Monday, June 30, 2008

SYAIR EMPAT KARTU DI TANGAN

karya TAUFIQ ISMAIL



Ini bicara blak-blakan saja, bang
Buka kartu tampak tampang
Sehingga semua jelas membayang

Monoloyalitas kami
sebenarnya pada uang

Sudahlah, ka-bukaan saja kita bicara
Koyak tampak terkubak semua
Sehingga buat apa basi dan basa

Sila kami
Keuangan Yang Maha Esa

Jangan sungkan buat apa yah-payah
Analisa psikis toh cuma kwasi ilmiah
Tak usahlah sah-susah

Ideologiku begitu jelas
ideologi rupiah

Begini kawan, bila dadaku jalani pembedahan
Setiap jeroan berjajar kelihatan
Sehingga jelas sebagai keseluruhan

Asas tunggalku
memang keserakahan.



1998

Friday, June 27, 2008

WUDHU LAHIR-BATIN

Seorang ahli ibadah bernama Isam Bin Yusuf, sangat waras dan khusyuk sholatnya. Namun, dia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang khusyuk dan selalu bertanya kepada orang yang dianggap lebih ibadahnya, demi untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasaikan kurang khusyuk.

Pada suatu hari, Isam menghadiri majlis seseorang bernama Hatim Al-Assam dan bertanya, "Wahai Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan sholat?"Hatim berkata, "Apabila masuk waktu solat, aku berwudhu lahir dan batin."
Isam bertanya, "Bagaimana wudhu lahir dan batin itu? "

Hatim berkata,"Wudhu lahir sebagaimana biasa yaitu membasuh semua anggota wudhu dengan air. Sementara wudhu batin ialah membasuh anggota dengan tujuh perkara, yaitu:
* Bertaubat
* Menyesali dosa yang telah dilakukan
* Tidak tergila-gilakan dunia
* Tidak mencari/mengharap pujian orang (riya')
* Tinggalkan sifat berbangga
* Tinggalkan sifat khianat dan menipu
* Meninggalkan sifat dengki."

Seterusnya Hatim berkata, "Kemudian aku pergi ke masjid, aku kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh kewaspadaan dan aku rasakan:
1.aku sedang berhadapan dengan Allah,
2.Surga di sebelah kananku,
3.Neraka di sebelah kiriku,
4.Malaikat Maut berada di belakangku, dan
5.Aku bayangkan pula aku seolah-olah berdiri di atas titian 'Shiratal mustaqim' dan menganggap bahwa sholatku kali ini adalah sholat terakhir bagiku, kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik."

"Setiap bacaan dan doa didalam sholat, aku paham maknanya kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhu, aku bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas. Beginilah aku bersholat selama 30 tahun."

Apabila Isam mendengar, menangislah dia karena membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila dibandingkan dengan Hatim.

(dari milis boedoet83)

Thursday, June 26, 2008

KE MANA KITA PERGI, MA?

Buat para ibu yang berstatus pekerja mulia di rumah alias ibu rumah tangga, sejatinya pertanyaan di atas akan kerap menggelitik telinga pada hari-hari belakangan ini. Ngga usah terlalu sedih, karena artinya kita senasib, hehe... Bosan di rumah ah, masak sepedaan melulu atau melototin teve yang kagak bersalah, akhirnya rengekan untuk pergi makin cenderung membahana. Entah digiatkan tatkala mata baru aja membuka saat bangun tidur, habis sarapan roti isi made in sendiri, ataw ketika pelem kartun favoritnya pas usai.

Biasanya sih, pasukan ceria di rumah 'dipekerjakan' dulu pagi-pagi after pit-pitan (wajib, minimal 1/2 jam!), entah dengan kesepakatan-kesepakatan sukarela maupun non sepakat alias pemaksaan ;D And tau ngga, mereka udah bisa lho dengan legowo nulis protes di kertas imut berisi rincian daftar kerja bakti mereka yang ditimpanya dengan spidol ijo royo-royo. Halah, error bener komennya: Kamis, beresin lemari CD (kata beresin dicoret jadi berantakin, coba??), terus komen pedas lainnya: bener2 tega yah, anak-anak yang KEREN, BAEK, PINTER, diperbudak, hah, keterlaluan! Trus di sebelahnya ada gambar anak marah berasap-asap!

Haha, untung kami sudah biasa dengan gaya anak-anak, jadi maklumlah en cuma bisa nyengir plus geleng-geleng kepala. Yah, ngajarin bicara terbuka soal suka-tidak suka selalu always ada konsekuensinya kan? Sama seperti tuntutan (untung ga sampe demo en bakar mobil, ah syerem...) untuk ngajak pergi ya begini ini, bete juga kali yah di rumah terus.

Nah, yang kasihan, minggu ini aku terkapar kena flu berat yang ngga sembuh-sembuh sejak pekan lalu. So sudah 2 hari ini rencana ke perpustakaan batal dengan sukses. Dilematis kayaknya buat mereka, di satu sisi pingiiiiin banget pergi tapi ga tega liat mamanya nyusut ingus terus dan maunya bobo aja, hehe... Makanya kemarin akhirnya setelah berjuang sendirian dengan bombardir aneka obat flu, madu arab, amox, olahraga stel kenceng, dsb, berlarilah ke dokter langganan, and finally sekarang ngetik sambil agak lemah lunglai, efek obat tidurnya kali ya... Anyway, alhamdulillah sudah lebih baek, dan insya Allah besok bisa mengamini tuntutan para fans untuk berkunjung ke perpustakaan. Here we come!

Monday, June 23, 2008

MENDIDIKNYA DENGAN SEPENUH CINTA... (bag.2)

Bantulah anak kita untuk berbakti kepada-Nya dengan Memaafkan yang Menyulitkan Darinya. Tanpa kita sadari, kita cenderung amat terobsesi atau sangat fokus pada kekurangan-kekurangan diri putra-putri kita, entah kelemahannya dalam Matematika, sikapnya yang pemalu atau penyendiri, wajahnya yang 'std' alias standar saja, sementara sikap penyayang terhadap binatang, mandiri dalam mengurus dirinya, sangat helpful, begitu mudah sirna dari pandangan atas nama "itu sudah sepantasnya dia lakukan" atau "sudah kewajiban dia melakukan itu", sehingga kemudian kita tidak merasa perlu memuji kelebihan-kelebihan 'kecilnya' itu.

Kesulitan tiap anak sangatlah beragam, tak hanya yang terkait dengan kecakapan akademik di kelas, namun bisa juga ketrampilan 'self-help' yang belum piawai dikuasainya. Dengan memaafkan yang menyulitkan darinya seraya tidak berputus asa dari rahmat Allah, insya Allah justru membuat dia berkembang dengan baik serta mampu mengatasi sendiri kesulitan-kesulitannya. memaksa, memarahi, apalagi membandingkannya dengan anak lain malah rawan menimbulkan pelbagai jenis penyimpangan perilaku, semisal merasa minder, rendah diri, sensitif, mudah meledak amarahnya, atau bahkan bersikap pasif agresif (dari luarnya saja tampak baik, namun di dalam hatinya ada dendam atau benci terhadap orang tua/orang lain).

Terus-terang, dari klien dewasa yang datang padaku aku sungguh belajar banyak tentang poin kedua ini, betapa cinta,penghargaan, dan pemaafan punya kekuatan maha dahsyat dalam mendidik buah hati kita. Betapa menyedihkan dampak berkepanjangan dari anak yang merasa tidak pernah dianggap ada dan dikasihi tanpa syarat apapun. Anda mau tahu? Dia punya dendam tak berujung kepada ayahnya, juga nyaris tidak punya respek terhadap tokoh ibu yang dinilainya 'ada namun tiada'. Endingnya memang masih kutunggu dengan harap-harap cemas, semoga Allah perlahan membuka hati ayah dan juga hatinya untuk islah dan berdamai dengan masa lalu mereka... mm, kurasa kita tidak perlu harus melalui jalan terjal seperti ini untuk mengakui pentingnya berdamai dengan kekurangan-kekurangan buah hati kita bukan?

Bagaimana menurut Anda?

Friday, June 20, 2008

IBU TUKINAH, TERIMA KASIH...

(berdasar kisah nyata)

Lima tiga puluh, menjelang Maghrib. Langit semburat jingga berbaur nila, Madinah terasa sendu. Jamaah haji bergegas mengulang wudhu, sebelum adzan terlanjur bergema. Kami pun demikian. Membasuh segenap anggota tubuh, sekaligus menyegarkan sukma yang lelah menanti tibanya pergantian siang-malam.

Kian rapat shaf untuk memulai ritual shalat. Hampir-hampir tak ada celah untuk mereka yang datang terlambat atau baru tiba dari pondokannya. Terlebih bagi jamaah Turki yang rata-rata berbadan subur makmur, namun barakallah, ada saja yang bersedia merapatkan lagi barisannya untuk memberi izin jamaah baru menyelinap di sana-sini.


Alhamdulillah, aku dan kawan-kawan seregu sudah semenjak Dzuhur menempati barisan yang nyaman. Benar saja, masih ada selalu yang mencari-cari tempat yang tersisa, seperti seorang ibu paruh baya itu. Kukenali beliau dari ciri tas dadanya, ah... ternyata asal Indonesia juga. Entah mengapa, seolah refleks kuayunkan tanganku, melambainya agar mendekat. Padahal, kutahu pasti, sudah rapat sekali shafku. Apalagi Mbak Erika, teman seregu sebelahku, sudah mendelik seraya menggeleng kuat-kuat, agar kubatalkan ajakanku itu. Tapi kali ini, aku seolah tak peduli dengan isyaratnya. Tetap saja kulambai lagi, hingga keraguan di wajah ibu itu memudar. Dengan berseri-seri dan langkah lambat tapi pasti, beliau beringsut menghampiri.

“Terima kasih, Nak. Duh... sudah dari tadi ibu mencari-cari tempat, ndak berhasil. Maklumlah, namanya juga sudah sepuh, lamban jalannya. Jadinya ibu ditinggal teman-teman...”

Seusai shalat dan mengaji, sambil menanti adzan Isya, mulailah kami berbasa-basi. Ibu Tukinah namanya, berasal dari Jombang, Jawa Timur. Menilik penampilannya, kutebak usianya lebih dari 60 tahun. Tapi kiranya aku salah menduga, beliau baru berumur 50 tahun. Ada raut letih di situ, di kerut mukanya. Kabut membayangi matanya yang sebenarnya indah. Aku tak berani bertanya-tanya terlalu jauh, takut menyinggung perasaannya. Bukankah itu haknya, untuk tak mengemukakan masalah yang menderanya?
Jadi kami sebatas cuma berbincang biasa, selumrah orang yang baru kenal.

“Anak masih muda sudah bisa pergi haji tho? Pasti senang sekali ya? Mungkin malah berangkat sama-sama dengan Kangmasnya?”
“Alhamdulillah, Bu. Allah memberi cukup rezeki, jadi kami bisa berdua berangkat. Ibu juga ya, dengan Bapak?”

Aku sungguh terkejut, air mukanya kontan berubah drastis. Keruh di matanya kian tebal mengabut. Mukanya tertunduk, dalam. Suaranya bergetar cukup hebat.
“Oalah, Nak. Kalau bisa seperti Nak ini, Ibu bahagia sekali. Ah, itu cuma jadi mimpi. Sudah puluhan tahun Ibu pisah sama Bapak. Ndak, ndak cerai juga. Gara-gara Ibu ndak bisa kasih keturunan, kasih anak ke Bapak.”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Yah, laki-laki ya begitu. Buat dia, ndak bisa kasih anak, ya... habislah. Ibu ini apalah, cuma seorang perempuan biasa, ndak makan sekolahan, ndak bisa apa-apa. Masih dikasih makan, ndak cerai saja ya sudah syukur, Nak. Gusti Allah masih sayang sama Ibu, Ibu ndak dicerai Bapak.”
Tercenung, aku tidak mampu berkata apa-apa. Sedih, pilu.
“Ng... apa sudah ke dokter ahli, Bu? Dicari tahu apa penyebabnya?”
“Wah, sudahlah, Nak. Pasti Ibu yang mandul, wong begitu kan selama ini kejadiannya? Jadi biar sajalah Bapak punya 'simpanan' atau 'jajan' sana-sini, sudah kebutuhannya laki-laki tho. Ibu kan ndak bisa lagi memenuhi kebutuhannya itu. Biarpun dalam hati, Ibu pingin sekali punya anak, wadduh... senengnya kayak apa ya? Dia akan Ibu sayang-sayang, Ibu urus dari kecil sampai besar. Kalau dia nakal, ndak akan dimarahi, ndak akan Ibu pukul, cuma disayang, dinasehati baik-baik...”

Air matanya menetes perlahan, mengguyur pipinya yang mengeriput. Sementara aku, di sisinya, justru sudah lebih dulu sesunggukan. Kesedihanku berganda, sedih bercampur simpati dengan penderitaan sang ibu dan sedih atas perlakuanku selama ini terhadap putri semata wayangku, Aisyah.

Ah, Aisyah, Aisyah! Bagaimana kabarmu, Nak? Ceriakah, menangiskah, atau sedang bermain apa dengan Eyangmu? Belum genap 2,5 tahun usiamu, tapi entah telah berapa banyak dikau didera omelan Bunda, untuk segala hal-hal sepele tak perlu? Sudah seberapa kenyang dikau dengan cubitan gemas Bunda, Nak?
Ya Rabbi, entah berapa banyak kupupuk dosa sezarah demi sezarah lewat anakku? Mengapa sabar itu menguap tanpa tanda, tanpa jeda? Meski senantiasa kupandangi wajah cantiknya yang mungil dan tak berdosa, selalu kegundahan dan angkara murka atas perilakunya yang tak berkenan di hatiku yang akhirnya merajai relung-relung kalbuku. Tak ada celah untuk kasihan, untuk menimbun iba. Hatiku selalu berkalang amarah, tak lagi bisa menimbang keaktifannya sebagai batita dengan berimbang. Rumah harus bersih, harus rapi, tak boleh ada setitik noda pun mengotori lantai dan karpetnya! Harus, harus! Begitu sempurna, namun juga begitu kaku...
Bunda ingat, Aisyah, ketika itu kita akan berangkat ke kampus, sudah siap semua. Perbekalanmu, baju ganti, diapers, semuanya. Tinggal Bunda mengunci pintu-pintu. Tiba-tiba engkau remas-remas telur rebus yang tadi tergeletak di atas meja makan, di karpet Bunda yang baru di-laundry kemarin sore. Tentu Aisyah masih ingat, Bunda marah semarah-marahnya padamu, ditambah cubitan di pahamu. Meski engkau menangis meraung-raung, marah itu bukannya menipis, justru kian menggema di kepala dan dada Bunda. Ah, Aisyah, ingin rasanya Bunda detik ini juga terbang menempuh perjalanan panjang untuk merengkuhmu dalam pelukan tulus Bunda, meminta maaf atas kesalahan Bunda selama ini, telah menanamkan benih kebencian padamu, benih antipati di hatimu. Apakah Bunda kelak bisa Aisyah sayangi dengan tulus? (Bagaimana bisa, Bunda? Kan Bunda tak pernah mengajarkannya pada Aisyah? Mungkin inilah jawabanmu atas pertanyaan Bunda)

Tak lama, adzan berkumandang. Entah mengapa, kali ini gema suara sang muadzin terasa lebih menggigit telinga, tiap kalimatnya mendetam-detam dada. Air mataku sudah menganak sungai, sementara Ibu Tukinah termangu-mangu menatapku.

“Nak, maafkan Ibu ya? Ibu salah bicara ya?”

Aku tak sanggup menjawab pertanyaannya, hanya bisa menggeleng. Sejurus aku menghela nafas, panjang sekali, mencoba mengusir penat sesal di dada.

Selesai shalat yang kurasakan lebih khusyuk dari biasanya, aku ingin bersalaman seraya berterima kasih kepada Ibu Tukinah. Namun nihil, tak kudapati sosoknya yang mungil itu. Sajadahnya sudah tak lagi terhampar. Mbak Erika dan teman-teman yang lain juga tak menyadari kepergiannya. Malaikatkah? Apakah ada maksud terselubung dari Gusti Allah atas kehadirannya di sisiku? Wallahu-'alam...

Thursday, June 19, 2008

MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

oleh Taufiq Ismail

I


Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini



II


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.



III


Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,


Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.



IV


Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.



1998

Wednesday, June 18, 2008

PERPISAHAN ANAKKU...

Tak terasa putri sulungku mendekati detik-detik terakhir kebersamaannya dengan lingkungan sekolah dasarnya, teman-teman, dan juga gurunya. Sabtu lalu adalah hari perpisahannya, dilangsungkan secara resmi di FH UI. Sudah diatur Allah aku pada akhirnya harus sukarela jadi bu-nitia perpisahannya, meski sudah berjibaku menghindar sedemikian rupa (bukan bersalin rupa jadi itik buruk rupa lho, hehe...). Tapi alhamdulillah, niat baik untuk membantu insya Allah selalu jadi jalan untuk amal bukan? Ya gimana ngga amal, kudu merenung bikin narasi untuk slide kenangan dari kelas 1 sampe 6, terus melatih MC-MCnya sampe diledekin udah kayak iklan "ekspresinya manna??" (ngga sih, alhamdulillah ngga pake molotot :D) di sela-sela jadwal menerima konsultasi, senam/renang en setor hafalan surat qur'an. Belum lagi pas mau GR, instruksiin tukang ojek untuk ngedrop anak keduaku ke UI, titip kunci garasi, en besoknya kudu duduk manis menyambut tetamu dan sekaligus jadi among tamu berhubung para petugasnya yang ngga kalah manis telat dateng!). Ups sori yah, bukan mau nyap-nyap, just make an illustrations about any tetek-bengeks aja... (hah, ini mah beneran bisa dimarahin guru Bahasa Indonesia nih, ngawur pisan!)

Alhamdulillah, anyway busway, acara berjalan cukup khidmat. Dibuka dengan tasmi' bersama (hafalan qur'an anak-anak, paling ujungnya surah Al Qiyamah), ngga terasa air mata menetes, haru tak terkatakan, dan kalbu juga bergetar hebat. Aah anak-anakku, betapa sungguh engkau harus mengucap beribu terima kasih, dan itupun takkan pernah cukup, atas tiap bulir jasa para guru-gurumu, mengajarkan segala hal, bersinergi dengan kami, orangtua yang awwam dan dhaif ini, hingga berhasil mencetakmu hingga insya Allah jadi generasi rabbani yang shalih/ah dan tawadhu dengan ilmumu... Subhanallaaaaah...

Ketika selesai, ada seorang guru mendekatiku, memelukku, menuturkan terima kasih atas bantuanku seraya terisak, ah aku jadi malu hati. Sepatutnya akulah yang berucap itu, karena selama ini kugayutkan kepercayaanku kepadamu, duhai ibu, tuk mendidik putriku, dan aku seolah tinggal memuluskan jalanmu saja. Masya Allah, benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa, apalagi jika mengingat kunjungan kami beberapa kali ke rumah kontrakanmu yang begitu sederhana, curhat-curhatmu tak berkesudahan, bukan bermaksud mengeluh, tentang orang tua yang terlalu mencampuri, tentang anak yang bergantian jatuh sakit hingga harus dirawat, aah... rasanya masalah kami belum seujung kuku masalah yang menderamu. Namun yang mencuat adalah sikap sabar senantiasa, senyum selalu tersungging, totalitas dan dedikasi tak berujung.

Tak ada doa lebih indah yang mampu kupanjatkan saat perpisahan ini kecuali "kiranya Allah senantiasa memlihara keikhlasanmu, menjagai sabarmu, melindungi diri dan keluargamu dari penyakit dan marabahaya yang menimpamu... Ya Rabb, kabulkan doa-doa yang dipanjatkannya di malam buta, aamiin..."

Monday, June 9, 2008

MENDIDIKNYA DENGAN SEPENUH CINTA... (bag.1)

(DISARIKAN DARI MATERI TRAINING FOR PARENTS, oleh ARIS AHMAD JAYA, 2008)

"Ketika Anda tidak memiliki waktu untuk buah hati Anda ketika dia masih kecil, maka tunggulah buah hati Anda akan menghabiskan waktu anda ketika Anda tua."


Apa rahasia seorang tua tetap bersemangat menarik becak di pagi buta? Apa pula yang mendasari seorang pemulung sederhana dengan baju penuh tambal sulam dengan riang melangkahkan kaki mengais tiap tempat sampah yang dijumpainya sepanjang perjalanannya? Kekuatan apa yang sedemikian kuat membara mendorongnya untuk tiada mempedulikan tiap bulir keringat yang bercucuran deras, tiap hela nafas yang terbata dihembuskannya, padahal tak sampai sepelemparan batu, kita, yang dikaruniai hidup lebih layak, tiada berujung pangkal berkeluh-kesah sepanjang masa?

Kekuatan rahasia mereka ternyata adalah CINTA. Berapa banyak dari kita melecehkan pengagungan berlebihan terhadap kata ini, entah dengan aneka alasan dan musabab, terlalu romantis, perasa, sensitif, dan lainnya. Padahal kalaulah kita mau merenungi hakikatnya, karena cintalah, segala persembahan 'kan senantiasa mempunyai dermaga untuk dilabuhkan, dan sebab cintalah, sebetik harapan bersemi, berbunga, dan pengorbanan melahirkan buahnya. Dan bagi para pelakon cinta, cinta bukanlah sebuah kata sifat, namun merupakan kata kerja yang perlu pembuktian dengan memberi dan bukan sekedar menerima.

Pedoman pertama Rasulullah dalam mendidik anak-anak kita, yaitu menerima yang sedikit. Tugas kita sebagai orang ta adalah menerima buah hati kita dengan hati terbuka dan cinta yang tulus, seberapa minimnya kelebihan yang dia miliki. belajar menerima yang sedikit itu dengan jadikan diri kita sebagai orang tua yang amanah, hingga tatkal dia gelisah, dalam duka-lara yang sangat, kita senantiasa mampu jadi pelabuhannya,bersedia dalam segala kondisi menerima dirinya.

Belajarlah untuk tidak terlalu banyak menuntut anak, biarkan kasih-sayang ini, keteduhan hati ini, rasa damai yang terpercik diresapinya melalui tangan kita bisa menjadi ladang subur ananda kita untuk menumbuhkan potensi dirinya menjadi bernilai dan berharga.

Friday, June 6, 2008

WHAT A BUSY WEEK, SUBHANALLAH!

Hm, minggu ini baru kerasa betapa melelahkannya bekerja seperti layaknya orang kantoran. Hal ini kualami sejak kuputuskan untuk membuka praktek konsultasi psikologi di rumah awal Mei lalu. Alhamdulillah klien mulai berdatangan, tapi sekaligus mengandung konsekuensi aku harus melototi segala tetek-bengek persiapan tes, observasi, juga isi wawancara. Dan subhanallah, 1,5 jam menyimak tutur cerita klien tentang masalahnya ternyata sungguh menguras energi dan konsentrasi.

Pekan ini, kesibukan itu dimulai di hari Senin jam 11 siang. Klienku anak kelas 1 SD, berarti aku harus menyiapkan alat tes, krayon, kertas, pensil, dan sebagainya. Sementara esok harinya, klien dewasa, dengan kata lain aku harus 'switch' fokus pada wawancara mendalam, dan kebetulan tidak pakai alat tes (meski sudah kusiapkan). Di luar pernak-penik kerjaan profesional ini, aku sudah kadung janji dengan panitia perpisahan sekolah untuk melatih anak-anak membaca narasi kenangan, jadilah hari Rabu hari paling gedubrakan :) Bagaimana tidak, sedari pagi sudah memutar cucian, nyapu dan menyiram halaman, menyiapkan makan siang untuk putriku yang berencana pulang duluan, terus zeeeeng... berangkat senam jadwal jam 7 sampai 8 (ngaret euy, hehe...), melatih narasi sekitar 1 jam, lantas kabur lagi ke UI, konfirm soal administrasi tes, dan baru tiba di rumah jam 2. Fiuh, bener-bener deh... Mau tahu apa komentar Bos waktu aku utarakan jadwal kegiatanku hari itu sekalian minta izinnya? Yang denger aja udah capek duluan, haha...

Kamisnya sih intensitasnya agak menurun, 'cuma' nonton Puncak Tema kelas 2-3 di lapangan basket, sebelum 'terjebak' dalam rapat perpisahan yang kayak kutu loncat topiknya, dari susunan acara sampai ribet soal seragam, kerah yang begono-begini, warna pesanan, halah, emak-emak bangets dah! Yang asyik, kebetulan aku puasa sunnah dan ke sekolah dengan sepedaan, kebayang 'betapa segarnya' pulang nyepeda di tengah hari mbolong, setengah 1, oh man! Anyway busway, alhamdulillah masih sempet istirahat sebelum ngetes si klien cilik yang datang jam 4 sore.

Barulah Jumat ini kesibukan mengendur. Putri sulungku kuajak berenang bareng dan kami sepakat mbonceng sepeda masing-masing, konvoilah kurang lebih... subhanallah, asyik dan seru, jajan dan cekikikan berdua di kolam. emang sih jadi ngga beneran berenang as usual, but still okelah, jarang banget kita para cewek bisa ngedate duaan aja, biasanya mah 4 in 1, all or none ngono tho... Alhamdulillah, nikmat banget diberi kesempatan sama Allah untuk menikmati denyut kesibukan sekaligus amanat, doakan semoga tetap istiqamah yaa... :)

Monday, June 2, 2008

DO YOUR BEST EVERYDAY!

Alkisah, di suatu hari tatkala aku sedang meresapi ritme santai di rumah sesudah bersepeda ke kolam renang dengan penuh gelora semangat 45, duduklah daku dengan manis di depan teve, berniat memelototi talk-show favoritku, "Oprah". Kali ini episodenya tentang para penderita kanker stadium lanjut yang sudah jatuh vonis dokter, usianya tinggal menghitung beberapa bulan kemudian. Mungkin bila saja tema ini diangkat dalam bincang-bincang di Indonesia, kayaknya yang kebayang mah acara tangis dan ratapannya yang dominan, bukan "how to struggle for your last chance life" sebagaimana mengemuka di acara Oprah ini.

Bayangkan, mereka masih muda, seumuranku dan Abang, bahkan ada seorang bapak yang baru berusia awal 30-an. Yang mengharukan adalah filosofi hidup mereka, yang bila disarikan yaitu "do my best everyday", berupaya dengan sekuat tenaga melakukan hal-hal terbaik saja setiap harinya, hari-harinya yang tersisa, untuk orang-orang tercinta di sekeliling dirinya. Dan ketika Oprah menyinggung soal sudahkah para penderita kanker ini berfikir dan merencanakan detil acara pemakaman mereka nantinya akan seperti apa, jawaban yang dikemukakan sungguh seolah menohokku, yang notabene alhamdulillah masih diberi kesehatan hingga detik ini. Menurut mereka, yang terbaik saat ini adalah sesedikit mungkin memikirkannya, karena itu akan malah menyeretnya pada kesedihan, kepiluan hati, baik bagi dirinya sendiri maupun keluarga dan teman-teman.

Ah, aku jadi merenung dalam diam, mengapakah harus menanti episode diuji dengan penyakit berat dulu baru kita menyadari betapa berharganya sebuah kehidupan, kehidupan indah yang dikaruniakan Allah SWT kepada kita? Tiap hela nafas, tiap kedip mata ini, dan tiap apapun yang dicerna melalui panca indera kita, sejatinya kian mendekatkan kita pada-Nya, bahwa kita,sedigjaya apapun jua pangkat dan jabatan ini, takkan pernah berdaya di hadapan-nya kala dia berkehendak mencabut ruh dan nyawa ini.

Astaghfirullah...