Warteg, konotasi apa yang terbayang di benak kita mendengar kata ini? Sederhana, 'ramesan', bangku-bangku kayu panjang, kumuh, atau mungkin iiih, ogah ah makan di situ? Yah, aku sih ngga bisa menyalahkan orang yang berpikiran negatif dengan warteg, mungkin saja memang itulah stereotipe umum yang terbangun subur selama ini.
Melalui perjalanan panjang dan penuh liku (cie, puitis ngga??), setelah merasakan aura sekaligus rasa hidangan dan embel-embel lain (kebersihan, senyum ramah, kerapian, de el el), akhirnya tibalah kami pada kesimpulan bahwa ternyata, sekali lagi ternyata, tidak semua warteg layak menyandang predikat "kumuh dan zorrok". Ada kok warteg yang oke banget, sehingga ngangeni kami untuk selalu datang dan datang lagi.
Mungkin hampir tiap bulan atau paling sedikit 2 kali sebulan, pada hari Ahad, seusai menggenjot sepeda dengan semangat 45, berlabuhlah kami di sebuah warteg depan pasar. Sang Ibu pemilik warteg dengan ramah selalu menyapa, anak-anak tak pernah luput disapanya, mau pesan apa. Sabar, penuh senyum, tidak tergesa-gesa atau memburu-buru bila kami merenung terlampau lama soal menu (ini mau ngelamun apa makan sih??). Sederhana ya pasti (kalau ngga, of course dia udah sulap jadi resto atau bistro), tapi pemandangan apik dan bersih itu selalu tampak. Dan yang paling menakjubkan tentu ketika makan di warteg adalah harga yang fantastis murah buangets! Contohnya ketika pekan aku terkapar itu, suami menyuruhku untuk sekalian beli menu makan siang, dan total jenderal dengan menu sarapan (2 mi goreng plus telur dan 2 nasi rames) hanya 24 ribu! Subhanallah, aku sampai bolak-balik meminta si mbaknya untuk menghitung ulang, ya kenanya cuma segitu.
Bisa aja sih ada yang berkilah aah, mungkin cuma segelintir warteg yang kayak begitu, kebanyakan mah ngga asyik. Kan bisa aja kita seleksi dulu, liat penampakan luar (emang hantu, hehe...) juga gimana sekilas lingkungan sekitarnya. Itung-itung sedekah lah, sekalian bantu perekonomian rakyat kecil, jangan cuma makan di tempat-tempat 'sophisticated' en bergengsi semacam Pizza Hut, JCo, ataw yang lainnya.
Wednesday, February 27, 2008
Monday, February 25, 2008
HARGA-HARGA MELONCAT TINGGI DI TRAMPOLIN
Hari-hari belakangan ini, dikabarkan daging lenyap dari pasaran. Diawali harga yang melambung tinggi, demo solidaritas para penjual daging di pasar tradisional, sampai mogok jualan. Yang bikin trenyuh, tadi pagi sempat kuintip update news di acara "Good Morning" Trans-TV, para penjual merelakan sebagian keuntungannya demi mengikat hati pelanggannya agar tidak lari. Duh...
Khusus untuk keluarga kami, kehilangan daging dari pandangan sesungguhnya tidak terlalu mengganggu. Bukan karena pasti kebeli (halah, sombongnya, ngga lah yaw...) tapi karena jarraaang banget kami mengomsumsi daging. Paling heibat ya ayam, paling sering en favorit adalah telur dengan aneka ragam racikan dan bentuk (dibalado, dadar, ceplok, tahu-telur, en so on...). Pernah suatu ketika suami tersayang terbelalak ketika mengetahui harga ayam kampung 50 ribu! Hah?? Yah, maklumlah bapak-bapak, ngga terpantaulah harga-harga sembako dan kawan-kawannya, kan waktunya sudah habis dengan urusan kantor.
Aku ingat betul, dulu ketika awal menikah, uang belanja rtku sebesar 150 ribu untuk sebulan (catatannya masih ada)! Sedap kan?? Nah sekarang, uang segitu cuma cukup untuk 5 hari, mengerikan ya? So untuk menarik nafas panjang supaya bisa makan dengan sederhana plus lumayan kenyang selama 30 harian, dibutuhkan dana nyaris 10 kali lipat. Oh, man!
Aku pernah bertanya ke tukang sayur langganan soal modalnya berdagang, dia bilang dulu (kayak nostalgia aja, jaman pak Harto almarhum katanya!), modalnya cukup 70 ribu, eh ndilalah sekarang kudu 700 ribu - 1 juta! Dan itupun belum tentu besoknya saat dia kembali berbelanja ke pasara, uang segitu cukup untuk membeli aneka pernak-pernik dagangannya.
Yang unik, komentar ibuku ketika aku ikut mengeluh soal harga yang menguamuk laksana banteng ketaton (hayo, apa artinya mbak Ely/Diah :)), beliau kok ya cuma berpesan pendek (bukan SMS yah, hehe...), "ya udah, beli aja sesuai uangmu, ngga kebeli ya udah, ojo ngedumel tho Nak?" Bener juga sih, artinya kan kita ngga usahlah neko-neko kepingin yang di luar kesanggupan kita, juga berarti belajar mengendalikan nafsu? Sederhana, simpel, tepat sasaran bukan? Jadi kalau memang kita sanggupnya beli telur, ya jangan beli ayam donk, juga kalau uangnya cuma cukup untuk tetelan, ya dilarang keras beli steik, apalagi beli steiknya di Jerman atau Hong Kong. Bukan apa-apa, jauhhhhh en berat diongkos :p
Khusus untuk keluarga kami, kehilangan daging dari pandangan sesungguhnya tidak terlalu mengganggu. Bukan karena pasti kebeli (halah, sombongnya, ngga lah yaw...) tapi karena jarraaang banget kami mengomsumsi daging. Paling heibat ya ayam, paling sering en favorit adalah telur dengan aneka ragam racikan dan bentuk (dibalado, dadar, ceplok, tahu-telur, en so on...). Pernah suatu ketika suami tersayang terbelalak ketika mengetahui harga ayam kampung 50 ribu! Hah?? Yah, maklumlah bapak-bapak, ngga terpantaulah harga-harga sembako dan kawan-kawannya, kan waktunya sudah habis dengan urusan kantor.
Aku ingat betul, dulu ketika awal menikah, uang belanja rtku sebesar 150 ribu untuk sebulan (catatannya masih ada)! Sedap kan?? Nah sekarang, uang segitu cuma cukup untuk 5 hari, mengerikan ya? So untuk menarik nafas panjang supaya bisa makan dengan sederhana plus lumayan kenyang selama 30 harian, dibutuhkan dana nyaris 10 kali lipat. Oh, man!
Aku pernah bertanya ke tukang sayur langganan soal modalnya berdagang, dia bilang dulu (kayak nostalgia aja, jaman pak Harto almarhum katanya!), modalnya cukup 70 ribu, eh ndilalah sekarang kudu 700 ribu - 1 juta! Dan itupun belum tentu besoknya saat dia kembali berbelanja ke pasara, uang segitu cukup untuk membeli aneka pernak-pernik dagangannya.
Yang unik, komentar ibuku ketika aku ikut mengeluh soal harga yang menguamuk laksana banteng ketaton (hayo, apa artinya mbak Ely/Diah :)), beliau kok ya cuma berpesan pendek (bukan SMS yah, hehe...), "ya udah, beli aja sesuai uangmu, ngga kebeli ya udah, ojo ngedumel tho Nak?" Bener juga sih, artinya kan kita ngga usahlah neko-neko kepingin yang di luar kesanggupan kita, juga berarti belajar mengendalikan nafsu? Sederhana, simpel, tepat sasaran bukan? Jadi kalau memang kita sanggupnya beli telur, ya jangan beli ayam donk, juga kalau uangnya cuma cukup untuk tetelan, ya dilarang keras beli steik, apalagi beli steiknya di Jerman atau Hong Kong. Bukan apa-apa, jauhhhhh en berat diongkos :p
Friday, February 22, 2008
MEMAKNAI HIDUP DENGAN SEDERHANA
Acapkali kita berfikir terlalu rumit dalam mencerna ritme hidup ini, padahal semua itu bisa diawali dari keseharian yang kita jalani. Ketika kita menyapu halaman, memandangi dedaunan yang berguguran, langit yang mendung menggantung, sebenarnya kita tengah dihadapkan pada drama kehidupan itu sendiri, bahwa hidup senantiasa seperti roda yang bergulir, kadang di atas, kadang pula di bawah, berpasangan antara suka dan duka, dan usia tua yang menjelang kala muda sudah berlalu, dan menyongsong ketiadaan...
Seperti itu pula yang sepatutnya bisa dihayati ketika kita melakukan aktivitas olahraga. Tatkala kita kayuhkan tangan dan kaki saat berenang, coba nikmati tiap ayunannya, insya Allah akan sangat berbeda dengan saat kita melakukannya tanpa penghayatan tanpa makna.
Alangkah nikmatnya, coba bayangkan betapa lebih terasa takzimnya waktu kita berlama-lama mengadu kepada-nya, tidak sekedar ritual ibadah belaka, sekedar memenuhi kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Meresapi tiap kalimat indah-Nya yang termaktub dalam kitab suci-Nya, merenunginya, merasakan betapa kecil dan tidak berartinya kita di hadapan Allah, membuat tiada celah bagi kita untuk bersikap digjaya atau takabur.
Mau mencoba?
Seperti itu pula yang sepatutnya bisa dihayati ketika kita melakukan aktivitas olahraga. Tatkala kita kayuhkan tangan dan kaki saat berenang, coba nikmati tiap ayunannya, insya Allah akan sangat berbeda dengan saat kita melakukannya tanpa penghayatan tanpa makna.
Alangkah nikmatnya, coba bayangkan betapa lebih terasa takzimnya waktu kita berlama-lama mengadu kepada-nya, tidak sekedar ritual ibadah belaka, sekedar memenuhi kewajiban kita sebagai hamba-Nya. Meresapi tiap kalimat indah-Nya yang termaktub dalam kitab suci-Nya, merenunginya, merasakan betapa kecil dan tidak berartinya kita di hadapan Allah, membuat tiada celah bagi kita untuk bersikap digjaya atau takabur.
Mau mencoba?
Wednesday, February 20, 2008
RUSUH TAPI GEMBIRA, HOW IT COME??
"Wah, besok ya Kak? Ngasih apa nih kita?"
"Tau, yuk tanya Mama..."
"Psst...., gimana? Beli aja sama Mama ya?"
"Jadi patungan berapa-berapa nih?"
"Harganya 30 ribu, bagi 2 jadi 15 ribu per orang."
Dan wuzzzzz, berlarilah 2 orang ini mengambil tabungannya, diangsurkan padaku sejumlah 15 ribu, dan 'barang idaman' pun berpindah tangan, pagi itu, di sela kehebohan bersiap ke sekolah. Tapi ternyata 'upacara' ini belum usai...
"Dik, sini nyumbang seribu lagi, kakak mau beli bungkus bunga-bunga."
Si adik enteng aja mengangsurkan selembar ribuan (lagi) ke tangan kakaknya, siip dah...
"Eh Yusuf, sst...nya disimpan aja di lemari dulu ya, nanti ketahuan Papa lho."
"Ok."
Wuzz... kabur lagi dia ke atas, aku cuma bisa geleng-geleng bercampur geli melihat antusiasme mereka...
***
Pulang sekolah, anak-anak tidur siang sebentar. Dan sore itu, si kakak kembali sibuk dengan bungkus bunga-bunga dan segepok koran. Ini ngapain sih, dari tadi ceritanya full-misteri begini?? Hehe, tunggu dulu donk, sabar ya...
Dipatut-patutnya ukuran kertas dengan dus psst...nya, dan...
"Yaah Ma, ngga muat kalo pake dus susu, ganti aja ya?"
"Ya udah, ngga papa Nak, boleh aja."
Lantas, sibuk lagi dia -- sambil diawasi sang adik -- dengan koran-koran lama, dibungkusnya dus kecil itu satu persatu sehingga makin lama makin 'membesar', barulah ditutup dengan bungkus bunga-bunga tadi.
Eng ing eng, alhamdulillah jadi deh kado cantik usil bikinan anak-anak untuk... Papanya tercinta yang sedang milad alias ultah. Dasar anak-anak, jiwa isengnya muncul, ya koran lah diuntel-untel untuk kamuflase ukuran kado, ya bungkus bunga-bunga (pink lagi, hehe...) yang udah pasti ngga matching dengan ke-macho-an (halah, ini bahasa ngawur pisan!) Papanya. Anyway busway, tetep aja yang muncul kuat ke permukaan adalah betapa mereka -- dengan caranya yang unik bin antik -- menyayangi Papanya.
Bukan sekali ini Papanya jadi korban, aku malah paling sering jadi sasaran tembak (untungnya 'nyawaku' banyak, hehe... I'm still alive :)) Entah dihadiahi pas hari Ibu dengan aneka ragam bentuk, dari buku notes, pulpen fancy, atau sekedar torehan karya mereka. Apapun, semua terasa spesial karena kerusuhan gembira yang dilakukan kedua juniorku ini. Memang sih suatu kali ada efek sampingnya, yaitu curhat si adik bahwa dia merasa ditodong si kakak untuk urunan ("itu, kakak minta 10 ribu ke Yusuf, uang Yusuf jadi kurang deh", sambil mukanya ditekuk dan mulutnya cemberut). Ya udah, demi keamanan dan ketentraman bersama, kuganti uangnya sambil melipur laranya.
Aah, buat anak-anak, cinta bisa diwujudkan tanpa banyak tanya dan perenungan, tidak serumit yang dipikir para manusia dewasa. Setuju??
"Tau, yuk tanya Mama..."
"Psst...., gimana? Beli aja sama Mama ya?"
"Jadi patungan berapa-berapa nih?"
"Harganya 30 ribu, bagi 2 jadi 15 ribu per orang."
Dan wuzzzzz, berlarilah 2 orang ini mengambil tabungannya, diangsurkan padaku sejumlah 15 ribu, dan 'barang idaman' pun berpindah tangan, pagi itu, di sela kehebohan bersiap ke sekolah. Tapi ternyata 'upacara' ini belum usai...
"Dik, sini nyumbang seribu lagi, kakak mau beli bungkus bunga-bunga."
Si adik enteng aja mengangsurkan selembar ribuan (lagi) ke tangan kakaknya, siip dah...
"Eh Yusuf, sst...nya disimpan aja di lemari dulu ya, nanti ketahuan Papa lho."
"Ok."
Wuzz... kabur lagi dia ke atas, aku cuma bisa geleng-geleng bercampur geli melihat antusiasme mereka...
***
Pulang sekolah, anak-anak tidur siang sebentar. Dan sore itu, si kakak kembali sibuk dengan bungkus bunga-bunga dan segepok koran. Ini ngapain sih, dari tadi ceritanya full-misteri begini?? Hehe, tunggu dulu donk, sabar ya...
Dipatut-patutnya ukuran kertas dengan dus psst...nya, dan...
"Yaah Ma, ngga muat kalo pake dus susu, ganti aja ya?"
"Ya udah, ngga papa Nak, boleh aja."
Lantas, sibuk lagi dia -- sambil diawasi sang adik -- dengan koran-koran lama, dibungkusnya dus kecil itu satu persatu sehingga makin lama makin 'membesar', barulah ditutup dengan bungkus bunga-bunga tadi.
Eng ing eng, alhamdulillah jadi deh kado cantik usil bikinan anak-anak untuk... Papanya tercinta yang sedang milad alias ultah. Dasar anak-anak, jiwa isengnya muncul, ya koran lah diuntel-untel untuk kamuflase ukuran kado, ya bungkus bunga-bunga (pink lagi, hehe...) yang udah pasti ngga matching dengan ke-macho-an (halah, ini bahasa ngawur pisan!) Papanya. Anyway busway, tetep aja yang muncul kuat ke permukaan adalah betapa mereka -- dengan caranya yang unik bin antik -- menyayangi Papanya.
Bukan sekali ini Papanya jadi korban, aku malah paling sering jadi sasaran tembak (untungnya 'nyawaku' banyak, hehe... I'm still alive :)) Entah dihadiahi pas hari Ibu dengan aneka ragam bentuk, dari buku notes, pulpen fancy, atau sekedar torehan karya mereka. Apapun, semua terasa spesial karena kerusuhan gembira yang dilakukan kedua juniorku ini. Memang sih suatu kali ada efek sampingnya, yaitu curhat si adik bahwa dia merasa ditodong si kakak untuk urunan ("itu, kakak minta 10 ribu ke Yusuf, uang Yusuf jadi kurang deh", sambil mukanya ditekuk dan mulutnya cemberut). Ya udah, demi keamanan dan ketentraman bersama, kuganti uangnya sambil melipur laranya.
Aah, buat anak-anak, cinta bisa diwujudkan tanpa banyak tanya dan perenungan, tidak serumit yang dipikir para manusia dewasa. Setuju??
Tuesday, February 19, 2008
SPECIAL POEM FOR SPECIAL MAN IN MY LIFE...
AKU INGIN
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKA
Ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa : betapa sengit
cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
menyisih awan hari ini; di bumi
meriap sepi nan purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,
bulu-bulu cahaya : betapa parah
cinta kita
Mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah
(puisi: SAPARDI DJOKO DAMONO)
Happy milad, barakallah, dikaulah amanah terbaik yang direngkuh-Nya kepadaku...
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKA
Ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa : betapa sengit
cinta kita
cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit
menyisih awan hari ini; di bumi
meriap sepi nan purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
di sayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,
bulu-bulu cahaya : betapa parah
cinta kita
Mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah
(puisi: SAPARDI DJOKO DAMONO)
Happy milad, barakallah, dikaulah amanah terbaik yang direngkuh-Nya kepadaku...
Monday, February 18, 2008
TERKAPAR...
Seumur-umur, kayaknya baru Ahad kemarin ini bodi ini bener-bener kagak bisa diajak kompromi. Ini bukan ngomongin bodi mobil yang bisa diketok-mejik, tapi bodi alias badan sendiri! Karena kebetulan sedang tidak shalat, cuma sebentar terbangun waktu suami tercinta shalat Subuh, habis itu kok ya bablas, en bablasnya tidak tanggung-tanggung sodara-sodara, sampai 3 jam! Agak prihatin sih, hiks, apa beginilah nasib tambah umur, tambah payah... Ngaku tua tapi kok funky sih??
Yang sangaaaaat mengharukan, suamiku ngga pake ngomel ngga pake ngedumel istrinya kebluk begitu (hayo, yang ngga ngerti kebluk ngacung!). Tahu-tahu saat aku bangun, sudah ada secangkir kopi susu hangat di atas meja makan, cucian sudah diputar di mesin cuci, dan... pe-er setrikaan kemarin sudah rapi jali dikerjakannya. Ditilik-tilik dengan seksama, subhanallah... sama sekali ngga ada sedikitpun gurat jengkel atau pamrih minta diberi ucapan "haik, arigato!". Malah senyum senantiasa tersungging di bibirnya yang manis...
Kelihatannya memang terkaparnya daku di hari Minggu kelabu adalah berkat akumulasi aktivitasku yang seabrek 5 hari sebelumnya. Urusan sekolah, ngaji (setoran hafalan), me-time tapi sesungguhnya melototin celana training untuk suamiku (maklum, niatnya buat kado ultahnya), jenguk anaknya tetangga di RS, ikutan seminar, halah... pokoke beneran memeras otak, tenaga, en waktu off course lah...
Naah, heibatnya lagi, suami yang emang dari sononya irit bicara, include dulunya jarang mengumbar kata-kata romantis, hampir selalu sigap turun tangan membantu, bukan golongan bapak-bapak anggota NATO (not action talk only). So para ibu-ibu penggemar blog ini (hehe, ge-er!) hargailah jerih-payah usaha para suami tercinta, jangan cuma terpana oleh kata-kata gombal "Ai lap you..." ajah, setuju? We need action!!
Yang sangaaaaat mengharukan, suamiku ngga pake ngomel ngga pake ngedumel istrinya kebluk begitu (hayo, yang ngga ngerti kebluk ngacung!). Tahu-tahu saat aku bangun, sudah ada secangkir kopi susu hangat di atas meja makan, cucian sudah diputar di mesin cuci, dan... pe-er setrikaan kemarin sudah rapi jali dikerjakannya. Ditilik-tilik dengan seksama, subhanallah... sama sekali ngga ada sedikitpun gurat jengkel atau pamrih minta diberi ucapan "haik, arigato!". Malah senyum senantiasa tersungging di bibirnya yang manis...
Kelihatannya memang terkaparnya daku di hari Minggu kelabu adalah berkat akumulasi aktivitasku yang seabrek 5 hari sebelumnya. Urusan sekolah, ngaji (setoran hafalan), me-time tapi sesungguhnya melototin celana training untuk suamiku (maklum, niatnya buat kado ultahnya), jenguk anaknya tetangga di RS, ikutan seminar, halah... pokoke beneran memeras otak, tenaga, en waktu off course lah...
Naah, heibatnya lagi, suami yang emang dari sononya irit bicara, include dulunya jarang mengumbar kata-kata romantis, hampir selalu sigap turun tangan membantu, bukan golongan bapak-bapak anggota NATO (not action talk only). So para ibu-ibu penggemar blog ini (hehe, ge-er!) hargailah jerih-payah usaha para suami tercinta, jangan cuma terpana oleh kata-kata gombal "Ai lap you..." ajah, setuju? We need action!!
Friday, February 15, 2008
TOTTO CHAN...
Bagaimana reaksi Anda menghadapi anak yang seenaknya memanggil pengamen untuk berdendang kala tengah pelajaran? Atau sanggupkah Anda mendengar nano-nano kisah si anak dan duduk tenang mendengarkannya tanpa berkeluh-kesah selama 4 jam? Kalau itupun belum cukup memunculkan rasa tak berdaya pada diri Anda, coba bayangkan apa yang Anda lakukan menyaksikan seorang anak asyik mengaduk-aduk pembuangan WC untuk mencari dompet mungilnya yang meluncur mulus masuk lubang WC saat BAK?
Yang terbayang di benak Anda kemungkinan besar adalah memarahinya bukan? Banyak mendesah dan bolak-balik melirik jam? Mungkin juga alam pikiran kita lanagsung 'keriting' hingga perlu cepat-cepat di-rebonding? Hm, tampaknya kita perlu belajar banyak dari pak Sosaku Kobayashi, kepsek Sd Tomoe, Jepang, ketika menghadapi aneka tingkah-polah Totto Chan, sang murid baru pindahan, atau tepatnya, yang dipaksa keluar dari sekolah lama akibat perilakunya yang 'ajaib' tadi.
Membaca buku ini -- diterbitkan Gramedia, sebelumnya oleh penerbit kecil -- aku seolah disadarkan betapa pak Sosaku punya kadar kesabaran berlipat ganda, bahkan untuk adegan mengaduk-aduk isi pembuangan WC, beliau cukup berkomentar,"nanti dirapikan kembali ya?" sambil berlalu. Waah, mana mungkin begitu? Paling tidak kita akan mengawasi dengan penuh selidik, barangkali, apakah dia benar menepati janjinya merapikan hasil adukannya tadi? Eits, jangan sewot dulu dong hehe...
Menyimak kisah-kisah nyata yang dituturkan Tetsuko Kuroyanagi saat dia bersekolah dasar di SD Tomoe, kita seperti dihadapkan oleh banyak cita rasa model pendidikan Jepang, yang sedikit banyak nyaris sama dengan di Indonesia. ingat kan waktu kecil dulu ada saja guru 'killer' yang galak dan seolah tanpa kompromi dengan sifat anak-anak yang aneh bin ajaib seperti Totto? Nah di sekolah Totto yang lama, friksi yang kian tajam antara Totto vs guru akhirnya tak terelakkan sehingga mengakibatkan murid sejenis Totto harus angkat kaki.
Pada akhirnya, aneka kegembiraan, ragam life-skill untuk anak-anak kita, juga contoh kesabaran guru dan kepsek SD Tomoe semoga bisa menginspirasi kita semua... Beli yuk, insya Allah buku bagus nih, well-recommended!! Waspadalah eh... percayalah!!
Yang terbayang di benak Anda kemungkinan besar adalah memarahinya bukan? Banyak mendesah dan bolak-balik melirik jam? Mungkin juga alam pikiran kita lanagsung 'keriting' hingga perlu cepat-cepat di-rebonding? Hm, tampaknya kita perlu belajar banyak dari pak Sosaku Kobayashi, kepsek Sd Tomoe, Jepang, ketika menghadapi aneka tingkah-polah Totto Chan, sang murid baru pindahan, atau tepatnya, yang dipaksa keluar dari sekolah lama akibat perilakunya yang 'ajaib' tadi.
Membaca buku ini -- diterbitkan Gramedia, sebelumnya oleh penerbit kecil -- aku seolah disadarkan betapa pak Sosaku punya kadar kesabaran berlipat ganda, bahkan untuk adegan mengaduk-aduk isi pembuangan WC, beliau cukup berkomentar,"nanti dirapikan kembali ya?" sambil berlalu. Waah, mana mungkin begitu? Paling tidak kita akan mengawasi dengan penuh selidik, barangkali, apakah dia benar menepati janjinya merapikan hasil adukannya tadi? Eits, jangan sewot dulu dong hehe...
Menyimak kisah-kisah nyata yang dituturkan Tetsuko Kuroyanagi saat dia bersekolah dasar di SD Tomoe, kita seperti dihadapkan oleh banyak cita rasa model pendidikan Jepang, yang sedikit banyak nyaris sama dengan di Indonesia. ingat kan waktu kecil dulu ada saja guru 'killer' yang galak dan seolah tanpa kompromi dengan sifat anak-anak yang aneh bin ajaib seperti Totto? Nah di sekolah Totto yang lama, friksi yang kian tajam antara Totto vs guru akhirnya tak terelakkan sehingga mengakibatkan murid sejenis Totto harus angkat kaki.
Pada akhirnya, aneka kegembiraan, ragam life-skill untuk anak-anak kita, juga contoh kesabaran guru dan kepsek SD Tomoe semoga bisa menginspirasi kita semua... Beli yuk, insya Allah buku bagus nih, well-recommended!! Waspadalah eh... percayalah!!
Thursday, February 14, 2008
TUGAS KITA ADALAH BERIKHTIAR!
sumber: Motivasi_Net
Ketika orang lain berbicara sejuta basa, tetaplah anda bekerja.
Cangkullah sawah itu dan taburi dengan benih. Ketika orang
lain berdiam tak tahu harus berkata apa, teruskan kerja anda.
Siangi dan airi putik-putik yang baru bertunas itu. Ketika
orang lain saling tuding saling hunus, bekerjalah dalam
istirahat anda. Senandungkan seranai pengundang angin dan
gerimis. Ketika orang lain terlelap pada tidur nyenyak mereka,
jangan putuskan kerja anda. Bekerjalah dengan doa dan harapan,
"semoga ikhtiar ini menjadi kebaikan bagi segenap semesta."
Maka, ketika orang lain tergugah dari peraduannya, ajaklah
mereka untuk mengangkat sabit memungut panen yang telah masak.
Bila mereka tak jua berkenan, jangan kecil hati. Terus dan
tetaplah bekerja. Bekerja, karena itulah yang semestinya kita
kerjakan.
Apa pun yang terjadi di muka bumi, sang mentari tak berhenti
sedetik pun dari kerja; mengipasi tungku pembakaran raksasanya;
menebarkan kehangatan ke seluruh galaksi. Maka, tak ada alasan
yang lebih baik untuk keberadaan kita di sini, selain bekerja,
mengubah energi hangat matari menjadi kebaikan semesta.
Ketika orang lain berbicara sejuta basa, tetaplah anda bekerja.
Cangkullah sawah itu dan taburi dengan benih. Ketika orang
lain berdiam tak tahu harus berkata apa, teruskan kerja anda.
Siangi dan airi putik-putik yang baru bertunas itu. Ketika
orang lain saling tuding saling hunus, bekerjalah dalam
istirahat anda. Senandungkan seranai pengundang angin dan
gerimis. Ketika orang lain terlelap pada tidur nyenyak mereka,
jangan putuskan kerja anda. Bekerjalah dengan doa dan harapan,
"semoga ikhtiar ini menjadi kebaikan bagi segenap semesta."
Maka, ketika orang lain tergugah dari peraduannya, ajaklah
mereka untuk mengangkat sabit memungut panen yang telah masak.
Bila mereka tak jua berkenan, jangan kecil hati. Terus dan
tetaplah bekerja. Bekerja, karena itulah yang semestinya kita
kerjakan.
Apa pun yang terjadi di muka bumi, sang mentari tak berhenti
sedetik pun dari kerja; mengipasi tungku pembakaran raksasanya;
menebarkan kehangatan ke seluruh galaksi. Maka, tak ada alasan
yang lebih baik untuk keberadaan kita di sini, selain bekerja,
mengubah energi hangat matari menjadi kebaikan semesta.
Wednesday, February 13, 2008
BULANG (IBU-IBU PETUALANG): PASAR MALAM
Malam mingguan enaknya ke mana yah? Eit, jangan mikir beduaan man, ini mah rombongan keluarga bahagia (haha, insya Allah!) yang tengah bosan dengan rutinitas menyantap nasgor di ujung jalan sono :)
So setelah melalui perundingan ketat bin alot (ini rapat apa makan steik sih??), dilampiri dengan berbagai dalih dan survei lumayan matang dari bos besar penyandang dana, akhirnya lahirlah keputusan untuk menjajal pecel lele di perkampungan atas masjid. Ok, kemon lah yaw...
Naah, ceritanya malam minggu lalu itu kali ketiga rombongan kami mencicipi hidangan di situ, alhamdulillah cocok aja tuh. Bukan tipe
high-involvement alias rewel dengan aneka toto dahar, servis, plus senyum angkuh sang pelayan (wong ini just using gerobax dorong sederhana and 2 mbak-mbak muda usia yang manis-manis kok),pokoke asal mak nyuuus, hayo sergap, laparrr soalnya, hehe...
Usai melicintandaskan hidangan pecel lele/ayam, sang bos mengajak untuk melewati rute lain, itung-itung nunggu 'makanan turun' kate orang tua dulu. Dasar nasib bae', kok ya pas digelar pasar malam, pasar rakyat gitu deh. Ada es krim seribu (paket serbu serba lima rebu McD mah lewat!), VCD bajakan, mainan anak-anak, mesin jahit portabel mirip straples, juga... komidi putar (untung inget udah tua, kalo ngga mah, langsung mbayar trus naik deh, hehe...)! Setelah penjajagan 1 babak, akhirnya lembar-lembar ribuan mulai meluncur mulus dari dompet mboke and bapake anak-anak. Es krim dan mesin jahit sukses diboyong, total ngga sampe 20 rebu sodara-sodara! Asyik kan?
Yang fantastis adalah antusiasme warga, rakyat kecil, hilir-mudik ngga putus-putus. Dan yang bikin takjub, kayaknya bukan cuma warga sekitar situ yang tertarik berkunjung, tapi juga yang lokasi rumahnya agak jauh. Terus-terang, perasaan waktu itu overwhelmed lah, campur-aduk, antara senang, miris, sedih, betapa sodara-sodara kita, sebangsa setanah air, yang kebetulan masuk golongan menengah ke bawah, begitu haus dengan hiburan seperti pasar malam begini. Harapan sih sering-sering aja diadain lah, buat sarana refeshing, penghilang stres di tengah kecemasan membumbungnya harga-harga, ancaman penggusuran, juga kecemasan di-PHK.
Setuju sodara-sodara??
So setelah melalui perundingan ketat bin alot (ini rapat apa makan steik sih??), dilampiri dengan berbagai dalih dan survei lumayan matang dari bos besar penyandang dana, akhirnya lahirlah keputusan untuk menjajal pecel lele di perkampungan atas masjid. Ok, kemon lah yaw...
Naah, ceritanya malam minggu lalu itu kali ketiga rombongan kami mencicipi hidangan di situ, alhamdulillah cocok aja tuh. Bukan tipe
high-involvement alias rewel dengan aneka toto dahar, servis, plus senyum angkuh sang pelayan (wong ini just using gerobax dorong sederhana and 2 mbak-mbak muda usia yang manis-manis kok),pokoke asal mak nyuuus, hayo sergap, laparrr soalnya, hehe...
Usai melicintandaskan hidangan pecel lele/ayam, sang bos mengajak untuk melewati rute lain, itung-itung nunggu 'makanan turun' kate orang tua dulu. Dasar nasib bae', kok ya pas digelar pasar malam, pasar rakyat gitu deh. Ada es krim seribu (paket serbu serba lima rebu McD mah lewat!), VCD bajakan, mainan anak-anak, mesin jahit portabel mirip straples, juga... komidi putar (untung inget udah tua, kalo ngga mah, langsung mbayar trus naik deh, hehe...)! Setelah penjajagan 1 babak, akhirnya lembar-lembar ribuan mulai meluncur mulus dari dompet mboke and bapake anak-anak. Es krim dan mesin jahit sukses diboyong, total ngga sampe 20 rebu sodara-sodara! Asyik kan?
Yang fantastis adalah antusiasme warga, rakyat kecil, hilir-mudik ngga putus-putus. Dan yang bikin takjub, kayaknya bukan cuma warga sekitar situ yang tertarik berkunjung, tapi juga yang lokasi rumahnya agak jauh. Terus-terang, perasaan waktu itu overwhelmed lah, campur-aduk, antara senang, miris, sedih, betapa sodara-sodara kita, sebangsa setanah air, yang kebetulan masuk golongan menengah ke bawah, begitu haus dengan hiburan seperti pasar malam begini. Harapan sih sering-sering aja diadain lah, buat sarana refeshing, penghilang stres di tengah kecemasan membumbungnya harga-harga, ancaman penggusuran, juga kecemasan di-PHK.
Setuju sodara-sodara??
Tuesday, February 12, 2008
MARI KITA BERSYUKUR!
Oleh: Arvan Pradiansyah
Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada supir pribadinya, "Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?" Si supir menjawab,"Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai" Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, "Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
Supirnya menjawab, "Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan."
Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur. Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah Anda sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Tapi Anda masih merasa kurang.
Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita
miliki, kita tak pernah menjadi ''kaya'' dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang 'kaya'. Orang yang 'kaya' bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.
Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, ''Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.'' Ini perwujudan rasa syukur.
Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.
Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.
Saya ingat, pertama kali bekerja saya senantiasa membandingkan penghasilan saya dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini membuat saya resah dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa teladan di kampus, saya merasa gelisah setiap mengetahui ada kawan satu angkatan yang memperoleh penghasilan di atas saya. Nyatanya, selalu saja ada kawan yang penghasilannya melebihi saya.
Saya menjadi gemar berganta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai akhirnya saya sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya dapatkan. Kini saya sangat menikmati pekerjaan saya.
Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, "Lulu, Lulu." Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini. Si dokter menjawab, "Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu." Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di
tembok dan berteriak, "Lulu, Lulu". "Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?" tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab,"Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu".
Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, "Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak
kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga".
Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada supir pribadinya, "Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?" Si supir menjawab,"Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai" Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, "Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
Supirnya menjawab, "Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan."
Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur. Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah Anda sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Tapi Anda masih merasa kurang.
Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita
miliki, kita tak pernah menjadi ''kaya'' dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang 'kaya'. Orang yang 'kaya' bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.
Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, ''Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi.'' Ini perwujudan rasa syukur.
Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.
Hal kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.
Saya ingat, pertama kali bekerja saya senantiasa membandingkan penghasilan saya dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini membuat saya resah dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa teladan di kampus, saya merasa gelisah setiap mengetahui ada kawan satu angkatan yang memperoleh penghasilan di atas saya. Nyatanya, selalu saja ada kawan yang penghasilannya melebihi saya.
Saya menjadi gemar berganta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai akhirnya saya sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya dapatkan. Kini saya sangat menikmati pekerjaan saya.
Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, "Lulu, Lulu." Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini. Si dokter menjawab, "Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu." Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di
tembok dan berteriak, "Lulu, Lulu". "Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?" tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab,"Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu".
Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, "Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak
kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga".
Monday, February 11, 2008
ARTI SEBUAH KEMENANGAN
sumber: Motivasi_net
Kemenangan bukanlah hanya ketika kita berhasil mengalahkan
lawan di suatu pertandingan. Dan bukan hanya ketika kita
berhasil mencapai prestasi terbaik. Bahkan, bukan hanya
ketika kita berhasil mendapatkan semua yang kita inginkan
dalam hidup ini.
Tapi, kemenangan adalah saat di mana kita dapat melawan suatu
kegagalan. Saat di mana kita dapat mengatasi musibah. Saat di
mana kita dapat bangkit dari suatu keadaan yang menyedihkan.
Dan, saat di mana kita merasa sangat terpuruk namun kita mampu
berjuang menghancurkan semua cobaan itu.
Kemenangan adalah saat di mana kita dapat menjadikan itu
semua sebagai pertanda betapa sayangnya Sang Maha Pencipta
kepada kita. Saat dimana kita menyadari betapa kita dapat
belajar banyak dari semua kegagalan yang kita alami.
Dan, kemenangan adalah saat di mana kita melangkah begitu
mantap dan yakin bahwa kita begitu hebat untuk sekedar melawan
suatu kegagalan kecil. Saat dimana kita dapat mengalahkan diri
kita sendiri, sehingga kadang-kadang kita merindukan sebuah
kegagalan. Karena kegagalanlah yang membuat kita sadar di mana
kita berada.
Kemenangan bukanlah hanya ketika kita berhasil mengalahkan
lawan di suatu pertandingan. Dan bukan hanya ketika kita
berhasil mencapai prestasi terbaik. Bahkan, bukan hanya
ketika kita berhasil mendapatkan semua yang kita inginkan
dalam hidup ini.
Tapi, kemenangan adalah saat di mana kita dapat melawan suatu
kegagalan. Saat di mana kita dapat mengatasi musibah. Saat di
mana kita dapat bangkit dari suatu keadaan yang menyedihkan.
Dan, saat di mana kita merasa sangat terpuruk namun kita mampu
berjuang menghancurkan semua cobaan itu.
Kemenangan adalah saat di mana kita dapat menjadikan itu
semua sebagai pertanda betapa sayangnya Sang Maha Pencipta
kepada kita. Saat dimana kita menyadari betapa kita dapat
belajar banyak dari semua kegagalan yang kita alami.
Dan, kemenangan adalah saat di mana kita melangkah begitu
mantap dan yakin bahwa kita begitu hebat untuk sekedar melawan
suatu kegagalan kecil. Saat dimana kita dapat mengalahkan diri
kita sendiri, sehingga kadang-kadang kita merindukan sebuah
kegagalan. Karena kegagalanlah yang membuat kita sadar di mana
kita berada.
Sunday, February 10, 2008
HAJATAN SPESIAL (part 2)
Sambutan dari bapak ketua panitia menghentikan segala bisik-bisik, suara baritonnya membelah pagi yang cerah.
“Baiklah, sebelum kita mulai, mari kita berdoa dulu, menurut agama dan kepercayaan masing-masing, semoga hajatan kita ini dapat berjalan sukses dan lancar. Berdoa mulai!”
Selesai disumpah, para panitia yang menempati posnya masing-masing menunjukkan sejumlah perlengkapan yang ada kepada para hadirin. Amplop coklat berisi berita acara, surat suara, kotak suara yang tegas-tegas dipertunjukkan kenihilan isinya, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Lama betul tho? Kapan nyoblosnya?”
Ada decak kesal dari Pak Priyo, mantan wiraswastawan.
“Sabar, Pak Priyo. 5 tahun sekali Pak,”
Anak-anak juga mulai tak bisa disuruh tenang.
“Jangan lupa bu, moncong putih yo, he… he… he…”
“We, moncong apa mencong kowe(17)?”
“Oo ndak boleh, ingat tanggal 5 coblos nomor 5 ya pak?”
“Puyer aja, puyer 16, dari pada pusing-pusing.”
Anak-anak makin ramai, terkikik-kikik mereka di luar arena TPS 179 itu. Mungkin jauh di lubuk hatinya, mereka ingin menggoda hati orang-orang dewasa yang masih kebingungan menentukan pilihannya pada PEMILU kali ini, atau mungkin juga sebenarnya mereka kepingin ikutan nyoblos…
Lik Darmo buru-buru meredam kegembiraan dan keiisengan anak-anak itu.
“Heisya, anak-anak! Ojo berisik tho. Kampanye wis lewat. Main sana!”
Kejahilan anak-anak tadi tanpa disengaja menurunkan ketegangan dan keseriusan di wajah para pemilih.
“Nah, bapak-bapak, ibu-ibu. Jangan berlama-lama di bilik suara ya, waktu kita dibatasi. Jam 1 harus selesai lho. Sambil menunggu giliran, pikir-pikir lagi parpol yang mau dicoblos. Itung-itung ya seperti kita dulu mau menikah tho? Biar banyak yang naksir dan kita juga banyak suka, kan ndak bisa semuanya kita kawini tho? Emang kita bangsa kucing opo?”
Tawa membahana mendengar banyolan Ketua KPPS.
“Sekarang waktunya kita milih. Kemarin-kemarin kampanye sudah, kita sudah lihat mana yang menarik hati. Ojo pilih sing bohongi rakyat lho ibu-ibu, bapak-bapak. Sopo sing entuk(18) serangan fajar yo ben(19), uangnya disimpen tapi ojo coblos partainya. Setuju??”
“Setuju!!”
Satu persatu pemilih dipanggil, masuk ke dalam bilik. Ada yang keluar dari bilik suara dengan wajah cerah dan langkah mantap, tapi banyak juga yang lama sekali mendekam di sana hingga harus diingatkan petugas KPPS.
“Ayo mbah Suro, ojo kesuwen(20). Yang lain nunggu giliran.”
Dengan lantang, Mbah Suro malah balas menjawab dari balik bilik,”habis bingung, ra kewaca(21) nama caleg DPDnya. Yo wis (22) lah, ben cepet(23), pilih sing jenenge apik, rupane bagus wae(24).”
“Kalau aku tadi ngitung kancing Pakne…,” istri mbah Suro nyeletuk.
Panitia KPPS mesem-mesem saja mendengarnya. Ah, sosialisasi calegnya ndak sampe rupanya… Lha, panitianya saja bingung mau pilih siapa, ndak ada yang kenal satu pun, apalagi rakyat kecil!
Begitulah. Keramaian masih terus berlangsung, tak terusik oleh matahari yang kian mencorong mencurahkan panasnya. Justru makin sore tatkala masa pencoblosan telah digantikan masa penghitungan suara, suasana tambah semarak.
“Hore, hidup PKS. Aku bilang opo, tuh menang dari moncong putih. We!”
“Belum tentu ye. Partainya SBY tuh juga jago…”
“Kuning, kuning.”
“Ijo, ijo, P3 hidup! Ijo, ijo, hidup PKB, membela yang benar!”
“Plok, plok, plok…”
“Eh, ada juga yang milih partai ora ngetop (25)tho?”
Riuh rendah suara anak-anak yang dominan ditambah bunyi tetabuhan kaleng bertutup kertas semen membuat TPS itu penuh gelak tawa. Saksi-saksi partai yang tadinya kecut dan tegang menyaksikan partainya ketinggalan jauh dari partai ‘kuda hitam’ maupun partai lama, menjadi cair hatinya. Ini beneran hajatan, tenan!!
*****
Jam sepuluh malam…
Mata-mata mulai memberat, bantal dan kasur yang empuk menghimbau-himbau, memanggil pulang. Namun pekerjaan masih menumpuk.
“Ngopi lagi Pak Marto, ojo turu(26) lho. Berita Acarane durung mbok gawe(27).”
“Wuah, uenake justru turu Pak Joko, ora nulis 11 rangkap Berita Acara kuwi. Hoaah…”
Setelah dikilik-kilik sesama panitia lainnya, dan menyeruput kopi sumbangan ibu-ibu dus kripik singkong, mata Pak Marto sedikit bisa diganjal. Mulai kerja lagi, ayo… ayo… Demi pemerintah, kita kan rakyat yang patuh tho?? Demi uang 80 ribu, hoahh…
Tiba-tiba… DUARR!!
“Hujan, hujan!! Pak Marto, bangun pak! Sampeyan keturon(28) yo?”
“Astaghfirullah! Hh, di mana?”
“Cepetan, selamatkan kertas-kertas, surat suara. Demi negara, demi pemerintah.”
“Hoahh, hidup rakyat!”
Cimanggis, 8 April 2004
terj.:
Kowe: kamu (kasar)
Yo ben: ya biar
Sopo sing entuk: siapa yang dapat
Ojo kesuwen: jangan kelamaan
Ra keawaca: tidak terbaca
Yo wis, ben cepet; ya sudah, biar cepat
Sing jenenge apik, rupane bagus wae: yang namanya bagus, wajahnya ganteng saja
Ora ngetop: tidak terkenal
Ojo turu: jangan tidur
Durung mbok gawe: belum dibuat
Keturon: ketiduran
“Baiklah, sebelum kita mulai, mari kita berdoa dulu, menurut agama dan kepercayaan masing-masing, semoga hajatan kita ini dapat berjalan sukses dan lancar. Berdoa mulai!”
Selesai disumpah, para panitia yang menempati posnya masing-masing menunjukkan sejumlah perlengkapan yang ada kepada para hadirin. Amplop coklat berisi berita acara, surat suara, kotak suara yang tegas-tegas dipertunjukkan kenihilan isinya, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Lama betul tho? Kapan nyoblosnya?”
Ada decak kesal dari Pak Priyo, mantan wiraswastawan.
“Sabar, Pak Priyo. 5 tahun sekali Pak,”
Anak-anak juga mulai tak bisa disuruh tenang.
“Jangan lupa bu, moncong putih yo, he… he… he…”
“We, moncong apa mencong kowe(17)?”
“Oo ndak boleh, ingat tanggal 5 coblos nomor 5 ya pak?”
“Puyer aja, puyer 16, dari pada pusing-pusing.”
Anak-anak makin ramai, terkikik-kikik mereka di luar arena TPS 179 itu. Mungkin jauh di lubuk hatinya, mereka ingin menggoda hati orang-orang dewasa yang masih kebingungan menentukan pilihannya pada PEMILU kali ini, atau mungkin juga sebenarnya mereka kepingin ikutan nyoblos…
Lik Darmo buru-buru meredam kegembiraan dan keiisengan anak-anak itu.
“Heisya, anak-anak! Ojo berisik tho. Kampanye wis lewat. Main sana!”
Kejahilan anak-anak tadi tanpa disengaja menurunkan ketegangan dan keseriusan di wajah para pemilih.
“Nah, bapak-bapak, ibu-ibu. Jangan berlama-lama di bilik suara ya, waktu kita dibatasi. Jam 1 harus selesai lho. Sambil menunggu giliran, pikir-pikir lagi parpol yang mau dicoblos. Itung-itung ya seperti kita dulu mau menikah tho? Biar banyak yang naksir dan kita juga banyak suka, kan ndak bisa semuanya kita kawini tho? Emang kita bangsa kucing opo?”
Tawa membahana mendengar banyolan Ketua KPPS.
“Sekarang waktunya kita milih. Kemarin-kemarin kampanye sudah, kita sudah lihat mana yang menarik hati. Ojo pilih sing bohongi rakyat lho ibu-ibu, bapak-bapak. Sopo sing entuk(18) serangan fajar yo ben(19), uangnya disimpen tapi ojo coblos partainya. Setuju??”
“Setuju!!”
Satu persatu pemilih dipanggil, masuk ke dalam bilik. Ada yang keluar dari bilik suara dengan wajah cerah dan langkah mantap, tapi banyak juga yang lama sekali mendekam di sana hingga harus diingatkan petugas KPPS.
“Ayo mbah Suro, ojo kesuwen(20). Yang lain nunggu giliran.”
Dengan lantang, Mbah Suro malah balas menjawab dari balik bilik,”habis bingung, ra kewaca(21) nama caleg DPDnya. Yo wis (22) lah, ben cepet(23), pilih sing jenenge apik, rupane bagus wae(24).”
“Kalau aku tadi ngitung kancing Pakne…,” istri mbah Suro nyeletuk.
Panitia KPPS mesem-mesem saja mendengarnya. Ah, sosialisasi calegnya ndak sampe rupanya… Lha, panitianya saja bingung mau pilih siapa, ndak ada yang kenal satu pun, apalagi rakyat kecil!
Begitulah. Keramaian masih terus berlangsung, tak terusik oleh matahari yang kian mencorong mencurahkan panasnya. Justru makin sore tatkala masa pencoblosan telah digantikan masa penghitungan suara, suasana tambah semarak.
“Hore, hidup PKS. Aku bilang opo, tuh menang dari moncong putih. We!”
“Belum tentu ye. Partainya SBY tuh juga jago…”
“Kuning, kuning.”
“Ijo, ijo, P3 hidup! Ijo, ijo, hidup PKB, membela yang benar!”
“Plok, plok, plok…”
“Eh, ada juga yang milih partai ora ngetop (25)tho?”
Riuh rendah suara anak-anak yang dominan ditambah bunyi tetabuhan kaleng bertutup kertas semen membuat TPS itu penuh gelak tawa. Saksi-saksi partai yang tadinya kecut dan tegang menyaksikan partainya ketinggalan jauh dari partai ‘kuda hitam’ maupun partai lama, menjadi cair hatinya. Ini beneran hajatan, tenan!!
*****
Jam sepuluh malam…
Mata-mata mulai memberat, bantal dan kasur yang empuk menghimbau-himbau, memanggil pulang. Namun pekerjaan masih menumpuk.
“Ngopi lagi Pak Marto, ojo turu(26) lho. Berita Acarane durung mbok gawe(27).”
“Wuah, uenake justru turu Pak Joko, ora nulis 11 rangkap Berita Acara kuwi. Hoaah…”
Setelah dikilik-kilik sesama panitia lainnya, dan menyeruput kopi sumbangan ibu-ibu dus kripik singkong, mata Pak Marto sedikit bisa diganjal. Mulai kerja lagi, ayo… ayo… Demi pemerintah, kita kan rakyat yang patuh tho?? Demi uang 80 ribu, hoahh…
Tiba-tiba… DUARR!!
“Hujan, hujan!! Pak Marto, bangun pak! Sampeyan keturon(28) yo?”
“Astaghfirullah! Hh, di mana?”
“Cepetan, selamatkan kertas-kertas, surat suara. Demi negara, demi pemerintah.”
“Hoahh, hidup rakyat!”
Cimanggis, 8 April 2004
terj.:
Kowe: kamu (kasar)
Yo ben: ya biar
Sopo sing entuk: siapa yang dapat
Ojo kesuwen: jangan kelamaan
Ra keawaca: tidak terbaca
Yo wis, ben cepet; ya sudah, biar cepat
Sing jenenge apik, rupane bagus wae: yang namanya bagus, wajahnya ganteng saja
Ora ngetop: tidak terkenal
Ojo turu: jangan tidur
Durung mbok gawe: belum dibuat
Keturon: ketiduran
Wednesday, February 6, 2008
HAJATAN SPESIAL (part 1) -- SAINGAN RUSH HOUR!
(cerpenku untuk mengenang peristiwa penting di tahun 2004, monggo dibaca utk liburan, harpitnas, or apalah namanya, hehe... Sebelumnya mohon maaf bagi yang bukan orang Jawa ya, karena bertaburan basa jawa, sama sekali tak bermaksud SARA lho...)
Pagi buta…
Suara-suara gaduh mulai membahana sementara adzan Subuh belum lagi berkumandang.
“Pak, bangun tho Pak! Nanti terlambat kita. Orang-orang keburu pada datang lho!”
Suara Bu Marto nyaring dan garing membangunkan suaminya dengan semangat 45. Pak Marto, yang baru bisa tertidur jam 12 malam tadi, tergeragap dan langsung melompat dari tempat tidurnya.
“Jam berapa tho Bune?”
“Jam empat! Panjenengan durung dahar(1), mana mesti pake kain dan beskap tho Pak? Lama lho…”
“Hhh…,”Pak Marto menguap lebar seraya menyandarkan tubuhnya yang rada-rada remuk redam didera kantuk yang sangat.
Melihat gelagat suaminya yang akan melanjutkan upacara tidurnya, Bu Marto buru-buru bertindak, “Ealah, Pakne! Ojo ngono tho(2). Apa kata orang nanti? Bisa-bisa panjenengan dimarahi Pak Camat! Ayo tho, aku kan ikut malu kalo panjenengan telat.”
Capek diusik-usik sang istri tercinta, sekaligus menyadari kebenaran omongannya, setengah berat hati Pak Marto beranjak ke kamar mandi. Mandi dengan sabun wangi, sekalian ambil wudhu. Ah, segarrr!
Usai shalat, dengan dibantu istri, Pak Marto bergegas mengenakan kain batik, beskap, dan blangkon yang sudah disiapkan istrinya sedari malam. Baru disadari ternyata…
“Waduh Bune, susah tenan iki(3), kainnya ora pas terus tibane(4). Walah, aku wis kemeringet(5). “
Setengah putus asa bercampur geli, Pak Marto memandang hasil pekerjaannya yang kacau-balau. Kain batiknya kusut, naik-turun di sana-sini. Wajah istrinya tak kalah kusut dan memelas, warna-warni bak pelangi. Tapi dasar ibu-ibu, idenya ada saja.
“Gini saja, tak panggil Lik Darmo yo, haqqul yakin dia bisa bantu. Kan dulu dia bekas abdi dalem kraton tho Pakne? Ndak papa sekalian ajak sarapan di sini?”
Diberi solusi jitu, Pak Marto mengangguk-angguk kegirangan. “Sip, sana berangkat!”
Tak berapa lama, Lik Darmo pun datang. Kerja sama yang brilian, meski sempat diseling debat sana-sini dari Pak Marto (karena kurang sreg dengan kain yang seumur-umur baru dipakainya), akhirnya membuahkan hasil sempurna. Untung saja ndak pake keris segala, bisa-bisa aku kecucuk(6) kerisku sendiri, gerutu Pak Marto separo geli. Setengah jam kemudian, mereka berdua sudah duduk manis menekuri pisang goreng dan teh nasgitel (panas, legi, kenthel)(7).
“Alhamdulillah, selesai juga ya Lik. Matur nuwun(8) lho atas bantuannya…”
“Ah, sama-sama dik Marto. Sampeyan(9) belum biasa saja pake kain, jadi repot begitu… Ojo dilihat repotnya dik, kapan lagi kita jadi panitia hajatan istimewa koyo ngene tho? Jarraang, ora kabeh wong iso(10). Nah, ini kehormatan buat kita tho?”
“Betul itu. Lha gimana ndak istimewa, tempatnya saja dihias apik tenan(11) tho, melebihi kondangane(12) nak Larasati, anake Pak Lurah kuwi…,” Bu Marto datang menyeletuk sembari membawa sepiring ubi rebus.
“Oho, lain Bune. Acarane nak Laras ndak ada apa-apanya dibanding hajatan hari ini. Kalah jauh, makanya baru tengah malam tempat hajatannya selesai dihias. Coba mengko deloken(13), apik tenan!,”Pak Marto setengah berpromosi.
“Iyo, percoyo, percoyo.”
*****
Jam tujuh kurang seperempat…
Orang-orang bergerombol menyemuti satu lokasi. Ada janur-janur kuning, kain batik pesisiran membentang, buah-buah kelapa bergelantungan di beberapa titik sentral. Tidak lupa, ada sayup-sayup terdengar suara gending lembut menyeruak dari radio tape yang diletakkan di balik meja panitia. Menggugah, mengundang decak kagum. Wuah, pancen oye eh… pancen oke!
“Syerius tho panitia hajatane?,”mbah Sungkono yang giginya sudah banyak yang ompong, memandangi hasil karya Pak Marto dan kawan-kawan dengan terpesona.
“Lha iyo Mbah. Harus serius! Kesempatan tho, kapan lagi? Ora mben dino, apa meneh ben taon tho(14)?”
Cucunya, yang antri di belakangnya menunggu giliran, menyahut. Dia melihat sekeliling. Agak aneh memang, sepagi ini kampung kecilnya sudah ramai ditingkahi suara-suara penghuninya. Ibu-ibu, yang biasanya masih sibuk menyapu halaman rumah dengan dasternya, sudah berdandan rapi, ayu-ayu dengan bedak dan gincu tebal, konde gedhe dan kebaya ketat memeluk tubuh mereka. Bapak-bapak ndak kalah gaya, kemeja batik lengan panjang plus sepatu yang berusaha disemir kuat-kuat. Hm, lain memang, sangat spesial!
Lokasi hajatan spesial itu sendiri tidaklah spesial. Hanya di jalan kampung, gang kecil tepatnya. Berbentuk persegi panjang, dibatasi bambu-bambu pembatas dan kain terpal sederhana sumbangan warga. Ada tanda MASUK, KELUAR, juga sejumlah panitia yang begitu gagah dengan beskap dan blangkonnya, termasuk dua orang hansip dan saksi-saksi. Semua tersenyum sumringah, ya panitia, ya hadirinnya. Bedanya, tiap peserta kondangan diberi nomor setelah menyodorkan kartu biru kepada panitia yang duduk dekat pintu masuk.
“Monggo(15) Mbah, nomor 15. Ditunggu saja ya?” Pak Marto menyapa dengan ramah. Ada kehangatan menjalar menyaksikan antusiasnya warga mendatangi lokasi hajatannya. Ndak sia-sia aku kerja sampai malam tadi, bisiknya dalam hati. Diliriknya anggota panitia lain, wajahnya sama, sumringah, penuh bunga.
“Ndak lama tho nak Marto?”
“Insya Allah ndak.”
Orang-orang berkerumun, tertib menanti giliran. Meski banyak juga yang tidak mendapat tempat duduk, keringat mulai berleleran, kipas-kipas mungil mulai dikeluarkan dari tas kondangan yang meling-meling (16) ditimpa cahaya surya yang mulai membara, tak ada keluhan berarti. Roman-roman muka masih seantusias semula. Termasuk anak-anak kecil yang kerjanya berseliweran sembari lari-lari kecil mengitari lokasi hajatan.
“Tes, tes! Ehem, ehem… “
“Sst, sst, tenang, tenang semua! Anak-anak, huss, ojo ribut!”
Suara-suara mendesis berusaha membantu kekhusyukan acara hajatan kali ini. Tak lama sesaat setelah jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi…
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi untuk semua warga Rt 001 . Terima kasih atas kehadirannya. Bla… bla…”
---
terj:
Panjenengan durung dahar: Kamu belum makan
Ojo ngono: jangan begitu
Susah tenan iki: susah sekali
Ora pas terus tibane: Tidak pas/tepat betul jatuhnya
Wis kemeringet: sudah berkeringat
Kecucuk: tertusuk
Panas, legi, kenthel: panas, manis, kental
Matur nuwun: terima kasih
Ora kabeh wong iso: tidak semua orang bisa
Apik tenan: bagus sekali
Kondangane: undangannya
Mengko deloken: nanti dilihat
Ora mben dino, apa meneh ben taon tho: Tidak setiap hari, apalagi tiap tahun
Monggo: Silakan
Meling-meling: berkilap-kilap
Pagi buta…
Suara-suara gaduh mulai membahana sementara adzan Subuh belum lagi berkumandang.
“Pak, bangun tho Pak! Nanti terlambat kita. Orang-orang keburu pada datang lho!”
Suara Bu Marto nyaring dan garing membangunkan suaminya dengan semangat 45. Pak Marto, yang baru bisa tertidur jam 12 malam tadi, tergeragap dan langsung melompat dari tempat tidurnya.
“Jam berapa tho Bune?”
“Jam empat! Panjenengan durung dahar(1), mana mesti pake kain dan beskap tho Pak? Lama lho…”
“Hhh…,”Pak Marto menguap lebar seraya menyandarkan tubuhnya yang rada-rada remuk redam didera kantuk yang sangat.
Melihat gelagat suaminya yang akan melanjutkan upacara tidurnya, Bu Marto buru-buru bertindak, “Ealah, Pakne! Ojo ngono tho(2). Apa kata orang nanti? Bisa-bisa panjenengan dimarahi Pak Camat! Ayo tho, aku kan ikut malu kalo panjenengan telat.”
Capek diusik-usik sang istri tercinta, sekaligus menyadari kebenaran omongannya, setengah berat hati Pak Marto beranjak ke kamar mandi. Mandi dengan sabun wangi, sekalian ambil wudhu. Ah, segarrr!
Usai shalat, dengan dibantu istri, Pak Marto bergegas mengenakan kain batik, beskap, dan blangkon yang sudah disiapkan istrinya sedari malam. Baru disadari ternyata…
“Waduh Bune, susah tenan iki(3), kainnya ora pas terus tibane(4). Walah, aku wis kemeringet(5). “
Setengah putus asa bercampur geli, Pak Marto memandang hasil pekerjaannya yang kacau-balau. Kain batiknya kusut, naik-turun di sana-sini. Wajah istrinya tak kalah kusut dan memelas, warna-warni bak pelangi. Tapi dasar ibu-ibu, idenya ada saja.
“Gini saja, tak panggil Lik Darmo yo, haqqul yakin dia bisa bantu. Kan dulu dia bekas abdi dalem kraton tho Pakne? Ndak papa sekalian ajak sarapan di sini?”
Diberi solusi jitu, Pak Marto mengangguk-angguk kegirangan. “Sip, sana berangkat!”
Tak berapa lama, Lik Darmo pun datang. Kerja sama yang brilian, meski sempat diseling debat sana-sini dari Pak Marto (karena kurang sreg dengan kain yang seumur-umur baru dipakainya), akhirnya membuahkan hasil sempurna. Untung saja ndak pake keris segala, bisa-bisa aku kecucuk(6) kerisku sendiri, gerutu Pak Marto separo geli. Setengah jam kemudian, mereka berdua sudah duduk manis menekuri pisang goreng dan teh nasgitel (panas, legi, kenthel)(7).
“Alhamdulillah, selesai juga ya Lik. Matur nuwun(8) lho atas bantuannya…”
“Ah, sama-sama dik Marto. Sampeyan(9) belum biasa saja pake kain, jadi repot begitu… Ojo dilihat repotnya dik, kapan lagi kita jadi panitia hajatan istimewa koyo ngene tho? Jarraang, ora kabeh wong iso(10). Nah, ini kehormatan buat kita tho?”
“Betul itu. Lha gimana ndak istimewa, tempatnya saja dihias apik tenan(11) tho, melebihi kondangane(12) nak Larasati, anake Pak Lurah kuwi…,” Bu Marto datang menyeletuk sembari membawa sepiring ubi rebus.
“Oho, lain Bune. Acarane nak Laras ndak ada apa-apanya dibanding hajatan hari ini. Kalah jauh, makanya baru tengah malam tempat hajatannya selesai dihias. Coba mengko deloken(13), apik tenan!,”Pak Marto setengah berpromosi.
“Iyo, percoyo, percoyo.”
*****
Jam tujuh kurang seperempat…
Orang-orang bergerombol menyemuti satu lokasi. Ada janur-janur kuning, kain batik pesisiran membentang, buah-buah kelapa bergelantungan di beberapa titik sentral. Tidak lupa, ada sayup-sayup terdengar suara gending lembut menyeruak dari radio tape yang diletakkan di balik meja panitia. Menggugah, mengundang decak kagum. Wuah, pancen oye eh… pancen oke!
“Syerius tho panitia hajatane?,”mbah Sungkono yang giginya sudah banyak yang ompong, memandangi hasil karya Pak Marto dan kawan-kawan dengan terpesona.
“Lha iyo Mbah. Harus serius! Kesempatan tho, kapan lagi? Ora mben dino, apa meneh ben taon tho(14)?”
Cucunya, yang antri di belakangnya menunggu giliran, menyahut. Dia melihat sekeliling. Agak aneh memang, sepagi ini kampung kecilnya sudah ramai ditingkahi suara-suara penghuninya. Ibu-ibu, yang biasanya masih sibuk menyapu halaman rumah dengan dasternya, sudah berdandan rapi, ayu-ayu dengan bedak dan gincu tebal, konde gedhe dan kebaya ketat memeluk tubuh mereka. Bapak-bapak ndak kalah gaya, kemeja batik lengan panjang plus sepatu yang berusaha disemir kuat-kuat. Hm, lain memang, sangat spesial!
Lokasi hajatan spesial itu sendiri tidaklah spesial. Hanya di jalan kampung, gang kecil tepatnya. Berbentuk persegi panjang, dibatasi bambu-bambu pembatas dan kain terpal sederhana sumbangan warga. Ada tanda MASUK, KELUAR, juga sejumlah panitia yang begitu gagah dengan beskap dan blangkonnya, termasuk dua orang hansip dan saksi-saksi. Semua tersenyum sumringah, ya panitia, ya hadirinnya. Bedanya, tiap peserta kondangan diberi nomor setelah menyodorkan kartu biru kepada panitia yang duduk dekat pintu masuk.
“Monggo(15) Mbah, nomor 15. Ditunggu saja ya?” Pak Marto menyapa dengan ramah. Ada kehangatan menjalar menyaksikan antusiasnya warga mendatangi lokasi hajatannya. Ndak sia-sia aku kerja sampai malam tadi, bisiknya dalam hati. Diliriknya anggota panitia lain, wajahnya sama, sumringah, penuh bunga.
“Ndak lama tho nak Marto?”
“Insya Allah ndak.”
Orang-orang berkerumun, tertib menanti giliran. Meski banyak juga yang tidak mendapat tempat duduk, keringat mulai berleleran, kipas-kipas mungil mulai dikeluarkan dari tas kondangan yang meling-meling (16) ditimpa cahaya surya yang mulai membara, tak ada keluhan berarti. Roman-roman muka masih seantusias semula. Termasuk anak-anak kecil yang kerjanya berseliweran sembari lari-lari kecil mengitari lokasi hajatan.
“Tes, tes! Ehem, ehem… “
“Sst, sst, tenang, tenang semua! Anak-anak, huss, ojo ribut!”
Suara-suara mendesis berusaha membantu kekhusyukan acara hajatan kali ini. Tak lama sesaat setelah jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi…
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi untuk semua warga Rt 001 . Terima kasih atas kehadirannya. Bla… bla…”
---
terj:
Panjenengan durung dahar: Kamu belum makan
Ojo ngono: jangan begitu
Susah tenan iki: susah sekali
Ora pas terus tibane: Tidak pas/tepat betul jatuhnya
Wis kemeringet: sudah berkeringat
Kecucuk: tertusuk
Panas, legi, kenthel: panas, manis, kental
Matur nuwun: terima kasih
Ora kabeh wong iso: tidak semua orang bisa
Apik tenan: bagus sekali
Kondangane: undangannya
Mengko deloken: nanti dilihat
Ora mben dino, apa meneh ben taon tho: Tidak setiap hari, apalagi tiap tahun
Monggo: Silakan
Meling-meling: berkilap-kilap
Tuesday, February 5, 2008
MENULIS DENGAN KELOPAK MATA? SUBHANALLAH!
SUMBER: Forum_LingkarPena@yahoogroups.com
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana seseorang menulis buku bukan dengan tangan atau anggota tubuh lainnya, tetapi dengan kedipan kelopak mata kirinya?
Jika Anda mengatakan hal itu mustahil untuk dilakukan, tentu saja karena Anda belum mengenal orang yang bernama Jean Dominique Bauby. Dia pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang banyak digandrungi wanita di seluruh dunia.
Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagi kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa yang dialami Jean dalam menempuh hidupnya, Anda pasti akan berpikir, "Seberat apa pun problem, stres, dan beban hidup kita, semua tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan Jean!"
Pada tahun 1995, ia terkena stroke yang akhirnya melumpuhkan seluruh tubuhnya. Ia mengalami penyakit yang disebut Lockedin Syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya, "Seperti pikiran di dalam botol." Ia memang masih dapat berpikir jernih, tetapi sama sekali tidak dapat berbicara atau bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi, itulah cara dia berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga, dan teman-temannya.
Beginilah cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat dan teman-temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. "Bukan main,"begitu pasti komentar Anda.
Ya, begitu juga reaksi semua orang yang membaca kisahnya. Bagi kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, bila kita disuruh menulis dengan cara Jean, barangkali kita harus menangis dulu selama berhari-hari. Bukannya buku yang jadi, kita malah minta ampun agar tidak disuruh melakukan apa yang diperbuat Jean untuk menulis bukunya.
Tahun 1996, ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, "Le Scaphandre" et le Papillon (The Bubble and The Butterfly). Insya Allah filmnya akan beredar tahun 2008 nanti. Film ini pun masuk nominasi Golden Globe.
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar Rahman , 13)
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana seseorang menulis buku bukan dengan tangan atau anggota tubuh lainnya, tetapi dengan kedipan kelopak mata kirinya?
Jika Anda mengatakan hal itu mustahil untuk dilakukan, tentu saja karena Anda belum mengenal orang yang bernama Jean Dominique Bauby. Dia pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang banyak digandrungi wanita di seluruh dunia.
Betapa mengagumkan tekad dan semangat hidup maupun kemauannya untuk tetap menulis dan membagi kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa yang dialami Jean dalam menempuh hidupnya, Anda pasti akan berpikir, "Seberat apa pun problem, stres, dan beban hidup kita, semua tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan Jean!"
Pada tahun 1995, ia terkena stroke yang akhirnya melumpuhkan seluruh tubuhnya. Ia mengalami penyakit yang disebut Lockedin Syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya, "Seperti pikiran di dalam botol." Ia memang masih dapat berpikir jernih, tetapi sama sekali tidak dapat berbicara atau bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi, itulah cara dia berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga, dan teman-temannya.
Beginilah cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat dan teman-temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. "Bukan main,"begitu pasti komentar Anda.
Ya, begitu juga reaksi semua orang yang membaca kisahnya. Bagi kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, bila kita disuruh menulis dengan cara Jean, barangkali kita harus menangis dulu selama berhari-hari. Bukannya buku yang jadi, kita malah minta ampun agar tidak disuruh melakukan apa yang diperbuat Jean untuk menulis bukunya.
Tahun 1996, ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, "Le Scaphandre" et le Papillon (The Bubble and The Butterfly). Insya Allah filmnya akan beredar tahun 2008 nanti. Film ini pun masuk nominasi Golden Globe.
"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS Ar Rahman , 13)
Monday, February 4, 2008
DOA
kepada pemeluk teguh
oleh CHAIRIL ANWAR
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling
13 November 1943
oleh CHAIRIL ANWAR
Tuhanku
dalam termangu
aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tak bisa berpaling
13 November 1943
Subscribe to:
Posts (Atom)