Friday, December 28, 2007

GURU TERBAIK

(Sumber: Motivasi_net)

Apakah anda ingat akan guru terbaik anda pada masa sekolah, guru yang memberi inspirasi bagi anda untuk belajar dan mengerjakan yang terbaik? Guru tersebut memberi tantangan bagi anda untuk maju, lebih dari guru-guru lain. Awalnya, mungkin tantangan ekstra itu terasa tidak adil, atau malah kejam. Tetapi sekarang anda akan memandang berbeda. Anda memandangnya dengan rasa hormat dan percaya, bahwa karena tantangan itulah anda bisa maju.

Saat ini ada guru hebat yang masih mengajar anda. Ia adalah "KEHIDUPAN". Kehidupan adalah guru terbaik. Tapi pelajarannya sering terasa keras, tajam, dan kadang kejam. Di sana ada kekecewaan, kesedihan, kebingungan, kesendirian dan frustrasi dalam setiap pengajarannya.

Pelajaran dari kehidupan adalah keras, tetapi karenanya kita memperoleh pelajaran dan pertumbuhan terbesar. Kehidupan menantang kita dan mendorong kita lebih tinggi. Ia membantu menyingkapkan karakter sejati kita, dan dengan cara itu mendorong kita membangun karakter yang lebih kuat.

Di luar segala pelajaran itu, renungkanlah. Guru yang paling mencintai dan memelihara kita itu telah membangun yang terbaik dari diri kita. Mungkin kita sekarang tidak menghargainya, tetapi akan tiba harinya anda akan bersyukur. Sama seperti kita bersyukur atas guru sekolah kita dulu.

Sumber: Motivasi_net

Thursday, December 27, 2007

DERAI DERAI CEMARA

Cipt. CHAIRIL ANWAR

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

juga malam akhirnya berlabuh
dan dingin pun menyebarkan kalam
seperti hujan di ujung melempar sauh
mengekalkan rindu dan cinta dalam-dalam


malam pun berganti subuh
meninggalkan kepekatan malam
pada tulang yang makin merapuh
di pandangan mata yang terus memburam

hidup adalah perjalanan malam
penuh dengan kegelapan
kau tak tahu kapan kan tenggelam

hitam adalah misteri yang kelam
penuh dengan jebakan
kau tak tahu jalan mana yang menikam

di dalam kelam
kau butuh penerang
yang bisa memberi jalan

di kegelapan malam
kau butuh penuntun
agar tak kan melangkah kaki ke jurang

hidup adalah perjalanan malam
kau tak tahu apa yang kan datang
kau tak tahu apa yang kan hilang
kau tak tahu kapan akan tenggelam

karena malam adalah penuh kegelapan
maka bersiaplah dengan bekal

seutama bekal ialah keimanan
itulah jalan penerang

seutama pakaian adalah ketakwaan
itulah pelindung badan

seutama jalan adalah jalan yang benar
untuk itulah kau butuh penunjuk jalan

bersegeralah berjalan mencari cahaya terang
karena malam kan segera beranjak siang
yang teriknya membakar kulit hingga kerontang



(Aahh, inilah salah satu penyair favoritku semenjak masa sekolah dulu. Kata-katanya bernas, dan di usianya yang masih teramat muda, 27 tahun, dia berpulang ke rahmatullah. Acapkali kuhayati, rasanya kala seusianya, pencarianku terhadap hidup dan seluk-beluknya belum lagi sedalam permenungan seorang Chairil Anwar, bahkan mungkin masih sebatas hura-hura, atau tidak sempat merenung karena ditempa lika-liku hidup teramat keras...)

Monday, December 24, 2007

RESOLUSI SEORANG ISTRI HARI INI...

Selasa sore pekan lalu, aku duduk manis di depan radio, menyimak khutbah wukuf Aa Gym. Ada yang menyentak kalbu, teramat banyak malah, terutama ketika beliau mengemukakan soal taubat seorang istri terhadap suami. Aah, aku seolah diingatkan sudah seberapa sempurna dan maksimalnya bakti dan pengabdianku pada suami tercinta selama ini, selama masa pernikahan ini?

Biasanya begitu mudah kita melihat kelemahan maupun kekurangan pasangan hidup kita, sementara kita abai dengan kelemahan diri sendiri. Begitu cermatnya kita melihat sifatnya yang tidak romantis, suka tidur sambil mendengkur, doyan makan, tubuh subur-makmur, asyik dengan hobinya seakan tidak peduli dengan kita, dan sebagainya, sementara kita mengenyahkan sikapnya yang ngemong dan sabar terhadap anak-anak, izinnya yang mudah untuk urusan kita (pengajian, arisan), atau ringan hati membantu menjemur dan mengangkat cucian, juga membuatkan kopi dan membeli sarapan. Sementara mungkin kita yang sudah 'memproklamirkan diri' sebagai istri (dan atau ibu dari anak-anaknya) kurang mau belajar mengurus rumah, menyerahkan segala urusan memasak kepada pembantu, tahu beres, pulang malam akibat asyik dengan pekerjaan kantor, atau justru adu-balap tidak peduli dengan kebutuhan pasangan karena ia juga tidak perhatian terhadap kita. Lantas, di mana tanggung jawab dan kewajiban kita?

Menurut beberapa buku yang pernah kubaca, pernikahan yang sehat tidak dapat dibangun hanya dengan cinta semata, karena cinta kepada makhluk, bukanlah sebentuk cinta hakiki yang kekal abadi, namun bisa sirna ditelan waktu, ketika ada gelombang pasang atau badai menerjang, maka cinta itu pun luruh tak berbekas. Benih-benih niat tulus saat kita memutuskan "bismillah, aku mau menikah denganmu" sepatutnya memang disandarkan pada niat mencari ridha dan cinta-Nya, cinta Ilahi, bukan cinta syahwat antar manusia, bukan karena keterpaksaan, karena dendam, atau seribu satu alasan lainnya. Sehingga ketika ada kerikil-kerikil tajam dalam perjalanan berkeluarga, semua itu dikembalikan ke sana, seraya introspeksi, mungkin salah satu atau kedua belah pihak sudah melenceng dari jalurnya.

Dan dari Mario Teguh, sang motivator, kupetik nasehat/tip bagus, melongoklah kita ke belakang, namun jangan hidup dengan masa lalu. Artinya,kejadian di masa lalu jadikan sebagai pengingat dan sarana introspeksi ketika kita melangkah menuju masa depan. Jangan pernah mengungkit-ungkit keburukan sifat pasangan kita di kala dulu, tapi lihatlah ia di saat sekarang, di masa kini, dan ajak ia berubah ke arah yang lebih bijak.

Insya Allah aku tidak bermaksud menggurui, justru ini akan jadi tonggak untukku senantiasa bersikap lebih arif dari hari ke hari. Biarlah Allah jua yang menilainya...

Tuesday, December 18, 2007

SEKOLAH KEHIDUPAN DI GEMERINTIK HUJAN...

Hari Ahad biasanya menjadi hari olahraga buat kami sekeluarga, selain juga sebagai ajang untuk bercengkrama satu sama lain, melepas rutinitas harian, lebih nyantailah...

Tapi Ahad kemarin, sejak semalam hujan sudah mengguyur deras wilayah Depok. Jelang pagi memang sudah jauh berkurang, tersisa rintik-gemerintik yang terus menabuh tanah dan genting. Sempat terpikir, waah... ngga jadi deh olahraga outdoor (biasanya sih bersepeda (konvoi masing-masing satu orang satu sepeda, lengkap dengan helm warna-warni), renang di Laguna, atau main badminton dan bola sepak sambil cari jajanan di depan Pesona Kahyangan), apalagi kebetulan pula suami masih terlelap karena lelah.

Ketika dia terbangun, tiba-tiba saja terlintas ide untuk menjelajah wilayah seputar perumahan sambil jalan kaki. Hap hap, ganti baju olahraga, berbekal topi dan payung, mulailah kami napak tilas. Sesekali hujan agak menderas, payung pun terkembang. Tidak pernah lupa menghitung kucing yang melintas, sesekali kami didahului pemulung. Mengais-ngais sampah, menyimak apakah ada yang masih bisa dijual, untuk makan. Subhanallah, niat olahraga mencari sehat bisa berkembang jauh, anak-anak dan juga kami bisa sekalian belajar tentang kehidupan, jalanan menjadi "school of life". Betapa kami disadarkan untuk selalu menghatur syukur kepada-Nya, tidak perlu melewati periode harus berjibaku dengan sampah untuk bisa makan sekepal nasi, mungkin tanpa lauk. Juga saat kami menyaksikan tinggi air sungai yang membelah perumahan, yang jika saja hujan besar 1 jam, dalam sekejap bisa menciptakan banjir! Dan warga di depan gerbang pun harus bersiap-siap memasrahkan rumah plus perabotnya diterjang air selama bebrapa jam/hari...

Sempat juga kami sowan ke pemakaman di belakang kompleks, mengamati cukup banyak nisan-nisan berukuran kecil, membaca keterangan (ada bayi usia 1-3 tahun, juga makam orang yang berusia panjang, hampir 90 tahun). Anak-anak yang mulanya menolak, akhirnya mau juga singgah, setelah papanya mengatakan, supaya kita ingat mati nak, supaya kita siapkan bekal yang cukup untuk dibawa ke sana... Akujadi teringat pernah membaca tentang sekelompok warga di Jawa Tengah (Bonoloyo ya? waduh, lupa nama pekuburannya) yang setiap hari tinggal di antara batu-batu nisan, bukan karena mereka pemberani, tapi karena mereka tuna wisma, terpaksa menetap di sana karena tidak punya rumah!

Alhamdulillah, banyak 'pelajaran' yang bisa dipetik dari jalan pagi kami, dan insya Allah meresap pula hingga ke sanubari anak-anakku, hinga mereka tidak hanya cerdas secara akademik, tapi cerdas pula mencerna kehidupan dan selalu bersyukur di tiap hela nafasnya. Aamiin...

Friday, December 14, 2007

KETIKA MASA SEOLAH TERHENTI...

Saat dhuha
kala kuhamparkan sajadah
bermunajat kepada-Nya
waktu seolah mati suri
hiruk-pikuk itu terpaku
suara-suara tanpa melodi
hanya ada
aku dan Dia
Sang Maha Pencipta

Kala sujudku
menyentuh tanah-Mu
berdoa tak kunjung putus
pohonkan ampunan tak kunjung lelah
air mata ini ruah
basah sebasah-basah air mata

Tatkala
hati resah
didera cobaan
kusadari kini
sepatutnya
aku jauh lebih resah
aku jauh lebih cemas
amal ini tak Engkau terima
dosa ini tak Kau ampuni
sepatutnya
aku hanya
boleh berharap
bergantung harap
pada keridhaan-Mu
pada cinta-Mu
yang lebih
kekal abadi
selalu abadi
untukku...

Thursday, December 13, 2007

CITA-CITA TERBESAR

(SUMBER: MOTIVASI_NET)

Dalam sebuah perjalanan hidup, cita-cita terbesar adalah
menuju kesempurnaan. Ada kalanya kita mesti berjuang, serta
belajar menyikapi segala rahasia dalam kehidupan.

Perjalanan menuju kesempurnaan adalah proses yang menentukan
setiap tapak langkah kita. Setiap hembusan nafas, detak
jantung, dari siang menuju malam. Semua menuju titik yang
sama, kesempurnaan.

Setiap insan mempunyai hak yang sama atas waktu. Tidak ada
seorangpun melebihi dari yang lain. Namun tak jarang setiap
kita berbeda dalam mensikapinya. Ada yang berjuang untuk
melewatinya dengan membunuh waktu. Tidak pula sedikit yang
merasakan sempitnya kesempatan yang ia punya.

Apa rahasia terbesar dalam hidup ini? Melewati hari ini
dengan penuh makna. Makna tentang cinta, ilmu, dan iman.
Dengan cinta hidup menjadi indah. Dengan ilmu hidup menjadi
mudah. Dan dengan iman hidup menjadi terarah.

Wednesday, December 12, 2007

HIDUP KERUPUK!!

Mendekati musim haji, aku jadi teringat kenangan saat pergi haji berdua dengan suami tercinta pada 1998. Sangat banyak kenangan, dan alhamdulillah, semua tercatat cukup rapi di 'buku gado-gado' alias buku campur-sari segala catatan (malu sih kalau dibaca orang, wong isinya ya segala kejadian yang muncul pada hari H, include catatan detil belanja, menu masak, de el el, hehe...).

Salah satunya adalah realita bahwa sebagai orang Indonesia, kita nyaris tidak bisa berpisah dengan kerupuk! Hah, ngga salah nih, kerupuk?? Iyalah, kerupuk. Waktu di Mekkah, kami sempat-sempatnya sowan ke mini market di seberang pemondokan, dan betapa girangnya menemukan kerupuk mentah Sidoarjo teronggok di tumpukan aneka barang. Senangnya bukan main, dan langsung ngga mikir aneh-aneh, ingin cepat-cepat menggorengnya plus mencicipinya.

Bermodalkan kompor listrik spiral yang dibeli di sana, kami pun antusias mencobanya. Pasang wajan, tuang minyak, tunggu panas, dan sreng... sodet pun mulai bekerja. Kali pertama, krupuk bantat dengan sukses, kali kedua krupuk ok's banget, dan kali ketiga... kerupuk gosong merata!! Haha, ternyata kami tidak memprediksikan hal ini akan terjadi, dan baru setelah melihat karakter sang kompor yang cuma punya 1 setelan nyala api (ngga bisa digedein or dikecilin nyalanya!), yah... terlambat sudah :)) Walhasil, tetap saja kerupuk dengan aneka ragam kondisi (start from bantat to gosyong) itu ludes dan serombongan penyicip tersenyum-senyum puas sudah melampiaskan kerinduannya. EGP lah yaw soal rasa, yang penting kerupuk!!

Lain lagi peristiwa di Madinah. Sesudah melakoni ibadah haji, kami ada di sana untuk mengejar arba'in (shalat 40 waktu), jadi kurang lebih kami menetap sementara selama 8 hari. Antusiasme untuk goreng-menggoreng kok sudah agak loyo akibat stamina sudah lumayan terkuras, sehingga bisa dibayangkan betapa berbinar-binar mata ini tatkala menjumpai pedagang dari Afrika (mungkin dari Mali atau negara Afrika lainnya) yang menawarkan kerupuk. Sigap betul kami setengah berebut membelinya dan dengan ikhlas saling berbagi dengan teman sekamar.

Tapi ups, tunggu dulu! Kok rasanya agak aneh, dan sang lidah mengirim sinyal ke otak untuk mencerna lebih dalam. Eureka, ternyata kerupuk ini asuin sekali, super asin malah. Ya Allah, mata ini sampai kriyek-kriyep menahan asin di lidah! Mulai saat itu, aku dan suami mencanangkan tekad untuk tidak membeli lagi kerupuk itu, ngga ada nikmatnya sama sekali... Hanya sayangnya, tobat itu hanya sekejap, keesokan hari dan keesokannya lagi, selalu adaaa saja yang membeli, dan yah mau tak mau kami ikutan lagi deh mencicipinya. Hehe, kapoooook ni yee!

Tuesday, December 11, 2007

(NO TITLE)

dalam duka
kita berguru pada hujan
yang terus menyiram
arang hitam
dengan kesabaran
siang malam
kuncup-kuncup pun bermekaran
meneguhkan harapan-harapan

(Puisi Azzam dalam novel "Ketika Cinta Bertasbih 2", karya Kang Abik)

Monday, December 10, 2007

ANDA MASIH MENGELUH HINGGA HARI INI?

Teman-teman tercinta, bagaimana kabarmu hari ini? Apakah pekan lalu adalah pekan terbaikmu? Atau justru menjadi mimpi burukmu? Anak-anak teramat nakal, susah diurus, rekan kerja menyebalkan, bos otoriter dan tidak mau berempati, atau istri/suami yang enak-enak tidur sementara kita sudah 'bertanduk dan bertaring' menangani pekerjaan rumah tangga seabrek-abrek?

Jujur, dulu aku pun pernah merasakan hal demikian. Seolah dinding rumah menciut, mengecil, mengurungku dalam ruang nyaris hampa udara. Pengap, pekat, ingin berteriak sekuat tenaga tapi tak bisa. Syukurlah, Allah masih teramat sayang kepadaku, dan Dia mengingatkanku dengan cara-Nya yang begitu indah sekaligus dahsyat. Ditegurnya aku dengan peristiwa yang menimpa orang lain, bukan hanya satu, tapi sekaligus tiga! Dahsyat bukan? Dan aku bersyukur juga, nurani ini masih bisa merengkuh hikmah dari kejadian-kejadian itu, untuk kuresapi bagi kehidupanku.

Pagi itu, telpon berdering nyaring di rumahku. Mengagetkan tentu, karena ini perihal suami adik kelasku di Psikologi UI yang tiba-tiba meninggal. Ia hanya mengeluh pusing, tidak sempat dirawat meski sempat dilarikan ke RS, dan berpulang ke rahmatullah malam harinya. Yang menyedihkan, adik kelasku itu tengah menikmati peran barunya sebagai ibu dari bayinya yang baru berusia 2 minggu! Kubayangkan betapa haru-biru hatinya, di satu sisi dia sedang senang-senangnya mendapat anugerah dan amanah tapi di sisi lain, dia ditimpa ujian kehilangan suami tercinta.

Peristiwa kedua, putri teman sejawatku di kampus, juga meninggal dunia akibat demam tinggi. Sejak lahir dia sudah menderita Cerebral Palsy/CP (lumpuh) karena bundanya saat hamil muda terkena virus toksoplasma dan rubella/campak Jerman. Temanku acap bercerita tentang perjuangannya membawa putrinya ke tempat terapi, mengasuhnya, juga tentang kejenuhannya yang kadang menghampiri ketika mengasuhnya. Ada darah dan air mata di situ, hingga detik anaknya menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kabar terakhir, datang dari tetangga sebelah rumah. Anaknya yang berusia 3 tahun kala itu divonis terkena kanker hidung dan harus segera dioperasi untuk menyelamatkan jiwanya. Hati orang tua mana yang tidak menangis pilu? Apalagi sang dokter tidak menjamin dengan operasi, sel-sel kanker itu akan bisa dienyahkan selamanya. Hidungnya akan cacat sepanjang hayat!

Ketika aku mendengar berita duka ini dalam kurun waktu kurang dari 1 minggu, aku mulai bertanya pada diri sendiri. Ada apa ini ya Allah? Mengapa semua ini seperti datang bertubi-tubi menghampiriku? Apakah Engkau ingin aku sekedar melupakannya, setelah sekedar berduka atas musibah orang lain... atau apa? Rasanya mustahil Allah tidak punya maksud apapun? Apakah DIa hendak menegurku dengan cara-Nya, hai... sesungguhnya masalah yang engkau hadapi sekarang bukanlah apa-apa dibanding masalah yang menimpa orang-orang di sekitarmu. Jadi mengapa pula engkau harus merasa sedemikian sengsara dengan problem hidupmu? Ayo bangkitlah!

Apakah demikian? Wallahu'alam... Hanya Allah jua yang tahu...

Hingga hari ini, kala aku terluka atau hatiku terkoyak oleh persoalan-persoalan yang datang dan pergi, kuyakinkan dalam hati, masalah ini insya Allah masih bisa kutangani, masih belum apa-apa dengan masalah-masalah orang lain, dan sesungguhnya di balik kesulitan selalu ada kemudahan, dan Dia Maha menakar kemampuan hamba-hamba-Nya...

Friday, December 7, 2007

SEBAIT CINTA, SEGENAP KASIH

KOMENTAR BUKU
”SEPOTONG CINTA DI DALAM HATI: RENUNGAN SEORANG AYAH MENDAMPINGI ANAK AUTIS”,
PENGARANG: DWINU PANDUPRAKASA
PENERBIT: GEMA INSANI PRESS, 2007

Buku ini menyuarakan segenap perasaan paripurna seorang ayah. Ketika penyesalan merebak tatkala terlambat menangani demam tinggi Tita, sang putri penyandang sindrom autis, nyaris ke titik nadir, sedih bercampur putus asa (h. 16-17), hingga bangkit lagi dan saling menulari semangat bersama sang istri (h. 29).

Di dalamnya juga tergambarkan secara detil, bahwa mengasuh anak, entah itu anak normal maupun anak luar biasa seperti Tita, teramat sangat membutuhkan kerjasama dan kekompakan hati dan sikap dari kedua orang tua. Tidaklah dapat kita hanya menyandarkan dan mengandalkan satu pihak (biasanya istri, berlandaskan alasan sang suami sibuk mencari nafkah), sementara pihak lain bersikap tak peduli atau malah masa bodoh, karena cepat atau lambat pola pikir demikian akan merongrong perkembangan kemajuan sang buah hati.

Sebagaimana anak biasa, anak luar biasa seperti Tita, ternyata unik, sehingga butuh komunikasi aktif-intensif dengan banyak ahli (dokter, terapis, ahli gizi, dan lainnya) sebelum akhirnya Dwinu dan istri memilih jenis terapi terbaik yang sesuai dengan kondisi Tita.

Di tengah keterbatasan Tita, Dwinu masih bisa bersyukur, masih meluangkan waktu untuk Tita, dibandingkan dengan Dinda, sesama penyandang autis yang hanya diantar pengasuh dan sopir saat terapi, juga Dion yang secara materi berlimpah (bab “Dinda Mencari Cinta”, dan bab “Anugerah Terbaik untuk Sang Ayah”). Bagi saya, petikan kata “…kami punya selaksa cinta di dalam hati untuknya…” sangatlah dalam dan menyentuh, tepat menyuarakan isi hatinya. Demikian juga kutipan ayat Qur’an dalam surah Ar Rahman, tentang nikmat Allah mana lagi yang akan kita dustakan. Jujur saja, untuk saya pribadi, kisah Tita ini makin membuat saya untuk senantiasa introspeksi diri, sudahkah kita menabung syukur dari hari ke hari atas karunia-Nya selama ini, mungkin bahkan seharusnya dalam setiap helaan nafas kita?

Dari tuturan Dwinu, kita ‘diajarkan’ sebagai orang tua untuk belajar menerima apapun takdir yang sudah digariskan Allah, karena menyangkut sikap/penerimaan terhadap anak, sekaligus jangan pernah berhenti berdoa dan berupaya. Janganlah pernah kita berputus asa dari rahmat Allah, cukilan kalimat yang mengandung harapan plus semangat.

Kisah nyata ini ditutup yang bagus, yaitu kisah tentang perkembangan Tita yang sudah bisa berkomunikasi dengan kakek-neneknya dengan baik, serta keterlibatan aktif Dwinu pada tempat terapi autis untuk kaum dhuafa.

Sayangnya, pemilihan/diksi bahasa yang kurang variatif, semisal tentang memuji kebersahajaan istri (h. 36 bandingkan dengan h. 6-7) agak sedikit mengganggu. Seperti juga pemilihan judul yang – meski bagaimanapun menjadi hak ‘prerogatif’ penulis plus penerbit—menurut opini saya, justru lebih menyentuh dengan “Selaksa Cinta untuk Tita”.
Juga alur kisah agak kurang sistematis atau runtun, sehingga agak membingungkan penikmatnya. Contoh, saat Dwinu menuliskan kemajuan Tita (h. 74), lalu ‘diseling’ paragraf atau bab tentang hal lain. Model kilas-balik ini dengan pengaturan alur yang sedikit kacau terus-terang agak memecah konsentrasi saya sebagai pembaca.
Di sisi lain, menurut saya, surat untuk presiden SBY agak kurang klop ditempatkan dalam buku ini. Mungkin akan lebih tepat bila dibahasakan dalam gaya tutur dan harapan orang tua anak autis mengenai penyediaan fasilitas, juga akses pendidikan (dalam hal ini terapi) yang terjangkau dari pemerintah.

Namun terlepas dari kekurang-kekurangan kecil di atas, buku ini kian memperkaya khasanah buku tentang anak autis. Berbeda dengan buku Karin Seroussi maupun DR. Dr. Y. Handoyo, MPH yang lebih menyoroti sisi medis dan gizi, bagi saya, buku Dwinu lebih kaya dengan sisi manusiawi orang tua, sekaligus sisi religiusitasnya sebagai seorang muslim. Intinya, dengan membaca buku ini, banyak hikmah yang bisa kita ambil, yaitu hidup adalah penuh perjuangan, hidup identik dengan senantiasa belajar mencintai, hidup harus selalu diisi dengan harapan, doa, dan juga usaha tak kenal menyerah, karena rahmat Allah akan selalu melingkupi tiap langkah yang kita ayunkan.

Terima kasih untuk Dwinu dan istri, juga Tita…

(catatan: Maaf kalau tulisan kali super-serius, naskah ini pernah diikutsertakan dalam lomba komentar buku GIP... Semoga bisa diambil hikmahnya ya...)

Thursday, December 6, 2007

HOBI BACA? HARUS ITU...

Beberapa teman kadang curhat kepadaku, mengeluhkan putra-putrinya yang malaaas sekali membaca, lebih asyik nonton TV, main PS, atau paling lumayan, main game di komputer. Baca? Ahh, jauh-jauh deh itu buku! Jadilah sang ibu yang repot membacakan, meringkaskan bab atau pokok bahasan, atau malah... mengerjakan pe-er anaknya, semata atas nama sayang dan kasihan! Lha, ini yang sekolah bocah opo mboke sih?? Mm, kira-kira bagaimana tanggapan Anda?

Menurutku, semua itu berpulang pada kedua orang tuanya. Kalau orang tua punya kebiasaan membaca dan mencintai buku, pintu terbuka lebar bagi anak-anaknya untuk juga menyayangi buku. Tentu saja ada beberapa syarat penunjang lainnya dong, antara lain menciptakan lingkungan kondusif bagi anak-anak untuk mencurahkan segenap perhatiannya kepada sang buku. Ngga aci dong kalau kita ngajak baca buku yuk, tapi orang tuanya asyik nonton atau malah tertidur pulas sambil mendengkur kan, hehe... Jadi sebenarnya anak makin menikmati kegiatan membaca kalau ibu-bapaknya juga asyik membaca, apalagi diiringi musik lembut (kayak si Buble ini lho yang kebetulan sedang kuputar :)). Mau bentuk buku serius semacam buku pelajaran atau komik maupun koran anak, ngga masyalah...

Di keluargaku, buku bisa dibilang ada di segala penjuru rumah, ruang tamu, ruang keluarga, bahkan di ruang tidur utama dan anak. Dan anak-anakku paliiing heiboh dan antusias kalau diajak ke toko buku atau pameran buku, langsung deh minta jatah. kalaupun sedang 'tanggal tua' en pengeluaran sudah mendekati limit-limit mendebarkan, mereka mau kok diajak ke Zoe Library di Depok, dengan uang hanya 7500, kita sudah bisa baca sepuasnya. Atau sesekali kuajak ke kios buku bekas di jl Sawo menuju stasiun kereta UI, mereka bisa borrong komik Doraemon/Kobo Chan bekas dengan berbekal uang 3 ribu/komik. Meski di sana full keringat dan aneka semerbak bau, mereka asyik-asyik aja tuh. Sedaaap kan?

Belum lagi surga buku dengan diskon lumayan gede juga ada di dekat UI. Mau cari buku "Ketika Cinta Bertasbih 2" karya terbarunya Kang Abik? Atau "Khadijah" yang fenomenal? Atau sekedar mau memberi kado untuk teman yang akan menikah? Di sana banyak sekali pilihan dan kalau tidak hati-hati, bisa-bisa kalap, kantong jebol, dan pulang jalan kaki, hahaha...

So, intinya komitmen bersama di antara kedua orang tua itu yang terpenting. Kan wahyu pertama yang diturunkan kepada Baginda Rasulullah adalah "IQRA! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan..." ? Jadi, ini sangat klop kan dengan menyemangati anak serta anggota keluarga lainnya untuk hobi membaca.

Wednesday, December 5, 2007

SEBUNGKUS PECEL PENUH CINTA

Selasa pagi itu, seperti biasa, aku bergegas berangkat menuju kolam renang di komples seberang. Nah, ketika itu biasanya aku selalu berjumpa dengan mbak jamu yang mangkal di sana. Senyumnya selalu merekah di parasnya yang manis dan bersahaja. Yang suka bikin jengah adalah kebiasaannya untuk mencium tanganku. Biasanya sih buru-buru kutepis dengan halus, wong aku bukan siapa-siapanya kok, orang tua juga bukan, hehe...

Sepertinya kebiasaannya itu berawal dari rasa terima kasihnya yang dalam karena kami -- aku dan suami -- pernah memberinya kereta bayi, di saat ia memang sangat membutuhkan agar ia bisa membawa bayinya berjualan jamu.

Kalau mau ge-er, bisa saja sih kami mengklaim bahwa dia memang sudah sepatutnya berperilaku demikian, tapi alhamdulillah, pikiran semacam itu tidak pernah singgah di hati. Aku sempat merenung, mm... tampaknya Allah memang sedemikian pandai meracik segala kejadian yang kita alami, dan insya Allah, semua itu tidak pernah bersifat kebetulan. Siapa nyana saat kami merapikan gudang rumah dan mengeluarkan kereta bayi itu, juga boks bayi serta tempat tidur, ujug-ujug ada orang yang butuh? Kami sempat bingung kereta ini mau dikasih ke siapa ya? Walhasil, aku dimandati untuk kasak-kusuk plus intip-intip orang di sekitar, dan 'terpilihlah' si mbak ini. Haqqul yaqin aku sekarang, Allah sudah merencanakan semua ini dengan indahnya...

Belakangan, setiap selesai renang, ada segelas teh manis hangat dan sebungkus nasi pecel beserta bakwan made in si mbak diletakkannya di sisi tas ranselku. Mau menolak, tapi ngga tega, apalagi saat kulihat binar matanya yang tulus. Ahh, mbak, aku belajar banyak darimu, belajar tentang menghargai orang lain, semangat mengarungi hidup yang begitu keras, belajar ikhlas, bahkan saat kuberi dia uang lebih, dia selalu tak pernah lupa bilang "matur nuwun sanget Dik, aku tabung lho sisanya untuk beli susu Putri dan si kecil".

Si mbak ngga tahu, kalau sebungkus pecel itu selain kumakan, juga sering kuhadiahkan kembali untuk suami yang lelah dan lapar sepulang kerja, juga suatu kali kuhibahkan pada teman yang pas sekali sedang ingin makan pecel (entah ngidam atau tidak, hehe...). Kebetulan? Tentu tidak, Gusti Allah sudah merancang semuanya, Dia tidak pernah tidur. Dan aku belajar banyak dari si mbak yang sederhana ini...

Monday, December 3, 2007

IBU-IBU GAPTEK? NGGA LAGI LAH YAW...

Perkenalanku dengan dunia per-gadget-an diawali dengan HP yang sengaja dibelikan suami untukku. Pertama kali HP itu diserahterimakan, mau tahu bagaimana perasaanku? Deg-degan, panik luar biasa gitu deh... Hehe, persis wong ndesoooo :) Cari-cari tombol on sambil mengingat instruksi yang hilir-mudik masuk ke telingaku, apalagi pas mau jawab telpon masuk. Yang heboh, paginya baru dikasih HP, eh...2-3 jam kemudian sudah langsung diuji-coba ke mall. Karena punya dua kepentingan berbeda jurusan dan agar lebih cepat, kami berpisah dan membuat janji untuk bertemu sekitar satu jam kemudian. Suami sampai bolak-balik nelpon dan aku juga... bolak-balik salah pencet tombolnya! Haha, kebayang kan gimana mukanya ngga kayak kertas lecek, ni istriku gemane sih, S-1 gitcu lho... :)) Gerutuannya ini silih-berganti muncul saat dia getol mengganti HPku dengan yang kian canggih (terakhir malah berubah wujud menjadi PDA-phone), ya itu lagi itu lagi... gugupan en panikan menatap layar gadget ini!

Tapi kalau diingat2, emang dasar perempuan kali ya, agak-agak males gitu begaul sama yang namanya gadget, kalau ga perlu-perlu amat sih ngga dilirik kali. Waktu aku pernah ngajar di kampus, temen-temen dosen yg cewek juga hampir selalu merengek ke mas-mas dosen kalau laptopnya mogok atw ngadat. Jadilah bapak2 ini bagian pengaduan sekaligus bagian servis, hehe... Padahal laptopnya yang kelas satu lho semacam Toshiba gitu, tapi kelakuan yaaa.. ndeso-ndeso juga deh, alias ngga menguasai betul gadget miliknya. Yang penting gayya :)

Syukurlah, sekarang aku ngga separah dulu bengongnya kalau menatap gadget. Taulah dikit-dikit, malah soal USB/flash-disk, browsing internet, dan chatting juga sudah mulai tau (ngaku, soal chatting mah asli baru bisa satu bulanan inilah, hehe...). Biarpun responnya masih aja tetep ndeso, "wuihh... hebat ya, di google, kita bisa ketemu tips mengurus wajan berkarat en resep bolu kukus! Heibat tenan!" Gubraks bener kan?

Yang bikin bangga, ada lho anaknya temen yg bingung mau kuliah di mana bisa kubantu cari info kampus-kampus yg diminatinya via internet. Dia bilang,"Waah, tante hebat banget ya, ibu rumah tangga tapi ngga gaptek kaya' aku!" Maksudnyaa?? Jadi ibu-ibu rumah tangga tuh selama ini dituduh gaptek? Ngga lagi lah yaw...

Horass! Hidup suami tercinta yg udah sabaaaar banget ngajarin, dan sekarang sukses menjebloskan istrinya ke belantara blog... :))
What a wonderful world, Allah, thank You...

DALAM GENGGAMAN-NYA...

acapkali
kita tertipu
fatamorgana dunia
anak, istri, suami, orang tua, sahabat,
mobil, rumah, semua yang kasat mata
juga kesuksesan maya
padahal
sewaktu-waktu
semua itu
bisa diambil-Nya
bisa dipalingkan-Nya
dari kita dengan mudahnya

setiap saat
kita
layak
hanya layak
bergantung kepada-Nya
kita
ada senantiasa
dalam genggaman-Nya

sudahkah
kita
melabuhkan
cinta hakiki
cinta sejati
kepada-Nya
dan tiada lagi
tertipu
...

Desember 2007

HAJI, HAJI, ALLAH MEMANGGILMU...

Sabtu kemarin, aku dan suami menghadiri acara walimatussafar (pelepasan haji--terj. bebas) seorang tetangga. Ini kali kedua dalam waktu berdekatan, setelah sebelumnya 2 pekan lalu, seorang teman satu kelompok pengajian juga berangkat.

Ah, pergi haji, menyongsong Allah di rumah-Nya, Baitullah. Rindu ini tiba-tiba saja kembali merebak, setiap kali ada teman yang berangkat. Rasanya sudah terlampau lama kami pergi ke sana, tahun 1998. Bisa dikatakan kami pergi tanpa persiapan mental apapun, lebih sibuk dengan persiapan fisik, olahraga dan makan suplemen, bagaimana pengaturan soal penitipan anak yang waktu itu masih usia 2 tahun, belanja barang seperti gembok digital, baju-baju, tali jemuran (maklumlah, haji ONH Biasa, bukan haji abidin/atas biaya dinas, apalagi ONH Plus. Ngga cukup lah uangnya, hehe...).

Banyak kisah, banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik, insya Allah hingga detik ini. Sabar? Waah, itu kata kunci nomor wahid deh, dan di sanalah kita benar-benar digodok untuk mempraktekkan sabar kita. Sejak di Pondok Gede, menanti pesawat, antri di toilet pesawat, saat pemeriksaan imigrasi, menunggu lagi bus yang akan membawa kami ke Mekkah, tersesat saat melontar, thawaf-sa'i, saat jatuh sakit atau justru ketika suami sakit tatkala wukuf di Arafah dan nyaris kena heat-stroke. Subhanallah, ke mana sabar ini ada dalam genggaman, dan di mana pula isitighfar senantiasa dilafazkan, Allah seolah membukakan pintu langit-nya untuk kita, menaburkan kasih dan kemudahan. Aku jadi kian percaya, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS Alam Nasyrah,6)

Buat teman-teman yang akan berangkat, barakallah, Allah memberkahi perjalananmu. Jangan sia-siakan kesempatan terbaik ini untuk kian mendekatkan hatimu kepada-Nya, merasakan keagungan-Nya...