Wednesday, August 19, 2009

YANG CERDAS DAN YANG BODOH



(TELADAN RASULULLAH)


"Orang yang cerdas adalah orang yang bisa mengekang nafsunya dan
beramal untuk (bekal) sesudah mati. Sedangkan orang yang lemah
(pikiran) adalah orang yang mengikuti kehendak nafsunya dan berangan
pada (pemberian) Allah swt."
(HR. Turmudzi dan Ahmad)


Rasulullah kerap melihat suatu masalah dari sudut yang berbeda.
Standar kecerdasan seseorang dari hadits di atas dilihat dari
kemampuannya mengekang nafsu dan tingkat amal-amal shalih yang
dilakukannya untuk bekal hari akhirat. Sebaliknya pengumbar dan budak
nafsu adalah ciri orang yang lemah pikiran. Kenapa? Orang yang cerdas
dalam kriteria Rasulullah adalah orang yang memiliki pandangan jauh ke
depan, yakni kehidupan akhirat sebagai terminal kehidupan terakhir. Ia
adalah orang yang penuh pertimbangan, tidak sembrono, cermat,
hati-hati dan sungguh-sungguh melakukan aktivitasnya karena ia ingin
segala sesuatu yang dilakukannya tidak sia-sia apalagi membahayakan
dirinya. Amal-amal shalih pasti akan membuahkan ketenangan,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup.

Sebaliknya mereka yang akalnya lemah adalah para pengumbar dan budak
nafsu, tapi berharap sesuatu yang baik. Kenapa dikatakan lemah akal?
Karena orang yang bertipe seperti ini tidak pernah berpikir apa akibat
perbuatan yang dilakukannya. Ia tidak pernah memperhitungkan bagaimana
hasil kemaksiatan yang ia lakukan, baik di dunia apalagi di akhirat.
Sikap ini merupakan ciri orang yang tak memiliki perhitungan dan
pandangan ke depan. Bahkan, saking bodohnya, ia justru memiliki
perhitungan dan pandangan yang terbalik. Karena ia mengharapkan hasil
yang berlawanan dari yang dikerjakan.

Apa sebenarnya yang disebut hawa nafsu? Hawa nafsu banyak ragamnya,
termasuk kecenderungan pada yang baik mupun yang buruk. Manusia secara
fitrah memang memiliki nafsu atau kesukaan terhadap hal-hal tertentu.
Dalam Al-Qur`an disebutkan,

"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang
diingini, yakni wanita wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis
emas, perak, kuda pilihan dan sawah ladang ..." (QS. Ali Imran : 14)


Sikap mencintai seperti ini wajar. Tapi Islam mengajarkan bagaimana
seseorang menempatkan sikap itu secara proporsional. Kecenderungan
pada wanita, harta, anak-anak dan masalah keduniaan adalah hal yang
mubah. Bahkan bisa meningkat pada tingkatan wajib. Karena bagaimanapun
dunia merupakan tempat manusia hidup. Dinamika kehidupan akan mati
tanpa wujudnya kecenderungan tersebut.

Tapi bila kecintaan itu sudah melewati batas, bisa jadi terlarang.
Ketika sarana dan prasarana hidup difungsikan menyimpang dari tujuan
asasi kehidupan ini sendiri -ibadah kepada Allah- maka di sanalah
seseorang dikatakan telah menjadi hamba hawa nafsunya, karena hawa
nafsu itu telah menjauhkannya dari Allah swt. Dalam hal inilah Allah
swt mencela perbuatan mengikuti hawa nafsu,

"Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah." (QS. Shad : 26)


Hawa nafsu harus diarahkan kepada jalan yang benar. Diwarnai dengan
niat mencari ridha Allah, dan diarahkan sesuai tujuan ibadah kepada
Allah swt. Mencintai istri, anak, bekarja mencari nafkah, bisa menjadi
bernilai ibadah. Karenanya Rasulullah saw bersabda, "Tiadalah
sempurnya keimanan seorang mukmin sehingga ia menjadikan hawa nafsunya
mengikuti apa yang aku bawa." (HR. Imam Suyuthi)


(na)

No comments: