Wednesday, May 27, 2009

MENGEJAR KEBAHAGIAAN HAKIKI*

(buat sodara-sodara yang penasaran, ini ada tulisan lamaku, mudah-mudahan bermanfaat ya, untuk kita semua :D)

Tanggal:7.05.2003
Alhikmah.com



Kamu serius mau berhenti kerja? Suamimu sudah kaya ya?

Degg! Kaget, heran, sedih, terhenyak, semua perasaanku bercampur baur. Tak
menyangka ucapan kasar itu muncul dari mulut kolega kerjaku, mbak X (sebut
saja demikian) yang selama ini boleh dikata merupakan dosen yang khusus
kubantu dalam penanganan tes massal di kampusku. Kata tak santun dari
mulut seseorang yang berpendidikan tinggi, kaum terpelajar!

Dengan muka ungu menahan amarah yang coba kupendam, kutelusuri wajah
ayunya. Sama sekali tak bergeming dari rautnya yang tegang. Kami sama-sama
membara. Sedetik berlalu, kutinggalkan ia. 'Time-out'sekaligus menurunkan
ketegangan emosi yang memenuhi dada masing-masing.

Hari ini seolah memang bukan hari indahku. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja
segala problema yang selama ini berusaha sekuat tenaga aku pendam,
termuntahkan, dan ditambah dengan ucapan spontanku untuk mengundurkan diri dari pekerjaanku sebagai dosen fakultas psikologi. Aku lelah, lelah mental
terutama. Ibarat aku menetap di dalam rumah tanpa jendela dan cahaya,
pemberontakanku mencapai titik klimaks. Aku ingin bebas dari situasi
ini. Bebas, BEBAS! Biarlah orang bicara apa saja, asalkan aku bebas....



*******

Menjadi dosen adalah pilihan karirku, cita-citaku. Mungkin karena aku
dibesarkan dalam keluarga guru, dan budaya membaca demikian kental dan
mengasyikkan. Dedikasi tinggi dari bapak dan ibu terhadap pekerjaannya,
begitu memukau pesona. Bahwa ilmu yang diajarkan insya Allah takkan
berhenti di satu terminal, namun akan terus mengalir dan mengalir beserta
pahalanya. Jadilah aku menggapai asaku, memenuhi harapan orang tuaku,
sekaligus menobatkan predikat psikolog di bahuku.

Semula segalanya berjalan baik-baik saja. Menikah, dan kemudian lahirlah
putri sulungku. Kami pindah ke daerah Cimanggis, dengan memboyong
serta Yu Ri'ah. Masalah mulai muncul ketika ia ternyata tidak kembali lagi
dari kampungnya setelah lebaran usai. Aku tak kunjung mendapatkan
penggantinya yang memadai. Jujur saja, mungkin standar dan tuntutan
terhadap calon khadimat terlalu tinggi dan ideal. Bagaimana tidak, dia
haruslah seorang yang sabar dan ngemong terhadap anakku. Terus-terang,
agaknya ini dipicu oleh pengalaman mengamati anak-anak tetangga baruku di
perumahan itu yang kebanyakan nakal dan diasuh oleh pembantu, sementara
sang ibu bekerja seharian penuh di kantor. Tentu sulit mencari khadimat
yang sempurna sesuai gambaranku kala itu. Beberapa kali aku mendapat
khadimat baru, hanya bertahan sebentar, dengan beraneka ragam kendala dan
hambatan.

Begitulah, akhirnya aku tidak punya pilihan lain kecuali selalu membawa
anakku ke kampus. Ia yang saat itu baru berusia satu tahun selama hampir
setahun lamanya kubawa-bawa selama aku mengajar. Ia ikut ke kelas, ikut
membaca di perpustakaan bagian, atau bahkan ikut rapat rutin seminggu
sekali setiap hari Kamis. Yang sering terjadi adalah ia kelelahan menanti
mamanya bekerja, hingga kadang-kadang tertidur di bilik shalat. Sementara
aku terpaksa tidak dapat lagi ikut terlibat dalam kegiatan pelatihan siswa
SMU/STM yang rutin diadakan Bagianku. Kucoba menutup telinga atas komentar
teman-teman dosenku, namun lama-kelamaan aku menyadari bahwa itu sangatlah
tidak adil buat mereka. Perlahan-lahan keadaan ini membuka celah mata
hatiku. Meresahkanku, mengusik hati nuraniku. Ya Rabb, apa yang sebenarnya
kucari selama ini? Mencari materi alias uang sebanyak-banyaknya? Mempertahankan gengsi karena berhasil menjadi dosen di kampus negeri yang ternama seantero Indonesia dalam usia muda? Setimpalkah semua itu dengan pengorbanan anakku yang masih belia? Bukankah seharusnya terbalik, akulah yang semestinya berkorban untuknya, unuk kehidupannya,
demi kebahagiannnya? Bukankah itu esensi terindah dari seorang ibu? Bukan, atau iya? Bagaimana dengan sabda Rasulullah SAW bahwa surga di bawah telapak kaki ibu? Namun telapak kaki ibu yang bagaimana? Rasanya aku bukan kategori ibu demikian. Astaghfirullah, astaghfirullah....

Sejuta pertanyaan bertalu-talu, sama layaknya sejuta jawab beterbangan di
isi kepalaku. Pusing, bingung, frustrasi, seolah kaki tak tahu harus
melangkah ke mana. Sungguh suatu ironi seorang psikolog tak mampu mencari
jawab atas problema hidupnya sendiri. Setiap bertanya kepada teman
sejawat, fokus mereka selalu berlabuh pada karir dan karir. Anak bisa
dititipkan kepada ibu atau mertua, carilah pembantu dari yayasan, kalau
perlu dua orang, kamu harus bisa menyiasati keadaan, dan bla bla,
bla.... Semua itu bagiku tidak memberi jalan keluar karena bertentangan
dengan prinsip hidupku dan suamiku. Bagi kami, anak identik dengan amanah
yang perlu dan harus dipertanggungjawabkan. Lalu di mana tanggung jawab
kami bila amanah itu dengan seenaknya dititipkan, terlebih pada ibu dan
ibu mertua yang kebetulan masih aktif bekerja? Apakah itu justru bukan
saat yang tepat untuk berisitirahat bagi ibu-ibu kami yang sudah berusia
paruh baya?

Saat itu kuteringat dengan firman-Nya dalam Al Qur'an surat Al Baqarah,
286, Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan
kesanggupannya....
Apakah ini menyiratkan agar aku bersegera bertindak
atas lingkaran setan problemku? Namun jauh di permukaan, entah mengapa,
aku masih saja terjebak dalam dilema, hati ini masih berbolak-balik,
antara keinginan untuk mencoba bertahan atas karirku yang susah payah
kubangun semenjak masih kuliah, berhasil menjadi lulusan terbaik, bahkan
menjadi wakil teman-teman saat menerima ucapan selamat dari Bapak Rektor,
kesadaran akan potensi diri yang begitu besar, dengan beratnya hati untuk
berkonsentrasi penuh menjadi ibu rumah tangga. Keraguan itu masih saja
mendera-dera kalbu dan menjebak dalam situasi tak pasti.

Ketika hati ini masih digayuti pertanyaan-pertanyaan itu, seorang teman
datang menghampiri. Ia dosen muda dari Bagian/Jurusan yang
berbeda. Kebetulan ia beragama nasrani. Meski begitu, selama ini kami
cukup dekat berkawan. Setelah mendengar keluh-kesahku, tuturannya yang
bernas masih segar terngiang-ngiang di telingaku.

Din, aku ikut prihatin dengan problemmu. Tapi cobalah tanya pada hati
nuranimu sendiri, apa yang menjadi kebahagiaan hakikimu? Kebahagiaanmu
yang sebenar-benarnya? Orang tentu boleh bicara atau berpendapat apa saja,
itu hak mereka. Tapi kamulah yang mengambil keputusan, bukan mereka.


Saat itu, ucapannya benar-benar meruapkan pencerahan bagiku. Tak peduli ia
seorang nasrani, tapi tutur katanya seolah air dingin yang menyejukkan
hati dan menyadarkanku bahwa selama ini aku buta, dibutakan oleh segala
sesuatu yang maya dan hanya fatamorgana semata. Alangkah nista,
cita-citaku begitu duniawi, sementara aku, seorang wanita yang telah
menikah, berkeluarga, dan mempunyai anak, telah nyata-nyata menyisihkan
kebahagiaan hakiki itu. Aku lupa menyandarkan dan memasrahkan segala yang
kumiliki pada-Nya. Tentu saja Dia tidak meridhoi jalanku, karena aku telah
buta arah.

Ketika kemudian di rumah aku merenung dalam malam yang tenang seusai
shalat istikharah, fragmen-fragmen kehidupanku seolah berputar ulang. Saat
aku tergopoh-gopoh pergi bersiap ke kampus, sementara anakku justru dibuai
kantuk; saat hujan meluluhlantakkan jemuran bajuku; saat aku tergesa
memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga dan bahkan sering
marah kepada putri kecilku; atau tatkala aku setengah memaksa mengerjakan
tugas mengoreksi laporan tes mahasiswa di malam buta, sementara mata dan
tubuhku ingin sekali terpejam dan berbaring. Ah, semua sama sekali tidak
terfokus, tidak maksimal. Tak satupun yang 100% bisa dipenuhi dengan
gemilang. Benar-benar mengecewakan! Dan akhirnya, shalat dan ibadah
kepada-Nya hanyalah sebatas ritual saja. Entah sudah berapa lama kuabaikan
hak-hak Sang Khalik, hak-hak orang tercinta di sekelilingku. Oh Gusti, aku
sudah menzhalimi mereka. Aku menangis dan terus beristighfar menyebut
asma-Nya.

Kusadari sepenuhnya, aku tidak bisa bertahan pada situasi buruk ini. Dan
kuyakin sudah digariskan oleh Allah SWT pada tahun berikutnya kami (aku
dan suami) pergi haji. Kelihatannya Dia ingin memberi waktu lapang untukku
merenungkan kembali dan introspeksi atas segala perbuatanku, komitmenku
terhadap-Nya. Alhamdulillah, meski sempat dibujukrayu dengan iming-iming
dari pihak fakultas, sepulang dari perjalanan ibadah itu, justru tekadku
untuk mengundurkan diri dan total berkarir di rumah sebagai ibu rumah
tangga semakin bulat dan mantap. Meski hingga detik ini aku masih belajar
dan terus belajar menjadi ibu dan istri yang baik dan jauh dari sempurna,
kesempatan itu selalu terbuka luas untukku. Dan aku tidak mau
menyia-nyiakan peluang yang mungkin hanya sekali terbentang seumur
hidupku.



Cimanggis, 16 April 2003



Demi masa

Sesungguhnya manusia kerugian...

Ingat lima perkara sebelum lima perkara...

Hidup sebelum mati

(petikan syair lagu Raihan, 'DEMI MASA')


*) terbaik keenam lomba karya tulis alhikmah.com

2 comments:

Diah Utami said...

Katanya, kebahagiaan itu adanya di dalam hati. Benar, mbak? Nggak perlu dikejar, dia datang sendiri. Atau sebetulnya, dia ada di dalam hati, tapi kadang kita tidak menyadarinya karena banyak dipengaruhi oleh standar yang dibuat orang lain.

Diana said...

Yap betul mbak Diah, bahagia itu adanya di dalam hati :) Masalahnya adalah orang kerap keliru mengartikan bahagia itu dengan hal-hal duniawi yang fana...