk-ngamuk dia, Bu. Kasihan kan, mumpung masih muda, punya karir di kantor. Sayang lho Bu, karirnya bagus. Malah gajinya lebih besar dari Djoko."
"Nah itulah masalahnya Le. Perempuan itu mbok ya jangan kebablasan. Di rumah sak enake dewe titip anak ke baby sitter, sedang dianya asyik kerja ndak kenal waktu."
"Ibu, kok ngomongnya begitu sih? Tetty ikut banting tulang cari uang bantu Djoko lho Bu?"
"Lha apa kerja musti ngoyo begitu tho Le? Rasanya ndak. Kan bisa tunggu waktu yang pas ngono tho Le. Lagi pula kapan waktunya untuk ngurusi kamu, anakmu, kapan? Kapan dia sempat masak?"
"Djoko sih ngga' keberatan Bu, kalau itu membuat dia bahagia, senang, apa harus Djoko larang. Ngga' dong."
"Ealah, bagaimana kamu ini? Suami yang baik ya ngingeti istrinya supaya jangan ngawur begitu."
"Ah, sudahlah Bu. Djoko ngantuk."
Begitulah, setiap hari ada saja bahan debat kusir kami berdua, Ibu dan aku. Dulu waktu mbakyu-mbakyu masih ada, lumayan aku punya sparring-partner untuk 'mengeroyok' opini Ibu yang sangat konsenrvatif itu. Tapi setelah mereka berdua diboyong suami masing-masing untuk tinggal di Sidney dan Toronto, tinggal aku sendiri yang senewen dicecar keluhan dan teguran Ibu. Pusing aku.
Sepertinya makin tak terhindarkan konflik dengan Ibu, apalagi Tetty tipe orang yang blak-blakan mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sikap Ibu yang suka mengatur dan mencampuri urusan dalam negeri kami. Aku sendiri juga merasa tidak nyaman, seperti terjepit di tengah-tengah, sementara sesungguhnya aku pro-Tetty. Akhirnya...
"Bu, ng... bulan depan kami akan pindah ke apartemen di daerah Kuningan."
Ibu kontan menghentikan jahitannya. Membetulkan letak kacamatanya.
"Opo Ibu ndak salah dengar Le? Mau apa kamu pindah ke sana? Buang-buang uang saja."
"Kan kami lebih dekat ke kantor, cuma sekitar 10 menitan dari situ. Yah, mudah-mudahan Tetty bisa lebih sorean sampai di rumah."
Ibu hanya diam, mencerna.
"Kamu... kamu serius mau pindah? Kamu tega meninggalkan Ibu berdua saja dengan Mbok Minah?"
"Ya, serius dong Bu. Ini bukan soal tega apa ngga', cuma biar kami lebih mandiri saja. Kami janji akan menjenguk Ibu tiap bulan deh..."
Mendesah. Ibu beringsut pergi seraya membawa pernik-pernik jahitannya.
"Yah, terserah kamu Le."
********************
Dua bulan kami pindah, Mbok Minah mengabarkan Ibu sakit dan jatuh pingsan di kamar mandi. Dokter Ridwan di rumah sakit itu menjelaskan, kadar gula darah ibu melonjak ditambah osteoporosisnya yang sudah parah. Ada kemungkinan Ibu akan lumpuh dan harus hidup di atas kursi roda.
Mbok Minah yang membukakan pintu depan, tiba-tiba saja menangis tersedu-sedu.
"Oalah kasihan nasib Ndoro Sepuh, Den. Kemarin ndak papa kok. Cuma memang murung terus 3 hari belakangan ini, mungkin memikirkan Den Djoko ndak jadi datang hari Minggu itu."
"Kan Djoko sudah matur Ibu ada acara family-gathering kantor Mbok? Mosok masih sedih?"
"Ya, Mbok mana tahu Den. Ibu langsung diam saja habis terima telponnya Den Djoko waktu itu. Kayaknya nelongso sekali."
Aku cuma bisa diam. Langsung kubergegas menuju kamar Ibu. Bersih dan rapi seperti biasanya, sejak dulu. Terpaksa aku harus membongkar lemari Ibu untuk membawakan baju gantinya karena Mbok Minah tidak sempat mengurusinya karena tergesa-gesa.
Pluk! Ada sebuah buku tulis tebal dengan tulisan miring khas Ibu terselip di tengah-tengah lipatan pakaian Ibu. Apa ini? Ibu punya buku harian? Sejak kapan? Selama ini aku tak tahu Ibu punya buku harian. Apakah... apakah sejak ia terlampau sering berbenturan denganku?
Berdegup, kubuka lembaran-lembaran buku itu, hati-hati. Ada rasa ingin tahu memerangkapku.
Di empat lembar terakhir...
November 2000
Ada surat tergeletak di atas bantal. Dari Djoko! Aku sedih membaca suratnya. Bukan, bukan aku tak setuju dengan niatnya untuk menikah. Dia toh sudah cukup umur. Aku sedih karena dia tak mau menyempatkan bicara langsung padaku, ibunya sendiri. Mungkin susah baginya?
Aku sebenarnya bangga padanya. Dia anak laki-lakiku satu-satunya. Bandel sekali memang, dan dibandingkan dengan mbak-mbaknya, dia paling sering melawan dan membangkang. Entah sudah puluhan kali kami dipanggil ke sekolah, tapi rasa malu dan marah itu langsung hilang disapu permintaan maafnya yang begitu trenyuh. Djoko, Djoko...
Maret 2001
Resepsi pernikahan Djoko dan Tetty. Bagaimana pun, meski jauh di lubuk hatiku aku masih belum sreg betul dengan Tetty, toh aku mesti merestuinya. Anak Batak, entah dari trah yang bagaimana, jauh bila dibandingkan dengan Bambang dan Gatot, mantu-mantuku yang halus tutur bahasanya. Mana bisa dia bicara Kromo Inggil? Yah, sudahlah. Yang penting Djoko bahagia dengan pilihannya; bagiku, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Aku yakin, romonya juga senang menyaksikan cah lanangnya dari sana...
Maret 2002
Aku kok tambah ndak senang dengan kelakuan Tetty. Pulang larut malam, seenaknya saja menyerahkan Bobby pada baby-sitternya. Padahal itu anak lucu sekali dan menggemaskan. Persis Djoko dulu. Pipinya gembil dan suaranya cadel berteriak-teriak renyah. Ah, aku jadi sedih mengingat semua ini. Kalau saja Romo masih ada, aku tentu ndak kesepian. Biar pun masih ada Djoko sekeluarga, aku merasa terasing. Sendiri. Pulang kerja, mereka berdua langsung masuk kamar. Tutup pintu. Padahal aku punya banyak cerita untuk mereka, atau... mereka tak punya persediaan cerita untukku? Atau mungkin juga mereka tak punya persediaan telinga untuk mendengar ceritaku?
Kadangkala, ketika anak-anakku memutuskan menikah, ada ketakutan tersembunyi di hatiku. Satu persatu anak yang kulahirkan dengan susah payah akan pergi, meninggalkanku tetap di sini. Di rumah tua ini. Hati, waktu, dan kesibukannya berpindah pada suami dan anak-anaknya, juga karir dan masa depannya. Yah, apalah aku ini. Hanya ibunya, hanya masa lalu mereka...
Aku berhenti di situ, menangis diam-diam. Ternyata begitu dalam luka hati Ibu. Tanpa kusadari aku mengikuti jejak mbakyu-mbakyuku, perlahan tapi pasti tak lagi menyempatkan untuk mengecek Ibu, bahkan sekedar 'say hello' juga rasanya sulit sekali. Apakah kehidupan kota besar begitu memenjarakan kami dalam kesibukan tak kenal putus?
Agustus 2002
Djoko pindah! Oalah Gusti, rasanya sebagian jiwaku ikut terbang bersama kepergian mereka. Aku menangis, diam-diam. Sedih karena Djoko pura-pura tuli dengan keinginanku untuk selalu bersamanya. Sepertinya aku akan benar-benar kesepian kali ini. Anak-anakku satu persatu meninggalkanku...
Aku memang keras pada Tetty, pada semua anak-anakku, kaukui itu. Semua itu kulakukan demi kebaikan mereka. Agar ketika mereka beranjak dewasa, mereka siap. Tapi ternyata aku yang tidak siap dengan kemandirian mereka, kemodernan mereka. Rasanya aku jauh di belakang, kini mereka membelakangiku. Sepertinya aku hanya mengusik kemapanan mereka. Aku, ibunya, cuma jadi pengganggu saja? Entahlah, tapi kelihatannya itu yang terpancar dari air muka anak-anakku.
Ibu, Ibu! Aku sudah tak kuat lagi menahan isak. Diam-diam, hati Ibu terluka begitu lebar dengan keputusan kami untuk pindah rumah. Padahal dulu saat aku kecil, entah berapa kali aku menimbulkan masalah di sekolah, entah itu berkelahi, memalsu tanda tangan, coba-coba mencuri, tapi Ibu dan Romo selalu memaafkanku. Membelai rambutku dengan kasih, menegurku perlahan agar tak mengulangi perbuatan itu. Meski sifat Ibu keras dan sulit kompromi, sesungguhnya beliau sangat memperhatikan anak-anaknya. Ibu, Ibu!
Oktober 2002
Benar apa firasatku, Djoko batal datang. Berarti dua bulan berlalu begitu saja, kosong. Sakit kepalaku kumat lagi. Rasanya hanya Djoko, Djoko, dan Djoko saja yang bergema di pikiranku, dan aku menjadi sedih mendengar kata-katanya yang ringan saja membatalkan kedatangannya. Mungkin untuknya, kantor dan karirnya terlalu penting buat hidup dan matinya, dan aku bukan siapa-siapa lagi baginya.
A TIME IS NOW...
If you have tender thoughts of me
please tell me now
if you wait until i'm sleeping
never will be death between us
and I won't hear you then
So if you love me, even a little bit
let me know while i am living
so that I can treasure it...
Aku tak tahan membaca tulisan sisanya. Aku, Djoko si anak kesayangan, si anak emas, telah berhasil mencampakkan Ibu dan hatinya ke liang yang paling gulita. Apakah aku jadi anak durhaka? Tuhan, beri aku kesempatan, sekali ini saja, untuk membahagiakan Ibu, melipur lara dan kesedihannya.
Detik itu juga, aku serasa ingin terbang dan sekejap tiba di rumah sakit, bersimpuh, memeluk Ibu, memohon maafnya...
Cimanggis, 29 Agustus 2003
Dua Ibuku tercinta, kiranya Allah memberkahi sisa usiamu, khusnul khatimah, insya Allah!
Jadi ingat mata ini berkaca-kaca saat mengucap met ultah tuk ibu mertuaku & ketika tadi sempat berbincang dengan bundaku. Subhanallah, aku dikelilingi dua wanita hebat lagi tangguh!
------------------------------------------------------------------------------------
Setengah berjingkat, aku mengintip melalui lubang kunci. Hm, tampaknya aman. Tergesa kuletakkan surat yang sudah kusiapkan sejak semalam di atas bantal Ibu. Sejenak ada ragu, apakah pantas kulakukan ini, tapi cepat kuenyahkan bimbang itu. Sudahlah...
"Djoko!"
"Ya, Bu?"
"Kamu tidak sarapan dulu?"
"Nanti sajalah di kantor. Ada pekerjaan penting pagi ini."
Raut keriput wajah ibuku muncul di balik pintu, sesaat setelah aku hendak menuju mobil.
"Terserah kamulah..."
Pamit, aku langsung tancap gas. Bukan apa-apa, rasa bersalah itu justru makin kuat; aku ingin menghindari konflik dengan Ibu pagi ini. Tapi... bagaimana dengan sore nanti?
***********
Baru kakiku melangkah masuk melewati pintu garasi...
"Djok, Ibu ingin bicara."
Dengan agak memberengut, kuhempaskan pantatku ke kursi makan terdekat.
"Aduh Ibu, apa ngga' bisa ditunda sebentar? Capek nih..."
Ibu seolah tuli. Langsung saja beliau duduk di hadapanku seraya mengacungkan sepucuk amplop. Ah, suratku. Kelihatan ini hari penentuanku, persidanganku.
"Ini apa? Maksudmu apa?"
Nada suaranya meninggi, tersinggung.
"Ya surat tho Bu."
"Kamu itu diajak bicara baik-baik malah seperti itu. Anak muda jaman sekarang kok yo ngono..."
"Kamu itu... kamu itu ndak serius tho dengan isi surat ini?"
"Lha ya serius tho Bu? Ngga' serius gimana?"
"Ibu kok ndak suka caramu ini. Apa ndak sempat kamu bicara langsung sama Ibumu ini? Kamu anggep apa Ibumu ini Le? Jangan-jangan kalau Romomu masih ada, Romo juga ndak dianggep..."
Kaget aku menyimak tanggapan Ibu. Aku lupa bahwa harga diri Ibu begitu tinggi, terlalu tinggi. Aku justru memprediksikan gugatan Ibu terhadap Tetty, calon istriku yang berasal tanah Batak. Ternyata...
"Ma... maafkan Djoko, Bu."
Namun Ibu sudah berlalu, ada isak halus tertahan berlalu bersamanya...
************
Tiga hari kami saling berdiam, tak bertegur sapa. Dari luar semua tampak normal. Sarapan rutin disiapkan Mbok Minah atas instruksi Ibu, juga baju hem, sepatu kerja, teh sore, maupun makan malam. Ibu seperti bersengaja menghindar dariku. Lama-kelamaan pening juga kepalaku menyaksikan adegan sama dari hari ke hari.
"Bu..."
Tak ada sahutan.
"Bu. Ibu masih marah sama Djoko ya?"
Ibu yang tengah menjahit hanya sejenak menghentikan kegiatannya menisik baju daster batiknya, memperbaiki letak kacamatanya, lalu mulai menjahit lagi.
"Bu, maaf. Djoko langsung saja. Seperti yang Djoko tulis di surat kemarin..."
"Ya?"
Nada suara Ibu sinis, wajahnya mulai meradang.
"Djoko sudah mantap dengan Tetty, Bu. Tolong berikan restu buat kami berdua."
"Kamu..."
Rasanya aku harus lebih nekat...
"Aku sudah datang menghadap orang tuanya, bilang ingin melamar anaknya. Mereka sangat welcome kok..."
Salah langkah lagi.
"Kamu itu! Melamar anak orang kok ndak omong-omong dulu dengan Ibu dan Pakde-pakdemu tho Le? Lagi pula Tetty itu siapa? Bagaimana bobot, bibit, dan bebetnya? Apa sesuai dengan darah birumu Le? Keturunan bangsawan mana dia?"
Selama beberapa lama aku diceramahi panjang lebar tentang pentingnya mencari calon pasangan yang setara dengan derajatku. Bosan, karena sudah sedari kecil itu-itu saja yang ditekankan oleh Ibu terhadap kami, aku dan mbakyu-mbakyuku.
Entah mengapa, aku merasa ada gap antara nilai-nilai yang menjadi titik fokus Ibu dengan realita hidup yang memutari kehidupanku. Kami hidup di kota besar, megapolitan, di mana semua suku bersua dan bergaul. Bahkan ada teman-teman kantorku yang berasal dari negara lain. Dunia jadi mengkerut. Dari pergaulan itu kami saling beradaptasi, sehingga nilai-nilai baik-buruk tidak lagi bisa dikotak-kotakkan hanya dalam kerangka etnis tertentu. Ketika kukecil, teman mainku begitu beragam, mulai dari anak kampung tetangga yang penuh ingus berleleran dengan pakaian dekil dan lubang di sana-sini, hingga kuliah dan dewasa saat aku akrab dengan Ucok, Bernardus, maupun David, bosku yang orang Perancis. Aku tak lagi merasa ada kendala dan benturan budaya saat berdiskusi atau berteman dengan orang-orang ini. Tidak demikian dengan Ibu.
"Mm, Tetty itu orang Batak, Bu. Marganya Daulay."
"Apa?! Le, le, kenapa sih kamu harus memilih orang Batak? Seperti ndak ada putri ayu saja dari tanah Jawa ini?"
"Yah, Djoko mana tahu. Wong jatuh cintanya diatur Tuhan nyungsep ke dia? Kan bukan Djoko yang ngatur Bu? Bukannya jodoh di tangan Tuhan?"
"Kamu kok ngomong asal saja tho. Ibu tahu kamu ndak pernah serius kalau dulu ditawari untuk ketemu Ajeng, Retno, atau Saras yang ayu-ayu itu tho?"
Jauh di lubuk hatiku, aku membenarkan 'tuduhan' Ibu. Rasanya kurang menantang jika tidak berusaha menemukan sendiri pelabuhan hati. Disodor-sodori begitu rasanya bukan jamannya lagi; kan ini bukan masanya Siti Nurbaya.
"Lantas bagaimana? Djoko sudah terlanjur bertemu orang tuanya Tetty."
"Ya biar saja tho. Mereka tho nanti akan sampai pada kesimpulan bahwa kamu ndak serius dengan anaknya."
"Ibu! Apa itu tidak mencoreng muka keluarga kita? Nanti jangan-jangan kita dianggap priyayi tak tahu sopan-santun."
"Lha itu kan salahmu sendiri tho..."
Setelah bersitegang beberapa waktu, Ibu dengan berat hati menyerah dengan keputusanku. Mulailah diatur pihak keluarga besar Singodimedjo yang akan diundang untuk ikut dalam rombongan ke rumah Tetty. Meski pening kembali meraja karena cukup banyak pakde dan bude yang diajak -- sekitar 20 orang! -- aku menyerah dengan tersenyum. Paling tidak, aku menang!
******************
Dua tahun berlalu...
Baru saja aku akan melangkah memasuki ruang makan ketika kutangkap ada nada pertengkaran di sana. Suara dua orang perempuan... Lagi-lagi, desahku. Entah sudah ke sekian kali...
"Tet, coba ditimbang-timbang lagi keputusanmu itu. Apa ndak terlalu cepat?"
Suara desah, Tetty.
"Ya... tidak bisa begitu, Bu. Itu sudah aturan perusahaan. Apalagi saya punya posisi penting di kantor. Bisa-bisa saya dicap memberi contoh buruk pada bawahan saya."
"Hhh, Ibu curiga. Kamunya yang tidak bisa atau tidak mau sih?"
Sempat kutangkap wajah merajuk Tetty diceramahi Ibu panjang-lebar sebelum ia meninggalkan ruang makan.
Kehadiranku langsung disambut Ibu dengan pidatonya lagi, kali ini terhadapku.
"Le, tolong kamu beritahu Tetty. Mosok bayi baru 3 bulan sudah ditinggal kerja lagi?"
"Lho, memangnya kenapa Bu? Itu kan biasa? Lumrah di mana-mana Bu."
"Walah Le, le. Buat Ibu itu ndak bisa begitu. Pantasnya itu dia berhenti kerja dulu. Nanti kalau anakmu sudah lebih besar, sudah sekolah, baru dia berpikir lagi untuk kerja."
"Bisa ngamuk-ngamuk dia, Bu. Kasihan kan, mumpung masih muda, punya karir di kantor. Sayang lho Bu, karirnya bagus. Malah gajinya lebih besar dari Djoko."
"Nah itulah masalahnya Le. Perempuan itu mbok ya jangan kebablasan. Di rumah sak enake dewe titip anak ke baby sitter, sedang dianya asyik kerja ndak kenal waktu."
"Ibu, kok ngomongnya begitu sih? Tetty ikut banting tulang cari uang bantu Djoko lho Bu?"
"Lha apa kerja musti ngoyo begitu tho Le? Rasanya ndak. Kan bisa tunggu waktu yang pas ngono tho Le. Lagi pula kapan waktunya untuk ngurusi kamu, anakmu, kapan? Kapan dia sempat masak?"
"Djoko sih ngga' keberatan Bu, kalau itu membuat dia bahagia, senang, apa harus Djoko larang. Ngga' dong."
"Ealah, bagaimana kamu ini? Suami yang baik ya ngingeti istrinya supaya jangan ngawur begitu."
"Ah, sudahlah Bu. Djoko ngantuk."
Begitulah, setiap hari ada saja bahan debat kusir kami berdua, Ibu dan aku. Dulu waktu mbakyu-mbakyu masih ada, lumayan aku punya sparring-partner untuk 'mengeroyok' opini Ibu yang sangat konsenrvatif itu. Tapi setelah mereka berdua diboyong suami masing-masing untuk tinggal di Sidney dan Toronto, tinggal aku sendiri yang senewen dicecar keluhan dan teguran Ibu. Pusing aku.
Sepertinya makin tak terhindarkan konflik dengan Ibu, apalagi Tetty tipe orang yang blak-blakan mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap sikap Ibu yang suka mengatur dan mencampuri urusan dalam negeri kami. Aku sendiri juga merasa tidak nyaman, seperti terjepit di tengah-tengah, sementara sesungguhnya aku pro-Tetty. Akhirnya...
"Bu, ng... bulan depan kami akan pindah ke apartemen di daerah Kuningan."
Ibu kontan menghentikan jahitannya. Membetulkan letak kacamatanya.
"Opo Ibu ndak salah dengar Le? Mau apa kamu pindah ke sana? Buang-buang uang saja."
"Kan kami lebih dekat ke kantor, cuma sekitar 10 menitan dari situ. Yah, mudah-mudahan Tetty bisa lebih sorean sampai di rumah."
Ibu hanya diam, mencerna.
"Kamu... kamu serius mau pindah? Kamu tega meninggalkan Ibu berdua saja dengan Mbok Minah?"
"Ya, serius dong Bu. Ini bukan soal tega apa ngga', cuma biar kami lebih mandiri saja. Kami janji akan menjenguk Ibu tiap bulan deh..."
Mendesah. Ibu beringsut pergi seraya membawa pernik-pernik jahitannya.
"Yah, terserah kamu Le."
********************
Dua bulan kami pindah, Mbok Minah mengabarkan Ibu sakit dan jatuh pingsan di kamar mandi. Dokter Ridwan di rumah sakit itu menjelaskan, kadar gula darah ibu melonjak ditambah osteoporosisnya yang sudah parah. Ada kemungkinan Ibu akan lumpuh dan harus hidup di atas kursi roda.
Mbok Minah yang membukakan pintu depan, tiba-tiba saja menangis tersedu-sedu.
"Oalah kasihan nasib Ndoro Sepuh, Den. Kemarin ndak papa kok. Cuma memang murung terus 3 hari belakangan ini, mungkin memikirkan Den Djoko ndak jadi datang hari Minggu itu."
"Kan Djoko sudah matur Ibu ada acara family-gathering kantor Mbok? Mosok masih sedih?"
"Ya, Mbok mana tahu Den. Ibu langsung diam saja habis terima telponnya Den Djoko waktu itu. Kayaknya nelongso sekali."
Aku cuma bisa diam. Langsung kubergegas menuju kamar Ibu. Bersih dan rapi seperti biasanya, sejak dulu. Terpaksa aku harus membongkar lemari Ibu untuk membawakan baju gantinya karena Mbok Minah tidak sempat mengurusinya karena tergesa-gesa.
Pluk! Ada sebuah buku tulis tebal dengan tulisan miring khas Ibu terselip di tengah-tengah lipatan pakaian Ibu. Apa ini? Ibu punya buku harian? Sejak kapan? Selama ini aku tak tahu Ibu punya buku harian. Apakah... apakah sejak ia terlampau sering berbenturan denganku?
Berdegup, kubuka lembaran-lembaran buku itu, hati-hati. Ada rasa ingin tahu memerangkapku.
Di empat lembar terakhir...
November 2000
Ada surat tergeletak di atas bantal. Dari Djoko! Aku sedih membaca suratnya. Bukan, bukan aku tak setuju dengan niatnya untuk menikah. Dia toh sudah cukup umur. Aku sedih karena dia tak mau menyempatkan bicara langsung padaku, ibunya sendiri. Mungkin susah baginya?
Aku sebenarnya bangga padanya. Dia anak laki-lakiku satu-satunya. Bandel sekali memang, dan dibandingkan dengan mbak-mbaknya, dia paling sering melawan dan membangkang. Entah sudah puluhan kali kami dipanggil ke sekolah, tapi rasa malu dan marah itu langsung hilang disapu permintaan maafnya yang begitu trenyuh. Djoko, Djoko...
Maret 2001
Resepsi pernikahan Djoko dan Tetty. Bagaimana pun, meski jauh di lubuk hatiku aku masih belum sreg betul dengan Tetty, toh aku mesti merestuinya. Anak Batak, entah dari trah yang bagaimana, jauh bila dibandingkan dengan Bambang dan Gatot, mantu-mantuku yang halus tutur bahasanya. Mana bisa dia bicara Kromo Inggil? Yah, sudahlah. Yang penting Djoko bahagia dengan pilihannya; bagiku, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku juga. Aku yakin, romonya juga senang menyaksikan cah lanangnya dari sana...
Maret 2002
Aku kok tambah ndak senang dengan kelakuan Tetty. Pulang larut malam, seenaknya saja menyerahkan Bobby pada baby-sitternya. Padahal itu anak lucu sekali dan menggemaskan. Persis Djoko dulu. Pipinya gembil dan suaranya cadel berteriak-teriak renyah. Ah, aku jadi sedih mengingat semua ini. Kalau saja Romo masih ada, aku tentu ndak kesepian. Biar pun masih ada Djoko sekeluarga, aku merasa terasing. Sendiri. Pulang kerja, mereka berdua langsung masuk kamar. Tutup pintu. Padahal aku punya banyak cerita untuk mereka, atau... mereka tak punya persediaan cerita untukku? Atau mungkin juga mereka tak punya persediaan telinga untuk mendengar ceritaku?
Kadangkala, ketika anak-anakku memutuskan menikah, ada ketakutan tersembunyi di hatiku. Satu persatu anak yang kulahirkan dengan susah payah akan pergi, meninggalkanku tetap di sini. Di rumah tua ini. Hati, waktu, dan kesibukannya berpindah pada suami dan anak-anaknya, juga karir dan masa depannya. Yah, apalah aku ini. Hanya ibunya, hanya masa lalu mereka...
Aku berhenti di situ, menangis diam-diam. Ternyata begitu dalam luka hati Ibu. Tanpa kusadari aku mengikuti jejak mbakyu-mbakyuku, perlahan tapi pasti tak lagi menyempatkan untuk mengecek Ibu, bahkan sekedar 'say hello' juga rasanya sulit sekali. Apakah kehidupan kota besar begitu memenjarakan kami dalam kesibukan tak kenal putus?
Agustus 2002
Djoko pindah! Oalah Gusti, rasanya sebagian jiwaku ikut terbang bersama kepergian mereka. Aku menangis, diam-diam. Sedih karena Djoko pura-pura tuli dengan keinginanku untuk selalu bersamanya. Sepertinya aku akan benar-benar kesepian kali ini. Anak-anakku satu persatu meninggalkanku...
Aku memang keras pada Tetty, pada semua anak-anakku, kaukui itu. Semua itu kulakukan demi kebaikan mereka. Agar ketika mereka beranjak dewasa, mereka siap. Tapi ternyata aku yang tidak siap dengan kemandirian mereka, kemodernan mereka. Rasanya aku jauh di belakang, kini mereka membelakangiku. Sepertinya aku hanya mengusik kemapanan mereka. Aku, ibunya, cuma jadi pengganggu saja? Entahlah, tapi kelihatannya itu yang terpancar dari air muka anak-anakku.
Ibu, Ibu! Aku sudah tak kuat lagi menahan isak. Diam-diam, hati Ibu terluka begitu lebar dengan keputusan kami untuk pindah rumah. Padahal dulu saat aku kecil, entah berapa kali aku menimbulkan masalah di sekolah, entah itu berkelahi, memalsu tanda tangan, coba-coba mencuri, tapi Ibu dan Romo selalu memaafkanku. Membelai rambutku dengan kasih, menegurku perlahan agar tak mengulangi perbuatan itu. Meski sifat Ibu keras dan sulit kompromi, sesungguhnya beliau sangat memperhatikan anak-anaknya. Ibu, Ibu!
Oktober 2002
Benar apa firasatku, Djoko batal datang. Berarti dua bulan berlalu begitu saja, kosong. Sakit kepalaku kumat lagi. Rasanya hanya Djoko, Djoko, dan Djoko saja yang bergema di pikiranku, dan aku menjadi sedih mendengar kata-katanya yang ringan saja membatalkan kedatangannya. Mungkin untuknya, kantor dan karirnya terlalu penting buat hidup dan matinya, dan aku bukan siapa-siapa lagi baginya.
A TIME IS NOW...
If you have tender thoughts of me
please tell me now
if you wait until i'm sleeping
never will be death between us
and I won't hear you then
So if you love me, even a little bit
let me know while i am living
so that I can treasure it...
Aku tak tahan membaca tulisan sisanya. Aku, Djoko si anak kesayangan, si anak emas, telah berhasil mencampakkan Ibu dan hatinya ke liang yang paling gulita. Apakah aku jadi anak durhaka? Tuhan, beri aku kesempatan, sekali ini saja, untuk membahagiakan Ibu, melipur lara dan kesedihannya.
Detik itu juga, aku serasa ingin terbang dan sekejap tiba di rumah sakit, bersimpuh, memeluk Ibu, memohon maafnya...
Cimanggis, 29 Agustus 2003
Tuesday, December 16, 2008
BERHENTILAH JADI GELAS!
sumber: motivasi_net
Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya
belakangan ini selalu tampak murung.
"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.
"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk
tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang
murid muda.
Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana
yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata
Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air
asin.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.
"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih
meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.
"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat
tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir
danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan
membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, "Bagaimana rasanya?"
"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.
"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"
"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah
dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan masalah."
Si murid terdiam, mendengarkan.
"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya
tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu
jadi sebesar danau." (From : Suluk - Blogsome)
Seorang guru sufi mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya
belakangan ini selalu tampak murung.
"Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di
dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu?" sang Guru bertanya.
"Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk
tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya," jawab sang
murid muda.
Sang Guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam.
Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu."
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana
yang diminta.
"Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu," kata
Sang Guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit."
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air
asin.
"Bagaimana rasanya?" tanya Sang Guru.
"Asin, dan perutku jadi mual," jawab si murid dengan wajah yang masih
meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis
keasinan.
"Sekarang kau ikut aku." Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat
tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau."
Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa
bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa
asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah
di hadapan mursyid, begitu pikirnya.
"Sekarang, coba kau minum air danau itu," kata Sang Guru sambil
mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir
danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan
membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin
dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya
kepadanya, "Bagaimana rasanya?"
"Segar, segar sekali," kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber
air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah.
Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang
tersisa di mulutnya.
"Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?"
"Tidak sama sekali," kata si murid sambil mengambil air dan
meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya,
membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
"Nak," kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah
dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih.
Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus
kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai
untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang
dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun
demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang
bebas dari penderitaan dan masalah."
Si murid terdiam, mendengarkan.
"Tapi Nak, rasa `asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat
tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi Nak, supaya
tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu
jadi sebesar danau." (From : Suluk - Blogsome)
Friday, December 12, 2008
MELACAK TELUR SI BURIK (PART 2)
“Pak, Bapak…”
Koran yang menutupi wajah Bapak perlahan turun. Bapak yang tengah bersantai di teras sambil minum teh, tersenyum manis pada Nana. Dari nadanya, Bapak bisa menebak kalau Nana sedang ada maunya.
“Ada apa, Nak?”
“Ibu sudah cerita belum?”
“Cerita apa ya?”
Nana merajuk, mukanya setengah ditekuk. “Ah, Bapak nih. Pura-pura aja. Itu… soal telur Burik yang hilang. Semuanya, Pak!” Air mata Nana mulai mengambang di sudut matanya.
“O ya? Kapan itu?”
“Tadi pagi Nana baru lihat, tapi mungkin sudah sejak kemarin-kemarin.”
“Hm… hm…,” Bapak tampak berfikir keras, keningnya berkerut-kerut naik turun.
“Nana ingat kapan si Burik bertelur?”
“Ya ingat sekali dong Pak. Tiga minggu lalu, soalnya Nana ingat waktu lihat telur itu pertama kali, Nana senaaang sekali,” Nana menjawab seraya tersenyum dikulum. Bagaimana tidak, saking serunya ia melompat-lompat sampai tidak sadar menabrak sepeda Mas Andika hingga terguling dan ia pun terjatuh di atas sepeda itu!
“Benar tiga minggu lalu? Kamu engga salah hitung kan?”
“Ye Bapak, tentu aja engga salah. Kan habis itu Nana dan Mas Andika terima rapor, trus kita liburan dua minggu ke rumah Mbah Puteri di Magelang?”
Bapak manggut-manggut. Harus diakui bahwa ingatan Nana sangat kuat.
“Nah, lalu waktu kita sudah pulang ke sini, kamu sempat lihat lagi telur si Burik?”
Sekarang giliran muka Nana yang ditekuk.
“Ng… lagi engga sempat Pak. Pas banyak pe-er dan ada tugas kliping pelajaran Sains.”
Tiba-tiba bapak menepuk jidatnya yang lebar itu. Tawanya membahana, sungguh geli melihatnya. Nana cuma bisa terheran-heran. Idih, Bapak kenapa ya? Salah makan?
“Pak… Pak… inget Pak. Bapak baik-baik saja?” Nana bertanya dengan nada cemas.
“Hahahaha. Nana… Nana… Hahahahaha…”, perut gendut Bapak ikut terguncang-guncang mengikuti gelak tawanya itu. Nana tambah tidak mengerti. Kenapa sih Bapak? Digoyang-goyangnya lengan Bapak. Kira-kira perlu waktu dua menit sampai Bapak dapat menghentikan tawanya. Dahsyat, Bapak tertawa hingga menangis, tuh air matanya ikut bercucuran!
“Na, kamu sudah belajar tentang lamanya ayam mengerami telurnya?”
“Ya sudah dong, Pak. Di pelajaran Sains. Bu Guru bilang kalau ayam betina mengerami telur-telurnya sampai menetas selama 3 minggu. Memangnya apa sih hubungannya dengan telur si Burik yang hilang Pak? Nana jadi bingung nih…”
Sambil menggamit lengan Nana, Bapak mengajaknya mendekati kandang.
“Coba kamu dengarkan baik-baik. Kamu bilang, 3 minggu lalu si Burik bertelur, berarti sekarang saatnya…”
“CIAP… CIAP… CIAP!”
Belum sempat Nana membuka mulutnya untuk menjawab pernyataan Bapak yang menggantung, ia sudah diserbu suara-suara anak ayam di depan wajahnya.
“ALHAMDULILLAAH! WAAH, LUCU-LUCU SEKALI. ADA ENAM, PAK! Semuanya cantik deh! Makasih ya Pak,“ Nana memeluk erat Bapak seraya berteriak kegirangan menyaksikan anak-anak si Burik satu-persatu muncul dengan bulu kuningnya yang masih lembab. Benar-benar baru hadir di dunia setelah keluar dari cangkang telurnya.
Ibu – sekali lagi – melompat gesit ke teras, sementara Bi Imah tak mau kalah gesit menyambar sapu ijuk.
“Eeeh… lucu eh culun. Addduh Neng Nana lagi, kapok deh Bibi.”
Tanpa mempedulikan omelan Bi Imah, Nana menarik-narik lengan baju Bibi sambil menunjuk anak-anak si Burik,”tuh Bi, lucu kan? Lucu kan?”
Ibu dan bapak ikut tersenyum melihat tingkah polah Nana.
“Ehem… artinya, ada yang harus minta maaf nih sama Bibi, Mas Andika, juga Tono, karena sudah main tuduh saja,” begitu bisik Ibu ke telinga Nana. Agak malu-malu, Nana mendekati Bi Imah dan juga Mas Andika yang kebetulan baru pulang bermain bola.
“Maafin Nana ya Bi, ya Mas? Nana janji deh engga akan mengulangi lagi…”
Mas Andika mengayunkan tangannya ke udara, “Maaf diterima Bos.Tos, Nana!”
“Eeeeh Tos, plontos! Dduhh Mas Andika, teriak jangan di kuping nape? Udeh ah Bibi maapin, mendingan sekarang Bibi ke dapur aje…”
Ahhh, lega sekali perasaan Nana. Burik … Burik… kamu sudah membuatku panik seharian ini.
Koran yang menutupi wajah Bapak perlahan turun. Bapak yang tengah bersantai di teras sambil minum teh, tersenyum manis pada Nana. Dari nadanya, Bapak bisa menebak kalau Nana sedang ada maunya.
“Ada apa, Nak?”
“Ibu sudah cerita belum?”
“Cerita apa ya?”
Nana merajuk, mukanya setengah ditekuk. “Ah, Bapak nih. Pura-pura aja. Itu… soal telur Burik yang hilang. Semuanya, Pak!” Air mata Nana mulai mengambang di sudut matanya.
“O ya? Kapan itu?”
“Tadi pagi Nana baru lihat, tapi mungkin sudah sejak kemarin-kemarin.”
“Hm… hm…,” Bapak tampak berfikir keras, keningnya berkerut-kerut naik turun.
“Nana ingat kapan si Burik bertelur?”
“Ya ingat sekali dong Pak. Tiga minggu lalu, soalnya Nana ingat waktu lihat telur itu pertama kali, Nana senaaang sekali,” Nana menjawab seraya tersenyum dikulum. Bagaimana tidak, saking serunya ia melompat-lompat sampai tidak sadar menabrak sepeda Mas Andika hingga terguling dan ia pun terjatuh di atas sepeda itu!
“Benar tiga minggu lalu? Kamu engga salah hitung kan?”
“Ye Bapak, tentu aja engga salah. Kan habis itu Nana dan Mas Andika terima rapor, trus kita liburan dua minggu ke rumah Mbah Puteri di Magelang?”
Bapak manggut-manggut. Harus diakui bahwa ingatan Nana sangat kuat.
“Nah, lalu waktu kita sudah pulang ke sini, kamu sempat lihat lagi telur si Burik?”
Sekarang giliran muka Nana yang ditekuk.
“Ng… lagi engga sempat Pak. Pas banyak pe-er dan ada tugas kliping pelajaran Sains.”
Tiba-tiba bapak menepuk jidatnya yang lebar itu. Tawanya membahana, sungguh geli melihatnya. Nana cuma bisa terheran-heran. Idih, Bapak kenapa ya? Salah makan?
“Pak… Pak… inget Pak. Bapak baik-baik saja?” Nana bertanya dengan nada cemas.
“Hahahaha. Nana… Nana… Hahahahaha…”, perut gendut Bapak ikut terguncang-guncang mengikuti gelak tawanya itu. Nana tambah tidak mengerti. Kenapa sih Bapak? Digoyang-goyangnya lengan Bapak. Kira-kira perlu waktu dua menit sampai Bapak dapat menghentikan tawanya. Dahsyat, Bapak tertawa hingga menangis, tuh air matanya ikut bercucuran!
“Na, kamu sudah belajar tentang lamanya ayam mengerami telurnya?”
“Ya sudah dong, Pak. Di pelajaran Sains. Bu Guru bilang kalau ayam betina mengerami telur-telurnya sampai menetas selama 3 minggu. Memangnya apa sih hubungannya dengan telur si Burik yang hilang Pak? Nana jadi bingung nih…”
Sambil menggamit lengan Nana, Bapak mengajaknya mendekati kandang.
“Coba kamu dengarkan baik-baik. Kamu bilang, 3 minggu lalu si Burik bertelur, berarti sekarang saatnya…”
“CIAP… CIAP… CIAP!”
Belum sempat Nana membuka mulutnya untuk menjawab pernyataan Bapak yang menggantung, ia sudah diserbu suara-suara anak ayam di depan wajahnya.
“ALHAMDULILLAAH! WAAH, LUCU-LUCU SEKALI. ADA ENAM, PAK! Semuanya cantik deh! Makasih ya Pak,“ Nana memeluk erat Bapak seraya berteriak kegirangan menyaksikan anak-anak si Burik satu-persatu muncul dengan bulu kuningnya yang masih lembab. Benar-benar baru hadir di dunia setelah keluar dari cangkang telurnya.
Ibu – sekali lagi – melompat gesit ke teras, sementara Bi Imah tak mau kalah gesit menyambar sapu ijuk.
“Eeeh… lucu eh culun. Addduh Neng Nana lagi, kapok deh Bibi.”
Tanpa mempedulikan omelan Bi Imah, Nana menarik-narik lengan baju Bibi sambil menunjuk anak-anak si Burik,”tuh Bi, lucu kan? Lucu kan?”
Ibu dan bapak ikut tersenyum melihat tingkah polah Nana.
“Ehem… artinya, ada yang harus minta maaf nih sama Bibi, Mas Andika, juga Tono, karena sudah main tuduh saja,” begitu bisik Ibu ke telinga Nana. Agak malu-malu, Nana mendekati Bi Imah dan juga Mas Andika yang kebetulan baru pulang bermain bola.
“Maafin Nana ya Bi, ya Mas? Nana janji deh engga akan mengulangi lagi…”
Mas Andika mengayunkan tangannya ke udara, “Maaf diterima Bos.Tos, Nana!”
“Eeeeh Tos, plontos! Dduhh Mas Andika, teriak jangan di kuping nape? Udeh ah Bibi maapin, mendingan sekarang Bibi ke dapur aje…”
Ahhh, lega sekali perasaan Nana. Burik … Burik… kamu sudah membuatku panik seharian ini.
Thursday, December 11, 2008
MADRASAH CINTA
OLEH BAYU GAWTAMA
Pecinta yang dicinta
http://gawtama.blogspot.com
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah
pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus
ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama
pun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu
kepastian dari seorang bidan; "positif".
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali
benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak
berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si
kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah
ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya
tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya,
ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu
bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar
tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang
terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-
anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan
bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga,
kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap "Ma…" segera ia
mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar
telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara
haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari
pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah
awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus
menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak
terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di
tengah jalan.
"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di
pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang
kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam
tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya,
setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya.
Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil
baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan,
demi anak.
Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah
anak, 2. Beli susu anak, … nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang
lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi
prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan
susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa
pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak
pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan
menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi
puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran.
Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan
menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya
menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun,
mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu
yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen
didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus
menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura
si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata
barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya
menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun
mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan
anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling
ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta
merta kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar saat baru saja
memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang
dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli
makan siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan
terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama
pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu
menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera
air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah
hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum
bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati
yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi
hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam
harapnya ia berlirih, "Masihkah kau anakku?"
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara
tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan
berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "bila
ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin
dimandikan sambil dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat
jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. "Agar tak percuma ibu
mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil," ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana
mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah
mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya,
sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang
hanya punya satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya
diberi satu nama: yang dicinta.
Bayu Gawtama
Pecinta yang dicinta
http://gawtama.blogspot.com
Pecinta yang dicinta
http://gawtama.blogspot.com
Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah
pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus
ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama
pun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu
kepastian dari seorang bidan; "positif".
Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali
benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak
berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si
kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah
ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya
tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya,
ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu
bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar
tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang
terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.
Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-
anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan
bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga,
kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap "Ma…" segera ia
mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar
telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara
haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari
pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah
awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus
menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak
terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di
tengah jalan.
"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di
pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang
kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam
tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya,
setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya.
Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil
baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.
Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan,
demi anak.
Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas,
periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah
anak, 2. Beli susu anak, … nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang
lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi
prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan
susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa
pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.
Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak
pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan
menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi
puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran.
Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan
menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya
menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun,
mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu
yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen
didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus
menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura
si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata
barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya
menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun
mendongeng.
Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan
anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling
ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta
merta kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar saat baru saja
memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang
dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli
makan siangnya sendiri di kampus.
Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan
terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama
pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu
menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera
air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah
hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum
bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati
yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi
hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam
harapnya ia berlirih, "Masihkah kau anakku?"
Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara
tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan
berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "bila
ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin
dimandikan sambil dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat
jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. "Agar tak percuma ibu
mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil," ujarnya.
Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana
mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah
mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya,
sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang
hanya punya satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya
diberi satu nama: yang dicinta.
Bayu Gawtama
Pecinta yang dicinta
http://gawtama.blogspot.com
Wednesday, December 10, 2008
MELACAK TELUR SI BURIK
“HUA… HUA… IBU… IBU! TELUR BURIK! TELUR BURIK HILANG!”
Ibu yang tengah merapikan meja makan sontak meloncat gesit menuju halaman depan. Nana yang menjerit-jerit, tersedu-sedu menunjuk kandang si Burik, ayam kesayangannya.
“Apa benar, Na? Coba Ibu lihat.”
Bi Imah pun ikut-ikutan menghampiri Nana.
“HUA… HUA…”
“Eeeh… kuda eh… kuda copot! Adduduh astaghfirullah Neng Nana, jangan keras –keras dong nangisnya, Bibi kan jadi latah.”
Setengah menangis setengah tertawa Nana mencubit Bi Imah.
“Uh Bibi, orang lagi sedih masih sempat-sempatnya latah!”
Sementara itu, kening Ibu berkerut heran setelah mengintip kandang si Burik. Benar kata Nana, telurnya tidak ada! Bukan cuma satu, tapi enam butir! Banyak amat? Nah, pertanyaannya sekarang, ke mana gerangan??
Belum sempat Ibu berfikir jernih…
“Hayo, Bibi ngaku saja. Bibi yang ambil telurnya Burik kan?”
“Eeeh ngaku… ngaku… Lho kok Neng nuduh Bibi sih?”
“Kemaren kan Bibi bikin nasi goreng untuk Bapak. Pakai telur kan? Bisa aja Bibi ambil telur si Burik karena di kulkas telurnya tinggal satu. Iya kan?”, Sambil menyeka ingusnya, Nana berbicara dengan nada tinggi kepada Bibi.
“Eeeeh iya… iya… aduh, sale kate deh. Engga Neng, sumpe Bibi engga ngutak-ngutik telur Burik. Bener, suerr!”
“Ah, Bibi tau apa suer-suer segala?”
“Nana!”
Kali ini Ibu yang bersuara.
“Ibu tidak suka kamu asal menuduh orang sembarangan saja.”
“Tapi Bu, buktinya telurnya tidak ada?”
“”Kita cari lagi yuk, mungkin saja terjatuh di rumput atau tergeser.”
“Tidak mungkin Bu, kan Burik lagi jarang keluar kandang.”
“Iya, tapi tetap saja kamu tidak boleh gampang menuduh orang.”
Nana cemberut. Ah, Ibu gimana sih, orang lagi sedih kok malah dinasehati panjang lebar!
Sejurus, Mas Andika, kakak Nana yang duduk di bangku SMP hendak berpamitan. Tiba-tiba saja Nana mendapat ‘tertuduh’ baru. Kalau bukan Bibi, mungkin saja…
“Nah, ini dia nih. Ngaku hayo, pasti mas Andika yang ambil telurnya Burik?”
“Ngaku apaan, Say?,” Mas Andika menjawab dengan santai. Mata jenakanya berputar-putar nakal, mempertebal kecurigaan Nana. Hm, kata Nana dalam hati, rasanya kali ini tuduhanku benar!
“Tuh kan Bu, lihat! Mas Andika ngaku. Hayo, Mas ambil telur si Burik buat praktikum Biologi ya?”
“Eit, eit. Enak aja, Mas ngga ngambil tau! Lagian, sabar dulu Say. Jangan asal nyemprot dong, hujan lokal tahu! Tuh, baju Mas jadi jadi basah deh,” Andika sibuk mengibas-ngibas seragamnya sambil tertawa. Nana jadi kian sebal melihatnya. Uuh…
Ibu cuma bisa tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan pertengkaran kedua anaknya. Perasaannya mengatakan bahwa bukan Andika pelaku pencurian ini, tapi… siapa?
Nana menggamit ujung baju Ibu dengan wajah memelas. Bekas air matanya masih tercetak jelas di pipi gembilnya.
“Bu, gimana dong? Pusiiing.”
Ibu tertawa mendengar ucapan Nana.
“Idih, kamu kayak ibu-ibu saja, gitu aja pusing. Hm… begini saja deh. Kamu lebih baik siap-siap mandi, nanti terlambat sekolah. Coba kita tanya Bapak nanti sore, mungkin saja Bapak tahu.”
Dengan enggan, Nana beranjak masuk ke dalam rumah. Sesaat dia berhenti…
“Bu! Apa mungkin Tono yang mengambil?”
“Tono?”
“Iya, Tono anaknya Bu Soni. Dia kan kemarin sore ke sini, mengantarkan jahitan mamanya. Kan dia sempat ditinggal sebentar di teras, waktu Ibu ambil uang ke dalam ?”
“Ah, masak sih? Tono kan anak baik?”
“Yah, siapa tahu?”
“Ah, kamu ini. Sudahlah, jangan cari tersangka baru. Iya kalau benar, kalau salah gimana? Dosa kan?” Ibu kembali mengingatkan Nana.
“Bu…”
“Sst, ayo sana siap-siap. Nanti sore, setuju?”
(sst, sabaaaar ya, lanjut sesuk mawon :D)
Ibu yang tengah merapikan meja makan sontak meloncat gesit menuju halaman depan. Nana yang menjerit-jerit, tersedu-sedu menunjuk kandang si Burik, ayam kesayangannya.
“Apa benar, Na? Coba Ibu lihat.”
Bi Imah pun ikut-ikutan menghampiri Nana.
“HUA… HUA…”
“Eeeh… kuda eh… kuda copot! Adduduh astaghfirullah Neng Nana, jangan keras –keras dong nangisnya, Bibi kan jadi latah.”
Setengah menangis setengah tertawa Nana mencubit Bi Imah.
“Uh Bibi, orang lagi sedih masih sempat-sempatnya latah!”
Sementara itu, kening Ibu berkerut heran setelah mengintip kandang si Burik. Benar kata Nana, telurnya tidak ada! Bukan cuma satu, tapi enam butir! Banyak amat? Nah, pertanyaannya sekarang, ke mana gerangan??
Belum sempat Ibu berfikir jernih…
“Hayo, Bibi ngaku saja. Bibi yang ambil telurnya Burik kan?”
“Eeeh ngaku… ngaku… Lho kok Neng nuduh Bibi sih?”
“Kemaren kan Bibi bikin nasi goreng untuk Bapak. Pakai telur kan? Bisa aja Bibi ambil telur si Burik karena di kulkas telurnya tinggal satu. Iya kan?”, Sambil menyeka ingusnya, Nana berbicara dengan nada tinggi kepada Bibi.
“Eeeeh iya… iya… aduh, sale kate deh. Engga Neng, sumpe Bibi engga ngutak-ngutik telur Burik. Bener, suerr!”
“Ah, Bibi tau apa suer-suer segala?”
“Nana!”
Kali ini Ibu yang bersuara.
“Ibu tidak suka kamu asal menuduh orang sembarangan saja.”
“Tapi Bu, buktinya telurnya tidak ada?”
“”Kita cari lagi yuk, mungkin saja terjatuh di rumput atau tergeser.”
“Tidak mungkin Bu, kan Burik lagi jarang keluar kandang.”
“Iya, tapi tetap saja kamu tidak boleh gampang menuduh orang.”
Nana cemberut. Ah, Ibu gimana sih, orang lagi sedih kok malah dinasehati panjang lebar!
Sejurus, Mas Andika, kakak Nana yang duduk di bangku SMP hendak berpamitan. Tiba-tiba saja Nana mendapat ‘tertuduh’ baru. Kalau bukan Bibi, mungkin saja…
“Nah, ini dia nih. Ngaku hayo, pasti mas Andika yang ambil telurnya Burik?”
“Ngaku apaan, Say?,” Mas Andika menjawab dengan santai. Mata jenakanya berputar-putar nakal, mempertebal kecurigaan Nana. Hm, kata Nana dalam hati, rasanya kali ini tuduhanku benar!
“Tuh kan Bu, lihat! Mas Andika ngaku. Hayo, Mas ambil telur si Burik buat praktikum Biologi ya?”
“Eit, eit. Enak aja, Mas ngga ngambil tau! Lagian, sabar dulu Say. Jangan asal nyemprot dong, hujan lokal tahu! Tuh, baju Mas jadi jadi basah deh,” Andika sibuk mengibas-ngibas seragamnya sambil tertawa. Nana jadi kian sebal melihatnya. Uuh…
Ibu cuma bisa tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya menyaksikan pertengkaran kedua anaknya. Perasaannya mengatakan bahwa bukan Andika pelaku pencurian ini, tapi… siapa?
Nana menggamit ujung baju Ibu dengan wajah memelas. Bekas air matanya masih tercetak jelas di pipi gembilnya.
“Bu, gimana dong? Pusiiing.”
Ibu tertawa mendengar ucapan Nana.
“Idih, kamu kayak ibu-ibu saja, gitu aja pusing. Hm… begini saja deh. Kamu lebih baik siap-siap mandi, nanti terlambat sekolah. Coba kita tanya Bapak nanti sore, mungkin saja Bapak tahu.”
Dengan enggan, Nana beranjak masuk ke dalam rumah. Sesaat dia berhenti…
“Bu! Apa mungkin Tono yang mengambil?”
“Tono?”
“Iya, Tono anaknya Bu Soni. Dia kan kemarin sore ke sini, mengantarkan jahitan mamanya. Kan dia sempat ditinggal sebentar di teras, waktu Ibu ambil uang ke dalam ?”
“Ah, masak sih? Tono kan anak baik?”
“Yah, siapa tahu?”
“Ah, kamu ini. Sudahlah, jangan cari tersangka baru. Iya kalau benar, kalau salah gimana? Dosa kan?” Ibu kembali mengingatkan Nana.
“Bu…”
“Sst, ayo sana siap-siap. Nanti sore, setuju?”
(sst, sabaaaar ya, lanjut sesuk mawon :D)
Tuesday, December 9, 2008
TAUBAT SEJATI
Oleh: MUHAMMAD NUH
Hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak yang becek di tepian sungai nan jernih. Kadang orang tak sadar kalau lumpur yang melekat di kaki, tangan, badan, dan mungkin kepala bisa dibersihkan dengan air sungai tersebut. Boleh jadi, kesadaran itu sengaja ditunda hingga tujuan tercapai.
Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang melekat. Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar dugaan, debu sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.
Itulah keadaan yang kerap melekat pada diri manusia. Diamnya seorang manusia saja bisa memunculkan salah dan dosa. Terlebih ketika peran sudah merambah banyak sisi: keluarga, masyarakat, tempat kerja, organisasi, dan pergaulan sesama teman. Setidaknya, akan ada gesekan atau kekeliruan yang mungkin teranggap kecil, tapi berdampak besar.
Belum lagi ketika kekeliruan tidak lagi bersinggungan secara horisontal atau sesama manusia. Melainkan sudah mulai menyentuh pada kebijakan dan keadilan Allah swt. Kekeliruan jenis ini mungkin saja tercetus tanpa sadar, terkesan ringan tanpa dosa; padahal punya delik besar di sisi Allah swt.
Rasulullah saw. pernah menyampaikan nasihat tersebut melalui Abu Hurairah r.a. “Segeralah melakukan amal saleh. Akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita. Ketika itu, seorang beriman di pagi hari, tiba-tiba kafir di sore hari. Beriman di sore hari, tiba-tiba kafir di pagi hari. Mereka menukar agama karena sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Saatnyalah seseorang merenungi diri untuk senantiasa minta ampunan Allah swt. Menyadari bahwa siapa pun yang bernama manusia punya kelemahan, kekhilafan. Dan istighfar atau permohonan ampunan bukan sesuatu yang musiman dan jarang-jarang. Harus terbangun taubat yang sungguh-sungguh.
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Rasulullah saw. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara. Pintu taubat selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari. “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat.”
Karena itu, merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampaui batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka. Dan sungguh, Allah akan mengampuni dosa-dosa semuanya karena Dialah yang Maha Pengampun lagi Penyayang.
Orang yang mengulur-ulur saatnya bertaubat tergolong sebagai Al-Musawwif. Orang model ini selalu mengatakan, “Besok saya akan taubat.” Ibnu Abas r.a. meriwayatkan, berkata Nabi saw. “Binasalah orang-orang yang melambat-lambatkan taubat (musawwifuun).” Dalam surat Al-Hujurat ayat 21, Allah swt. berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim.“
Abu Bakar pernah mendengar ucapan Rasulullah saw., “Iblis berkata, aku hancurkan manusia dengan dosa-dosa dan dengan bermacam-macam perbuatan durhaka. Sementara mereka menghancurkan aku dengan Laa ilaaha illaahu dan istighfar. Tatkala aku mengetahui yang demikian itu aku hancurkan mereka dengan hawa nafsu, dan mereka mengira dirinya berpetunjuk.”
Namun, taubat seorang hamba Allah tidak cuma sekadar taubat. Bukan taubat kambuhan yang sangat bergantung pada cuaca hidup. Pagi taubat, sore maksiat. Sore taubat, pagi maksiat. Sedikit rezeki langsung taubat. Banyak rezeki kembali maksiat.
Taubat yang selayaknya dilakukan seorang hamba Allah yang ikhlas adalah dengan taubat yang tidak setengah-setengah. Benar-benar sebagai taubat nasuha, atau taubat yang sungguh-sungguh.
Karena itu, ada syarat buat taubat nasuha. Antara lain, segera meninggalkan dosa dan maksiat, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa.
Selain itu, para ulama menambahkan syarat lain. Selain bersih dari kebiasaan dosa, orang yang bertaubat mesti mengembalikan hak-hak orang yang pernah dizalimi. Ia juga bersegera menunaikan semua kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt. Bahkan, membersihkan segala lemak dan daging yang tumbuh di dalam dirinya dari barang yang haram dengan senantiasa melakukan ibadah dan mujahadah.
Hanya Alahlah yang tahu, apakah benar seseorang telah taubat dengan sungguh-sungguh. Manusia hanya bisa melihat dan merasakan dampak dari orang-orang yang taubat. Benarkah ia sudah meminta maaf, mengembalikan hak-hak orang yang pernah terzalimi, membangun kehidupan baru yang Islami, dan hal-hal baik lain. Atau, taubat hanya hiasan bibir yang terucap tanpa beban.
Hidup memang seperti menelusuri jalan setapak yang berlumpur dan licin. Segeralah mencuci kaki ketika kotoran mulai melekat. Agar risiko jatuh berpeluang kecil. Dan berhati-hatilah, karena tak selamanya jalan mendatar.
Hidup tak ubahnya seperti menelusuri jalan setapak yang becek di tepian sungai nan jernih. Kadang orang tak sadar kalau lumpur yang melekat di kaki, tangan, badan, dan mungkin kepala bisa dibersihkan dengan air sungai tersebut. Boleh jadi, kesadaran itu sengaja ditunda hingga tujuan tercapai.
Tak ada manusia yang bersih dari salah dan dosa. Selalu saja ada debu-debu lalai yang melekat. Sedemikian lembutnya, terlekatnya debu kerap berlarut-larut tanpa terasa. Di luar dugaan, debu sudah berubah menjadi kotoran pekat yang menutup hampir seluruh tubuh.
Itulah keadaan yang kerap melekat pada diri manusia. Diamnya seorang manusia saja bisa memunculkan salah dan dosa. Terlebih ketika peran sudah merambah banyak sisi: keluarga, masyarakat, tempat kerja, organisasi, dan pergaulan sesama teman. Setidaknya, akan ada gesekan atau kekeliruan yang mungkin teranggap kecil, tapi berdampak besar.
Belum lagi ketika kekeliruan tidak lagi bersinggungan secara horisontal atau sesama manusia. Melainkan sudah mulai menyentuh pada kebijakan dan keadilan Allah swt. Kekeliruan jenis ini mungkin saja tercetus tanpa sadar, terkesan ringan tanpa dosa; padahal punya delik besar di sisi Allah swt.
Rasulullah saw. pernah menyampaikan nasihat tersebut melalui Abu Hurairah r.a. “Segeralah melakukan amal saleh. Akan terjadi fitnah besar bagaikan gelap malam yang sangat gulita. Ketika itu, seorang beriman di pagi hari, tiba-tiba kafir di sore hari. Beriman di sore hari, tiba-tiba kafir di pagi hari. Mereka menukar agama karena sedikit keuntungan dunia.” (HR. Muslim)
Saatnyalah seseorang merenungi diri untuk senantiasa minta ampunan Allah swt. Menyadari bahwa siapa pun yang bernama manusia punya kelemahan, kekhilafan. Dan istighfar atau permohonan ampunan bukan sesuatu yang musiman dan jarang-jarang. Harus terbangun taubat yang sungguh-sungguh.
Secara bahasa, taubat berarti kembali. Kembali kepada kebenaran yang dilegalkan Allah swt. dan diajarkan Rasulullah saw. Taubat merupakan upaya seorang hamba menyesali dan meninggalkan perbuatan dosa yang pernah dilakukan selama ini.
Rasulullah saw. pernah ditanya seorang sahabat, “Apakah penyesalan itu taubat?” Rasulullah saw. menjawab, “Ya.” (HR. Ibnu Majah) Amr bin Ala pernah mengatakan, “Taubat nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu mencintainya.”
Taubat dari segala kesalahan tidak membuat seorang manusia terhina di hadapan Tuhannya. Justru, akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Karena Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara. Pintu taubat selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari. “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat.”
Karena itu, merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampaui batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka. Dan sungguh, Allah akan mengampuni dosa-dosa semuanya karena Dialah yang Maha Pengampun lagi Penyayang.
Orang yang mengulur-ulur saatnya bertaubat tergolong sebagai Al-Musawwif. Orang model ini selalu mengatakan, “Besok saya akan taubat.” Ibnu Abas r.a. meriwayatkan, berkata Nabi saw. “Binasalah orang-orang yang melambat-lambatkan taubat (musawwifuun).” Dalam surat Al-Hujurat ayat 21, Allah swt. berfirman, “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, mereka itulah orang-orang yang zalim.“
Abu Bakar pernah mendengar ucapan Rasulullah saw., “Iblis berkata, aku hancurkan manusia dengan dosa-dosa dan dengan bermacam-macam perbuatan durhaka. Sementara mereka menghancurkan aku dengan Laa ilaaha illaahu dan istighfar. Tatkala aku mengetahui yang demikian itu aku hancurkan mereka dengan hawa nafsu, dan mereka mengira dirinya berpetunjuk.”
Namun, taubat seorang hamba Allah tidak cuma sekadar taubat. Bukan taubat kambuhan yang sangat bergantung pada cuaca hidup. Pagi taubat, sore maksiat. Sore taubat, pagi maksiat. Sedikit rezeki langsung taubat. Banyak rezeki kembali maksiat.
Taubat yang selayaknya dilakukan seorang hamba Allah yang ikhlas adalah dengan taubat yang tidak setengah-setengah. Benar-benar sebagai taubat nasuha, atau taubat yang sungguh-sungguh.
Karena itu, ada syarat buat taubat nasuha. Antara lain, segera meninggalkan dosa dan maksiat, menyesali dengan penuh kesadaran segala dosa dan maksiat yang telah dilakukan, bertekad untuk tidak akan mengulangi dosa.
Selain itu, para ulama menambahkan syarat lain. Selain bersih dari kebiasaan dosa, orang yang bertaubat mesti mengembalikan hak-hak orang yang pernah dizalimi. Ia juga bersegera menunaikan semua kewajiban-kewajibannya terhadap Allah swt. Bahkan, membersihkan segala lemak dan daging yang tumbuh di dalam dirinya dari barang yang haram dengan senantiasa melakukan ibadah dan mujahadah.
Hanya Alahlah yang tahu, apakah benar seseorang telah taubat dengan sungguh-sungguh. Manusia hanya bisa melihat dan merasakan dampak dari orang-orang yang taubat. Benarkah ia sudah meminta maaf, mengembalikan hak-hak orang yang pernah terzalimi, membangun kehidupan baru yang Islami, dan hal-hal baik lain. Atau, taubat hanya hiasan bibir yang terucap tanpa beban.
Hidup memang seperti menelusuri jalan setapak yang berlumpur dan licin. Segeralah mencuci kaki ketika kotoran mulai melekat. Agar risiko jatuh berpeluang kecil. Dan berhati-hatilah, karena tak selamanya jalan mendatar.
Thursday, December 4, 2008
INGIN ANAK MANDIRI DAN BERTANGGUNG JAWAB?
Beberapa catatan ini mungkin bisa memandu kita.
@ Orang tua dan orang dewasa lainnya adalah tokoh panutan dan contoh/ model. Jangan harap anak akan belajar bertanggung jawab bila orang tua tidak memperlihatkan perilaku bertanggung jawab.
@ Dua syarat utama untuk menanamkan kemandirian dan belajar bertanggung jawab adalah adanya komitmen dan penilaian yang baik.
@ Cara termudah bagi kita adalah membiarkan anak mengekspresikan apapun yang ingin dikerjakannya, sejauh tidak membahayakan keselamatan dan kesehatannya. Janganlah terlalu cepat mengulurkan tangannya untuk 'membantu' anak Anda, biarkan ia mencoba dulu. Apalah artinya kerepotan membersihkan meja dan menyapu lantai dibanding ketrampilan makan yang didapat sesudahnya? Atau kita lebih memilih tetap menyuapi anak hingga ia dewasa?
@ Tugas-tugas rutin yang harus dipelajari dan dikuasai mencakup makan sendiri, berpakaian, kebersihan pribadi, dan perawatan barang milik
@ Sesuai perkembangan usianya, beri anak tanggung jawab untuk salah satu pekerjaan di rumah (menyapu, mengepel, membereskan kamar, cuci piring, dll). Mulanya tentu belum sempurna atau rapi, jangan langsung ditegur, tapi beri petunjuk secara bertahap.
@ Akui prestasi mereka dengan gerak isyarat yang mengucapkan “SELAMAT!”, entah berupa senyuman bangga, mengangkat jari jempol, atau sekadar menepuk bahu dan memeluknya.
(Kompas Minggu – Republika, 1 Sept 2002; Cara Mudah Menjadi Orang tua/BUDI DARMAWAN)
*** Duh nostalgia lagi, ini rangkuman hasil baca koran waktu aktif mengelola buletin RT-ku...
@ Orang tua dan orang dewasa lainnya adalah tokoh panutan dan contoh/ model. Jangan harap anak akan belajar bertanggung jawab bila orang tua tidak memperlihatkan perilaku bertanggung jawab.
@ Dua syarat utama untuk menanamkan kemandirian dan belajar bertanggung jawab adalah adanya komitmen dan penilaian yang baik.
@ Cara termudah bagi kita adalah membiarkan anak mengekspresikan apapun yang ingin dikerjakannya, sejauh tidak membahayakan keselamatan dan kesehatannya. Janganlah terlalu cepat mengulurkan tangannya untuk 'membantu' anak Anda, biarkan ia mencoba dulu. Apalah artinya kerepotan membersihkan meja dan menyapu lantai dibanding ketrampilan makan yang didapat sesudahnya? Atau kita lebih memilih tetap menyuapi anak hingga ia dewasa?
@ Tugas-tugas rutin yang harus dipelajari dan dikuasai mencakup makan sendiri, berpakaian, kebersihan pribadi, dan perawatan barang milik
@ Sesuai perkembangan usianya, beri anak tanggung jawab untuk salah satu pekerjaan di rumah (menyapu, mengepel, membereskan kamar, cuci piring, dll). Mulanya tentu belum sempurna atau rapi, jangan langsung ditegur, tapi beri petunjuk secara bertahap.
@ Akui prestasi mereka dengan gerak isyarat yang mengucapkan “SELAMAT!”, entah berupa senyuman bangga, mengangkat jari jempol, atau sekadar menepuk bahu dan memeluknya.
(Kompas Minggu – Republika, 1 Sept 2002; Cara Mudah Menjadi Orang tua/BUDI DARMAWAN)
*** Duh nostalgia lagi, ini rangkuman hasil baca koran waktu aktif mengelola buletin RT-ku...
Wednesday, December 3, 2008
ANTARA FEMINA, UMMI, INTISARI, KOMPAS...
Kalau para pembaca setia blogku memperhatikan dengan seksama (tapi pasti tidak dalam tempo sesingkat-singkatnya ya, karena bukan teks proklamasi), gaya tulisanku campur sari banget ya? kadang serius sekali, lain waktu banyak canda-guraunya, lain hari ngawur ngga tahu juntrungannya.
Beberapa tulisanku memang bisa dibilang 'bank tulisan-tulisan lamaku' yang bersemayam nyaman di dokumen, entah itu berupa hasil browsing ke internet atau ya kebanyakan cerpen-cerpenku. Bukan sesuatu yang aneh karena aku memang berangkat dari fiksi, gabungnya juga dengan FLP-nya mbak Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa itu lho... Banyak tips yang kudapat dari rekan-rekan FLP soal menyesuaikan gaya menulis dengan visi-misi media yang kita bidik alias mau kita kirimi karya kita. Semisal kalau kita mau ngirim ke Femina sebaiknya ide ceritanya seputar wanita kosmopolitan dan seluk-beluk problema di sekitar mereka. So udah pasti ngga diterima sama Femina jika tulisannya banyak menyitir ayat suci, namun lebih mungkin disambut hangat di majalah Islam seperti Ummi atau Annida, dengan catatan tambahan pangsa pasarnya beda lagi (ya laen lah yaw, satunya untuk emak-emak alias remako en atunya lagi buat ABG en remaja, hehe...)
Beda lagi kalau kita menyasar koran Kompas, Republika, atau koran Tempo misalnya. 3 media nasional ini punya ciri khas cerpen masing-masing. Coba deh kalau ngga percaya pelototin gaya tulisan cerpen yang masuk, niscaya baru ngangguk-nganggukkan kepala (bukan ngantuk lho ya?). Buatku, cerpen untuk koran Tempo kayaknya makin aneh makin besar kemungkinan untuk diterima deh, dan karena sebab-musabab aku hanya orang biasa en ngga suka aneh-aneh (meski sedikit error, menurut anak-anakku tercinta :D) ya udah, ga pernah minat ngirim cerpen ke sana deh. Kalau ke Femina sebenarnya lumayan sering, biasanya untuk rubrik gado-gado dan cerpen, karena masih lumayan bisa nyambung lah... Demikian juga dengan Intisari, 2 kali tulisanku alhamdulillah berhasil masuk.
Ada ngga yang punya pengalaman soal gonta-ganti gaya menulis? Bagi-bagi yuk...
Beberapa tulisanku memang bisa dibilang 'bank tulisan-tulisan lamaku' yang bersemayam nyaman di dokumen, entah itu berupa hasil browsing ke internet atau ya kebanyakan cerpen-cerpenku. Bukan sesuatu yang aneh karena aku memang berangkat dari fiksi, gabungnya juga dengan FLP-nya mbak Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa itu lho... Banyak tips yang kudapat dari rekan-rekan FLP soal menyesuaikan gaya menulis dengan visi-misi media yang kita bidik alias mau kita kirimi karya kita. Semisal kalau kita mau ngirim ke Femina sebaiknya ide ceritanya seputar wanita kosmopolitan dan seluk-beluk problema di sekitar mereka. So udah pasti ngga diterima sama Femina jika tulisannya banyak menyitir ayat suci, namun lebih mungkin disambut hangat di majalah Islam seperti Ummi atau Annida, dengan catatan tambahan pangsa pasarnya beda lagi (ya laen lah yaw, satunya untuk emak-emak alias remako en atunya lagi buat ABG en remaja, hehe...)
Beda lagi kalau kita menyasar koran Kompas, Republika, atau koran Tempo misalnya. 3 media nasional ini punya ciri khas cerpen masing-masing. Coba deh kalau ngga percaya pelototin gaya tulisan cerpen yang masuk, niscaya baru ngangguk-nganggukkan kepala (bukan ngantuk lho ya?). Buatku, cerpen untuk koran Tempo kayaknya makin aneh makin besar kemungkinan untuk diterima deh, dan karena sebab-musabab aku hanya orang biasa en ngga suka aneh-aneh (meski sedikit error, menurut anak-anakku tercinta :D) ya udah, ga pernah minat ngirim cerpen ke sana deh. Kalau ke Femina sebenarnya lumayan sering, biasanya untuk rubrik gado-gado dan cerpen, karena masih lumayan bisa nyambung lah... Demikian juga dengan Intisari, 2 kali tulisanku alhamdulillah berhasil masuk.
Ada ngga yang punya pengalaman soal gonta-ganti gaya menulis? Bagi-bagi yuk...
BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH
oleh: SAPARDI DJOKO DAMONO
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
berjalan di belakang jenazah angin pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
Subscribe to:
Posts (Atom)